Ayah tipe orang yang sangat hemat
dalam berucap. Setiap kali mudik pas lebaran, beliau tidak akan banyak
berbincang dengan saya. Dalam diamnya, saya tahu, Ayah sangat menyayangi kami
anak-anaknya. Saya tahu bagaimana ia bekerja sedemikian keras demi kami
anak-anaknya yang terkasih.
Biasanya, saya dan Ayah berbincang
selepas maghrib di ruang tamu, ditemani Ibu dan juga adik-adik yang sudah
semakin besar. Jangan harap akan banyak basa-basi dari Ayah, beliau hanya akan
bertanya pertanyaan standar setelah lama tidak bertemu, misal,
“Bagaimana perjalanan dari Jawa ke
Bengkulu?”
“Bagaimana pekerjaan dan rencana studi
S2-mu?”
Dan lain-lain, setelah itu biasanya
Ibu yang lebih banyak berbicara, sedangkan Ayah hanya menjadi pendengar yang
baik, dan tentu saja ucapan beliau selalu saya dengarkan dengan baik.
Ayah dan Ibu memang dua orang yang
berbeda dalam hal bagaimana berkomunikasi dengan anak-anaknya. Ibu paling aktif
berbicara, sedangkan Ayah tipe yang sangat hemat dalam berucap. Meski demikian,
saya tahu betapa Ayah sangat menyayangi kami, saya tahu betapa Ayah sangat
merindukan kebersamaan yang hanya terjadi satu kali dalam satu tahun, saya tahu
betapa Ayah sangat menyayangi keluarga kecil kami ini.
Pada saat menjelang kembali ke
rantau, kami satu keluarga duduk di ruang tengah, berbincang satu sama lain,
saling introspeksi diri demi kebaikan keluarga, saling support satu sama
lain. Ayah berbicara sedikit tapi mengena.
“Jangan pernah takut untuk keluar
dari zona nyamanmu, bismillah, lakukanlah semuanya dalam rangka mencari ridha
Allah.”
Itulah yang diucapkan Ayah saat saya
menyampaikan rencana saya untuk melanjutkan kuliah pascasarjana. Ibu kemudian
mengangguk.
Ayah begitu sederhana dalam
penampilan, begitu sederhana dalam menjalani kehidupan, tapi begitu semangat
dalam hal menyekolahkan anak-anaknya. Meski Ayah tidak tamat sekolah dasar,
tapi Ayah memiliki mimpi-mimpi yang dititipkan pada kami, anak-anaknya. Ayah dan
Ibu sama-sama tidak mengenyam pendidikan tinggi, bahkan sekolah dasar saja
tidak lulus. Itulah mengapa, Ayah dan Ibu selalu memberi support pada
kami, agar kami mengenyam pendidikan tinggi, agar kami bisa menjadi lebih baik
dari mereka.
Ayah mendidik kami dalam
kesederhanaan.
Saya tahu, kerap kali Ayah menangis
saat melihat saya bisa tampil di masyarakat, berbaur, bisa memberi inspirasi
bagi orang-orang lain agar anak-anaknya belajar Agama. Saya tahu Ayah sering
menunduk, kemudian merapal doa demi kami anak-anaknya.
Saya tahu Ayah bangga pada kami
anak-anaknya, meski beliau tidak pernah mengatakan itu secara langsung. Saya tahu
Ayah begitu ingin kami menjadi lebih baik darinya, dan saat melihat kami bisa
tampil di masyarakat, Ayah pun terus merangkai doa, agar kami terus bisa
mengembangkan diri.
Setiap kali mudik, biasanya saya
diminta masyarakat untuk mengisi kajian, khutbah Idul Fitri, Khutbat Jumat di
desa, diundang khutbah di masjid-masjid pemerintahan, diminta mengisi ceramah
halal bihalal dan berbagai macam kesibukan yang lain. Dan saya tahu, setiap
kali Ayah tahu bahwa saya mulai berani tampil di masyarakat, ia merapal doa,
semoga saya bisa menjadi teladan yang baik bagi masyarakat.
Setiap kali saya diundang mengisi
suatu acara, Ayah selalu berucap,
“Sampaikan dengan baik, dan jadilah
teladan dari apa yang kamu sampaikan.”
Hanya itu saja, dan selalu
diulang-ulang oleh Ayah. Saya mengingat pesan itu dengan baik. Saya masih ingat
saat Ayah tertawa ketika saya malu untuk tampil, kemudian Ayah memberi semangat
dengan nada suara yang pelan,
“Tidak ada yang langsung bisa bagus,
Nak, semua perlu proses. Proses inilah yang seharusnya kami lalui, kalau tidak
pernah mencoba, mana mungkin akan bisa. Jalani prosesnya, nikmati prosesnya. Jangan
menyerah, Ayah yakin kamu bisa.”
Ada banyak orang yang dulunya
mencemooh Ayah, karena menyekolahkan anaknya di Pesantren, kini mereka berbalik
memuji. Saya tahu ada banyak orang yang menyampaikan berbagai macam pemikiran negatif
tentang pendidikan pesantren, tapi Ayah meyakinkan bahwa pendidikan Agama
adalah yang paling penting, karena ia menjadi panduan hidup sampai akhir usia.
Ayah memang tidak pandai dalam hal
Agama, ia hanya sekadar tahu untuk dirinya dan tidak memiliki kemampuan untuk
mengajarkannya kepada kami anak-anaknya. Itulah mengapa, Ayah menitipkan kami
kepada mereka yang bisa membimbing kami dengan baik. Ayah ingin, jika nanti
kami berkeluarga, kami bisa menjadi pemimpin yang baik bagi keluarga, bisa
mengajarkan Agama, bisa menjadi teladan yang baik. Itulah mengapa, Ayah sering
terdiam saat saya membaca Al Quran, karena Ayah bangga anak-anaknya cinta pada
Al Quran.
Bagi saya, Ayah adalah pahlawan yang
tidak akan pernah pudar kasih dan semangatnya dalam berjuang untuk kami
anak-anaknya.
Ayah semakin menua, tapi semangatnya
tetap ada.
Rambut Ayah sudah mulai memutih,
kulitnya sudah mulai dipenuhi oleh garis-garis kehidupan, langkahnya sudah
tidak sekuat dulu lagi, tapi kasihnya tetap sama, bahkan semakin hari semakin
bertambah cintanya pada kami anak-anaknya.
Ayah, terimalah bakti kami padamu,
semoga Allah menjaga Ayah dengan baik, sebagaimana Ayah telah menjaga kami
dengan setulusnya kasih. Amin
Comments
Post a Comment
Jangan Lupa Tinggalkan Komentarnya Gan