Skip to main content

Posts

Showing posts from 2013

Bukan Sebuah Akhir

20 Desember 2013 Sejak pagi, hujan tetap menyatu dengan semesta, tak sedetik pun ia biarkan semesta hening tanpa rintiknya, ia tetap berjatuhan meski hanya rintik-rinik yang menyejukkan. Aku duduk di dalam kelas seorang diri, anak-anak sudah berlibur, tidak ada lagi kudengar suara tawa mereka di setiap pagiku, tidak lagi kulihat senyum bahagia di wajah mereka kala menjabat kedua tanganku, mereka semua sedang istirahat sejenak dari rutinitas yang mungkin saja menjenuhkan.             Aku masih duduk seorang diri, ditemani semilir angin yang berhembus, dingin. Aku sedang menunggu kedatangan wali murid, hari ini adalah pembagian hasil perkembangan siswa selama semester satu. Tiap kali akan berhadapan dengan wali murid, kadang aku dihinggapi oleh gugup yang tidak kumengerti. Ini adalah amanah, tanggung jawab yang sejak awal harus siap kupikul, menyampaikan perkembangan siswa sejak awal semester yang lalu.             Pukul setengah sembilan pagi, satu persatu wali murid data

Dear Faris

16 Desember 2013             “Malam ini Ustadz mencoba sesuatu yang belum pernah Ustadz coba sebelumnya,” aku memulai pertemuanku dengan sebuah cerita keisengan yang baru saja kulakukan selepas shalat isya tadi. Faris mendengarkan ceritaku sambil duduk dan memijat lembut kaki kanannya.             “Emang Ustadz ngapain, tadi? Melamar anak gadis orang, ya?” tanyanya sambil tersenyum menggoda, kemudian tertawa kecil. Ia tahu tentang perjalanan kisah cintaku yang cukup rumit, dan ia suka menggodaku dengan berbagai macam pertanyaan tentang bahtera rumah tangga.             “Itu mah nanti, belum sekarang. Yang ini beda, ini jauh lebih keren dari itu.”             “Apaan emangnya?”             “Mau tahu atau mau tahu banget?”             Kami berdua pun terkekeh.             “Jadi begini, tadi Ustadz ke kedai kopi, dengan penuh percaya diri Ustadz memesan segelas kecil kopi medan, dicampur dengan es, kemudian segelas besar air putih hangat. Faris, kan tahu, Ustadz paling

Merinduimu

17 Desember 2013 Faris sedang menonton film 3 idiots yang ada di laptopku, aku sengaja membawa laptop dalam kunjunganku kali ini, karena kerap kali ia bosan dengan rutinitas kesehariannya. Cara ini cukup menghibur, ia menikmati sajian cerita yang ada di film. Kudengar tawanya berulang kali memecah kesunyian malam.             “Filmnya keren, Ustadz.” Ucapnya sambil tersenyum.             Ia membuka folder  my pictures  yang ada di laptopku, aku membiarkannya melihat koleksi gambar yang ada, sambil sesekali memijat pundaknya.             “Ini foto Ustadz umur berapa?” tanyanya padaku, sambil menunjuk satu gambar yang begitu polos. Aku tersenyum.             “Itu waktu Ustadz baru mulai kuliah, keren, kan?”             “Rambutnya itu, loh, Ustadz. Super culun banget.”             “Kayaknya Faris cocok jadi penata rambut profesional, deh. Yang dikomentarin rambut mulu, nggak lihat apa? Udah keren gitu, masih dibilang culun.”             “Iya, deh, keren.”         

Bersabar Dalam Penantian

  Saya mengajar di sekolah yang sebagian besar guru-gurunya adalah mereka yang belum menikah. Kalian bisa bayangkan ada berapa banyak rekan kerja saya yang juga belum menikah. Ada salah satu program sekolah untuk meningkatkan pemahaman para guru dalam hal ketaatan kepada Allah Swt. Program itu adalah halaqah . Satu pekan sekali, kami dibagi dalam beberapa kelompok kecil; ada seorang musyrif (ketua kelompok), ada seorang mu’allim (pemateri) dan beberapa guru sebagai anggota.             Beberapa semester sebelumnya, saya selalu digabungkan dengan kelompok guru-guru yang masih bujangan, dan itu sukses membuat kelompok saya itu sebagai kelompok paling sering galau karena sering dijadikan bahan candaan para mu’allim dan rekan lain yang sudah menikah. Kadang saya bercanda dengan teman-teman satu kelompok, “kayaknya kita memang sengaja dijadikan satu kelompok, biar galau berjamaah”. Candaan saya diikuti oleh derai tawa semua yang hadir.             Ada salah satu mu’allim yang

Diakah Jodohku?

Suatu ketika, ada seseorang yang menghampiri saya, mengajak saya berbincang di salah satu pojok masjid. Kebetulan saat itu saya baru selesai mengimami shalat maghrib di masjid. Beliau adalah salah satu guru saya, yang selama ini membimbing saya menghafal Al Quran. Beliau tersenyum, mengucap salam dan menjabat tangan saya hangat. Saya tersenyum, dan menjawab salamnya.             Berbicara dengan seorang guru, kadang membuat saya dag dig dug nggak jelas. Saya merasa ada sesuatu yang akan beliau bicarakan. Tidak biasanya beliau mengajak saya berbicara secara pribadi. Biasanya kami hanya berbincang sebentar selepas shalat, itu pun hanya bertanya kabar. Selebihnya bisa dibilang jarang terjadi perbincangan secara khusus.             Beliau memulai perbincangan.             “Umur antum sudah berapa, Ustaz?” saya memang biasanya dipanggil ustaz baik oleh anak-anak di sekolah, maupun jamaah di masjid.             “Saya sudah 22 tahun, Ustaz.”             “Sudah ada rencana untuk