Skip to main content

Ini Tentang Penampilan



Seorang guru itu ditiru dan digugu. Gue pernah berada pada satu titik dimana gue menjadi seseorang yang bingung dengan pertanyaan gue sendiri. Kalian mau tahu nggak? Mau tahu atau mau tahu banget? #alaydetected
“Apa yang salah dengan penampilan gue?”
Pertanyaan itu sering banget muncul kalo pas ketemu orang baru. Banyak yang nggak percaya kalo gue itu seorang guru Al Quran. Ketika bertemu orang baru otomatis akan ada perkenalan. Nah kalo mereka menanyakan pekerjaan gue, gue nggak mungkin jawab kalo gue ini tukang urut apalagi pangeran cinta. Kalo nanya kerjaan, gue pasti jawab kalo gue ini guru. Nah kalo ditanya lebih lanjut tentang mata pelajaran apa yang gue ampu, gue pasti jawab kalo gue mengajar Al Quran.
Anehnya, gue nggak pernah berhasil meyakinkan mereka bahwa gue guru Al Quran. Emang ada yang salah dengan tampang gue? Emang ada yang salah dari cara    gue berpenampilan? Apa salah emak gue? Apa salah tante gue? Apa salah Eyang Subur? Ada loh yang saking nggak percayanya malah pengen lihat jadwal mengajar gue untuk memastikan bahwa gue memang guru Al Quran. Ngeselin, nggak tuh? Selain itu, gue sering dikira pegawai Bank. Kata mereka penampilan gue lebih cocok jadi pegawai Bank dari pada penampilan seorang guru.
Dulu, pertama kali bertemu dengan sahabat baik gue Mbak Siwi Mars Wijayanti, beliau seorang dosen, penulis dan yang paling sering dengerin curhatan gue (ketahuan banget kalo gue tukang curhat). Beliau sempat mengira kalo gue itu guru Bahasa Inggris. Dahi gue berkerut waktu beliau bilang kayak gitu. Setelah itu, gue balik ke rumah, kemudian duduk lama banget di depan kaca, memperhatikan tampang gue yang nggak jauh beda ama Tom Cruise #dilemparbarbel.
Gue mencoba untuk meyakinkan diri, bahwa gue memang punya tampang jadi seorang guru Al Quran. Emang sih, waku itu gue masih suka banget pake celana levis, meski yang rada-rada gombrong. Kalian nggak bakalan menemukan gue memakai kopiah haji kalo nggak pas waktu shalat. Kalian juga bakalan jarang melihat gue pake baju koko karena gue lebih sering pake kemeja lengan pendek. Guru Al Quran nggak mesti harus pake peci, baju koko, celana bahan, apalagi jubah, iya, kan? #elusdada
Kalo pas bertemu teman-teman baru, kebanyakan pada nggak percaya kalo gue guru Al Quran. Pasti kebanyakan dari mereka mengira kalo gue itu guru Bahasa Inggris, bahkan ada juga loh yang mengira gue itu guru BK. What? Guru BK? Padahal gue sering dipanggil BK, sering juga konsultasi, jadi jelas gue bukan guru BK. Masa guru BK sering galau kayak gue, mau jadi apa nantinya mereka yang konsultasi? Masa gue kasih cara-cara ngetweet galau pada anak-anak yang konsultasi.
Gue punya teman namanya Dimas. Dia biasa manggil gue Mas Ustad Penulis. Panjang banget, kan? Nggak sekalian aja gue dipanggil “Mas Ustad Penulis Guru Al Quran Arian Sahidi”, biar lebih panjang dan lebih keren. Loh ini kenapa gue jadi emosi? #masukkulkas biar adem.
Gue pernah nitip sepeda di rumahnya Dimas, kemudian pas mau ngambil sepedanya, ternyata sudah diantar ama Dimas ke sekolah. Gue bertemu Ibu Dimas di rumahnya. Terus si Ibu nanya,
“Kerja dimana, Mas?”
“Guru di SMP Al Irsyad, Buk.”
“Ngajar apa?”
“Al Quran, Buk.”
“Ah nggak mungkin,” ujarnya sampil senyum tipis.
Arghhh tidakkk….. Dalem banget ucapannya. Masa gue harus bawa surat keterangan dari sekolah tiap kali bertemu dengan orang-orang baru.
