Edisi narsis :p
Kalo
pas malam minggu kelabu datang, gue biasanya terkena penyakit galau dadakan
(sebenarnya memang hampir tiap hari sih gue galau). Kalo udah galau, gue
biasanya buka twitter, memantai lalu lalang di timeline yang
dipenuhi oleh para jomblowan dan jomblowati akut. Gue mungkin satu-satunya guru
di sekolah ini yang paling suka berpetualang di jejaring sosial, terutama twitter.
Gue juga satu-satunya yang suka berkicau di blog pribadi, meski cuma iseng
nulis yang kadang nggak jelas. Gue juga yang paling suka galau di setiap malam
minggu. Kayaknya gue serba paling dalam hal galau menggalau, apalagi narsis
#kalem
Ah iya, kata beberapa followers gue,
gue itu guru yang narsis banget. Kalian tahu kenapa? Karena gue suka share
foto-foto gue bersama murid-murid. Gue sih santai aja menanggapinya. Selagi gue
narsis nggak mengganggu keutuhan rumah tangga mereka, ya, nggak apa-apa juga,
kan? Kecuali kalo saat melihat foto-foto
gue, keutuhan rumah tangga mereka bakalan berada di ujung tanduk, mungkin gue
bakalan berhenti narsis. Itu cuma persepsi mereka saja sih menurut gue. Kadang
masyarakat memang terlalu berlebihan dalam menilai orang lain. Apa salahnya
kalo gue suka difoto? Mungkin ini minat yang baru gue sadari akhir-akhir ini hehe
Hampir setiap malam minggu, gue
biasa membuat puisi, kadang-kadang banyak di retweet ama murid-murid gue
dan akan banyak juga yang mention gue;
“Ustad Arian lagi galau.”
Biasanya
gue balas komentar mereka dengan alasan lagi belajar bikin puisi. Biar galaunya
bermanfaat, makanya merangkai kata-kata menjadi kalimat-kalimat yang memiliki
arti indah, sok romantis padahal gue bukan cowok romantis. Gue memang nggak
punya bakat untuk jadi cowok yang romantis. Gue punya bakat jadi cowok yang
manis doang #uhuk
Murid
gue kalo udah baca tweets gue yang isinya galau (itu sih kata mereka),
bakalan di retweet semua. Sampai ada yang rela ngeretweet semua tweets
gue. Aneh, kan murid-murid gue? Nggak jauh beda ama gue.
Lagi-lagi
gue tidak setuju dikatakan galau kalo gue menulis puisi. Karena terkadang gue
memang sengaja belajar bikin puisi dengan berkicau. Jadi tidak semua yang
sering membuat puisi itu suka galau, kan? Tapi lagi-lagi itulah persepsi
masyarakat, kita tidak bisa merubah persepsi mereka agar sama dengan apa yang
ada di benak kita.
Sebagian
besar dari followers gue adalah murid. Itu artinya sebagian besar
murid-murid gue membaca semua tweets gue; entah yang sok islami, sok
bijak, sok puitis, curcol, galau, de el el. Jadi nggak aneh kok kalo gue
mendapat predikat ustad yang paling sering berkicau dan paling sering galau di
jejaring sosial. Jejaring sosial yang sering gue pakai adalah twitter, gue
jarang membuka lapak di facebook. Palingan gue cuma share
tulisan-tulisan gue yang ada di blog, ama ngurus fans page. What? Fans
page? Nggak salah ni gue? yupz gue punya fans page dan bisa
dipastikan orang-orang yang nge-like itu pasti bingung siapakah gerangan
yang punya page ini? Terkenal juga kagak, iya kan? Tapi ya sudahlah,
kalo berkenan ya silahkan di like, kalo nggak berkenan ya tetap harus di
like juga (edisi maksa).
Sebenarnya,
awalnya gue hanya sering berinteraksi dengan teman-teman penulis doang di twitter.
Tapi lama kelamaan banyak murid yang jadi followers, gue mulai
mengurangi jam terbang gue di timeline. Untuk mengurangi kegalauan gue
di malam minggu, gue biasanya membuat kuis berhadiah pulsa gratis. Yah lumayan
membuat gue sedikit move on. Berbagi di malam minggu kelabu.
Pernah
gue bikin tweets puisi tentang jatuh cinta, rame tuh murid-murid yang mention
gue. Padahal gue cuma bikin puisi doang. Gue aja nggak tahu puisi itu gue
tujukan ke siapa, gue cuma pengen aja bikin puisi. Setiap kali gue bikin puisi,
gue dikatain galau.
“Cieee..
Ustad lagi jatuh cinta, ya? Ama siapa?”
“Uhuk..numpang
batuk, ya Ustad.”
“ehm..
ada yang lagi jatuh cinta ni kayaknya. Akhirnya Ustadku jatuh cinta.” (Baca
mention ini gue jadi pengen nimpukin dia pake permen satu kardus)
“Semoga dia memang jodoh ama Ustad, ya.” (ah
ini anak bijak banget. Tapi siapa dia?)
