5 Agustus 2014
Bismillah
Sore ini, adik saya yang paling kecil
meminta saya untuk menelponnya. Sebenarnya sejak saya berangkat menuju airport
kemarin dia memang sudah menangis haru. Saya masih ingat dengan baik saat Winda
memegang erat saya, seolah tidak ingin melepaskan kepergian saya ke tanah
rantau. Dia hanya mematung sambil menangis dengan lengkingan suara yang cukup
keras, sambil membiarkan saya memeluk tubuhnya yang semakin meninggi, menciumi
keningnya dan membisikkan di telinga mungilnya betapa saya sangat menyayanginya.
Saat saya sudah berada di dalam travel menuju airport, Winda masih menangis.
Saya juga tahu, dia tidak akan berhenti sampai disitu, akan ada tangis-tangis
darinya untuk beberapa hari ke depan.
Dan sore ini, saya menelponnya,
mendengarkan celotehnya yang menenangkan, sampai akhirnya ia berucap sambil
terisak. Saya bisa mendengar dengan jelas isak tangisnya di ujung telpon. Dia
tersedu-sedu sambil terbata-bata menyampaikan apa yang sedang ia rasakan.
“Mengapa kakak Cuma sebentar pulang
ke rumah? Winda, kan, masih kangen. Kapan kakak pulang lagi?”
“Tahun depan, Dek. Insha Allah kakak
akan pulang.”
“Tahun depan, kan masih lama, kenapa cuma
dua minggu di rumah?”
Saya hanya mematung sambil
mendengarkan berbagai macam pertanyaannya yang kadang membuat saya terdiam. Dia
terus menangis, dan saya hanya bisa membujuknya, memberinya pengertian bahwa
Insha Allah akan ada hari-hari selanjutnya untuk bertemu. Saya berusaha memberi
dia pengertian bahwa saya sangat menyayanginya dan tentu saja dia tahu itu.
Saya memang tipikal kakak yang sangat
dekat dengan adik-adik. Saya tipikal kakak yang tidak mau berbicara dengan nada
yang membentak, apalagi sampai menyakiti hati mereka. Inilah yang mereka pahami
dari saya, bahwa saya adalah tipe kakak yang memang betul-betul peduli dengan
adik-adik. Mereka paham betul itu. Maka setiap kali perpisahan terjadi, selalu
ada jedah waktu untuk merangkai kembali keping-keping rindu yang berserakan,
membuatnya kembali utuh dan berusaha memahami bahwa jarak bukanlah alasan untuk
memendam rindu. Rindu tetap akan dirasa, meski tak bertatap muka.
Winda masih menangis, saya memintanya
untuk membersihkan air matanya dengan air wudhu.
“Tapi jangan dimatiin telponnya,
Kak.” Pintanya sambil terisak.
“Iya,” jawabku lirih, kemudian
menjauhkan telpon genggam dari telingaku. Aku menangis, mengusap bulir-bulir
yang jatuh di ujung sana.
Saya tidak ingin Winda tahu bahwa
saya juga berat berpisah dengannya. Winda memang sangat nyaman berada di dekat
saya. Sejak ia masih kecil, tiap kali saya pulang kampung di hari raya Idul
Fitri, saya selalu berusaha mengajaknya kemana pun pergi. Kedekatan kami memang
begitu erat. Itulah sebenarnya hal yang terberat baginya, saat ia sudah
merasakan kenyamanan setelah sekian lama tidak bertemu, sekarang harus kembali
terpisah padahal dia belum seutuhnya puas dengan kebersamaan kami.
Kata Ibu, bidadari kecil ini selalu
menangis, bahkan tadi pagi, saat bangun shalat subuh, Winda langsung mencari
saya sambil menangis terisak, sementara saya ada di pulau yang berbeda, merapal
doa demi kebaikannya.
Ibu melanjutkan cerita, ternyata
Meko, adik laki-laki satu-satunya yang saya miliki juga menangis. Saat travel
membawa saya menuju airport, dia langsung masuk ke dalam kamar dan tangisnya
pecah. Dia tidak beranjak keluar rumah, dia menghabiskan waktu dengan mengurung
diri di kamar saat tahu bahwa saya sudah dalam perjalanan ke tanah rantau,
kembali berjuang meraih mimpi. Dalam perjalanan, beberapa kali dia mengirimi
saya pesan singkat.
Adik-adik memang sangat hormat pada
saya dan kami memang sangat dekat satu sama lain. Sehari sebelum keberangkatan,
saya dan Meko duduk di teras depan rumah, kami berbincang tentang mimpi-mimpi
yang ingin kami capai. Kami mengingat kembali apa yang selalu disampaikan Ayah,
“Ayah memang tidak sekolah, tapi kalian
harus menyelesaikan pendidikan tinggi. Cukup Ayah dan Ibu yang tidak sekolah,
tapi kalian harus memiliki impian yang tinggi. Berusahalah menggapai impian
demi impian yang ingin kalian capai, dan ingatlah, Allah selalu ada bagi
hamba-Nya.”
Ibu juga selalu mengulang-ulang
kembali nasehatnya,
“Dimana pun kalian berada, jadilah
muslim yang bermanfaat bagi orang lain. Jika ada yang berbuat tidak baik pada
kalian, tetaplah besikap baik, jangan membalasnya dengan hal yang tidak baik.
Ingatlah, lakukan semua dalam rangka mencari ridha Allah SWT.”
Saat mengakhiri telpon, Winda
berpesan untuk menghubunginya kembali lepas isya nanti, dan saya meng-iyakan
keinginannya.
Rabbi,
Jadikanlah keluarga kami bagian dari orang-orang yang engkau
ridhai
Lindungilah kami dari jalan yang membuat kami jauh dari-Mu
Bimbing kami menjadi orang-orang yang shaleh/shalehah
Tuhan,
Jagalah Ayah dan Ibu, sebagaimana mereka telah menjaga kami
dengan baik
Sayangilah keduanya, berkahilah umur keduanya dan satukanlah
kami di surga-Mu kelak.
Ya Allah,
Jadikanlah kami anak-anak yang shaleh/shalehah
Yang menjadikan hidup sebagai bagian dari perjuangan
menegakkan hukum-hukum Allah di permukaan bumi. Amin
Comments
Post a Comment
Jangan Lupa Tinggalkan Komentarnya Gan