Dimas pernah kaget juga waktu pertama kali maen ke rumah. Waktu itu kebetulan menjelang maghrib. Setelah adzan, gue ajak Dimas ke masjid untuk shalat berjamaah. Gue shalat sunnah di belakang tempat imam. Setelah iqamat dikumandangkan, gue maju ke tempat imam dan menjadi imam shalat maghrib. Setelah shalat, Dimas cerita.
“Aku kaget loh, Mas, waktu Mas maju ke tempat imam. Eh ternyata jadi imam. Aku nggak menemukan tampang imam di raut wajahmu.”
Gue cuma nyengir aja mendengar ceritanya.
Kok kayaknya panas juga telinga gue sering mendapat komentar ini dan itu gara-gara penampilan gue.
“Ustad kok pake levis, ustadz kok sering pake earphone kalo lagi naik motor, ustad kok sering bla-bla-bla.”
Dan banyak lagi komentar lain. Satu hal yang gue syukuri, itu artinya mereka peduli ama gue. Mungkin karena panggilan ustad yang sudah melekat di diri gue, jadi semuanya kudu sesuai dengan persepsi orang lain, meski gue nggak bisa menebak persepsi orang lain tentang gue.
  Waktu sepedaan hari Minggu, gue pergi ke GOR. Janjian ketemu ama Dimas. Dia malah komentar tentang penampilan gue.
“Olahraga kok pake celana bahan, kayak mau ke kantor aja.”
Gue cuma nyengir (lagi) sambil nunjukin sandal jepit yang gue pake. Dimas terkekeh.
Dari sini gue belajar, bahwa orang lain juga menilai dari cara kita berpenampilan. Gaya berpakaian kita sebenarnya juga bagian dari kepribadian kita. Kebanyakan orang mungkin akan menganggap rendah mereka yang berpakaian compang-camping, lusuh de el el.
Setelah gue memutuskan untuk merubah style berpakaian gue, orang mulai percaya bahwa gue memang guru Al Quran. Tidak ada lagi yang namanya perdebatan saat menjelaskan tentang profesi yang gue tekuni. Meski gue nggak pernah pake peci kalo lagi pergi ketemu teman, meski gue nggak pernah pake baju koko setiap kali bertemu dengan teman-teman komunitas tertentu, tapi gue mulai bisa menyesuaikan diri.
Kata Dimas, “Mas, kalo pas pakean formal terlihat lebih tua, kalo pas pakean santai, kaos oblong, celana training, terlihat kayak masih remaja.” Gue ngakak mendengar komentarnya.
Nggak ada yang salah kok ustad pake celana levis, kaos oblong, selama memang masih wajar. Gue juga malah nggak suka dengan celana yang ketat kayak kurang bahan itu, celana jeans, celana pensil, celana pulpen, celana setan atau apalah namanya. Tapi kan persepsi masyarakat tidak bisa dibentuk sesuai dengan persepsi kita. Satu hal yang gue harapkan, semoga gue bisa terus memperbaiki diri karena Tuhan, bukan karena manusia.
Kadang untuk melakukan suatu kebaikan butuh dorongan dari luar. Misalkan shalat berjamaah, masa ustad nggak shalat berjamaah di masjid? Masyarakat akan memberi komentar demikian, karena kita dikenal sebagai seorang ustad. Gue mengajar di sekolah yang sudah dikenal, dimana seluruh guru dipanggil ustad/ustadzah, terlepas dari apa mata pelajaran yang diampu. Tapi panggilan ustad itu sudah melekat pada diri, sudah sepatutnya bisa menjadi contoh.
Mungkin pada awalnya terpaksa, hanya karena tidak ingin mendapatkan komentar miring. Tapi lama kelamaan akan menjadi kebiasaan, kemudian menjadi sebuah keikhlasan. Bukankah demikian adanya? Kadang kita memang butuh dorongan dari luar diri kita sendiri untuk melakukan hal yang baik.
Menurut gue pribadi, tidak ada salahnya demikian, semua membutuhkan proses yang tidak semudah yang kita bayangkan. Untuk bisa tetap konsisten dengan kebaikan saja perlu kesabaran yang luar biasa. Tapi percayalah, kesabaran kita akan menjadikan kita sebagai orang yang lebih baik dari sebelumnya. Selamat mencoba.

Comments

Popular posts from this blog

Rumah Singgah Keren di Batu

Tempat tidur super nyaman Kota batu adalah salah satu kota yang menjadi favorit saya saat ini, selain karena saya memang stay disini sejak 1,5 tahun yang lalu, kota ini memang memiliki daya tarik luar biasa, apalagi kalo bukan alamnya yang indah, udaranya yang sejuk, dan beberapa tempat wisata yang modern seperti Jatim Park 1, Jatim Park 2, Museum Angkut, Batu Night Spectacular, dan masih banyak lagi. Jadi, Batu merupakan salah satu pilihan yang tepat untuk dijadikan tempat berlibur bersama orang-orang yang dicintai.             Meski sudah stay di Batu selama kurang lebih 1,5 tahun, namun saya belum berhasil mengunjungi semua tempat wisata di Batu, biasalah saya ini pengangguran yang banyak acara, sibuk sama buku-buku di perpustakaan (ini pencitraan banget). Baiklah, saya tidak akan membicarakan tentang liburan saya yang tak kunjung usai, akan tetapi, saya akan memberi satu tempat rekomendasi yang bisa kamu jadikan tempat ...

Tentang Tato

Bermula dari tweets saya yang membahas tentang tato, sekarang saya ingin menjadikannya sebuah artikel. Tulisan ini tidak bermaksud untuk menggurui, atau menghakimi orang-orang yang mempunyai tato. Tulisan ini dari sudut pandang agama (Islam) dan medis. Tentunya ini hanya sebatas pengetahun saya saja. Saya pernah menanyakan alasan bertato kepada teman-teman yang mempunyai tato. Sebagian besar jawabannya adalah “seni, keren, punya makna tersendiri, laki banget, dan sebagainya” . Tato tidak hanya digemari Kaum Adam, namun Kaum Hawa pun juga menggemari tato. Saya pernah membaca, tato berasal dari bahasa Tahiti “tatu” yang berarti “tanda”. Para ahli menyimpulkan bahwa tato sudah ada sejak tahun 12.000 Sebelum Masehi.  Lantas bagaimana Islam memandang tato?  Sumber hukum utama dalam Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Keduanya sebagai landasan utama umat Islam hidup. Allah swt. memberikan kita pedoman dalam menjalani hidup. Di dalam Al-Qur’an, surat An-Nisa ayat...

Paralayang Batu

Salam. Tiga hari terakhir, saya lagi banyak kerjaan (baca: tugas kuliah ama jalan-jalan, hehe). Kebetulan Reimer, sahabat saya dari Rotterdam-Holland sedang berkunjung ke Malang. Sebagai sahabat yang baik, tentunya saya mau mengajak dia menjelajahi Malang dan sekitarnya, dong, hehe. Sejak Minggu saya sudah menemani Reimer jalan-jalan. Saya hanya menemai ketika kuliah sudah selesai aja, sih. Biasanya dari ashar sampai malam. Nah, selain kelayapan di Malang, saya mengajak Reimer untuk menikmati keindahan pemandangan dari atas ketinggian Gunung Banyak yang merupakan tempat bagi kamu yang berani uji nyali untuk terbang dari ketinggian dengan bantuan parasut atau biasa dikenal dengan Paralayang.