Mungkin
karena gue bikin puisinya di malam minggu, makanya banyak yang mengira gue lagi
galau. Ada murid yang pernah nanya,
“Kok bikin puisi seringnya malam
minggu?”
Kalo
gue bikin puisi malam Jumat Kliwon, gue takut setan pada jatuh cinta ama gue
#dicekeksetan.
Awalnya
gue itu nggak pernah berani memakai foto asli di jejaring sosial. Alasannya sih
simpel banget, gue cuma takut banyak yang galau melihat wajah gue yang nggak
jauh beda ama Tom Cruise kalo dilihat dari puncak monas. Semoga penggemar Tom
Cruise tidak membaca tulisan ini, takutnya gue didemo kemudian diminta untuk
menampakkan diri dihadapan publik. Bisa berabe urusannya kalo kayak gitu. Jadi
jangan bilang-bilang fans-nya Tom Cruise, ya, Bro. #nyengir
Setelah
hampir setengah tahun gue punya akun twitter, akhirnya gue berani juga pasang
muka labil gue jadi avatar. Mulai deh banyak komentar. Selain berani masang
foto asli, gue jadi ketagihan share foto. Kalo baru aja ada kegiatan
sekolah dan kebetulan gue bawa camdig, pulangnya biasanya gue langsung share
di twitter. Itu berlangsung hampir satu tahunan lebih. Setelah itu,
akhir-akhir ini gue sudah jarang banget bawa camdig. Udah jarang juga share
foto-foto. Udah mulai bosan, kebanyakan foto kayaknya.
Galau
di timeline itu ada serunya juga loh, Bro (akhirnya ngaku juga kalo
sering galau di timeline). kadang kalo gue lagi rajin banget ngetweet
puisi, ada juga yang iseng ngebalas tweets gue dengan puisi juga. Nah
kalo sudah demikian, biasanya akan terjadi saling berbalas mention
berupa puisi. Seru aja sih menurut gue. Tapi ya nggak jauh-jauh dari puisi
galau sih (itu kata mereka)
-Benciku
padamu, hanya akan membuatku selalu ingat akan dirimu. Aku tak pernah
benar-benar membenci- #nomention
-Aku
tak pernah benar-benar menjauh darimu, aku hanya mengeja jarak, berharap rasaku
mengutuh, menyemai rindu untukmu-
-Dalam
diam, kusebut namamu, kuucapkan rindu, kusemai benih-benih cintaku untukmu-
-Luka,
mungkin hanya goresan rasa yang akan hilang bersama hangatnya mentari pagi, ada
rindu yang menanti tuk didekap-
-Bukankah
hadirku untuk menerangi hatimu dengan warna-warni pelangi yang terukir indah di
raut wajahku? Mungkin.-
-Cinta,
mungkin hanya tetesan bahagia yang jatuh perlahan dari mahligai kasih, yang
terus menetes dan memenuhi sanubariku.”
-Benci,
mungkin hanya gejolak rindu yang sedang berlari tak tentu arah, mencari jalan
untuk kembali-
-Rindu,
mungkin hanya getaran rasa yang melambung tinggi bersama alunan nada hatiku dan
hatimu-
Gue
juga sering ngetweet kalo lagi kangen ama murid-murid. Saat liburan
biasanya gue kangen banget ama mereka. Gue nggak tahu apakah mereka juga
merasakan hal yang sama. Semoga.
-Aku
merindukan kebersamaan kita, tertawa, berbagi suka dan duka, pun dengan
langkah-langkah kecil kalian. Adakah rindu untukku?-
-Aku
merindukan senyum khas yang selalu hadir menemani pagiku, senyum ramah yang
menyapa hati di saat mentari memulai sinarnya. Aku rindu-
-Aku
merindukan rasa yang selalu hadir saat tanganku menyentuh lembut telapak tangan
kalian, pun dengan ucapan salam yang kalian ucapkan-
-Aku
merindukan derap langkah kalian, berlari mengejar langkahku yang kadang terlalu
cepat, pun dengan hentakan-hentakan kaki-kaki mungil kalian-
Kadang
kalo lagi kangen Ibu, gue juga sering ngetweet.
-Kulihat
wajahmu yang tak lagi seperti dulu, ada garis-garis kehidupan yang menghiasi
wajahmu. Aku ingin melihatmu bahagia karenaku-
-Kulihat
mentari yang perlahan menghangatkan semestaku. Kasihmu tak pernah hilang,
menjelma menjadi rindu yang menggunung. Aku rindu Ibu-
-“Adakah
rindu yang sama yang engkau rasa?” Tanyaku padamu. Ada rindu untukmu, Ibu.
Selalu-
-“Kapan
pulang?” tanyamu padaku saat getar-getar rindu itu semakin kuat. “Nanti,”
jawabku. Kemudian engkau merapal harap segera-
-Jiwaku
tenang saat jemariku memegang erat kedua tanganmu yang dulu menuntunku untuk berdiri
kuat melawan kehidupan. Ada rindu untukmu-
-Pagi
datang membawa senyuman, menata rindu akan hadirmu di sisiku, Ibu. Ibu, utuhkah
rindu menjelma di hatimu?
Kurang
lebih demikianlah tweets gue di malam minggu. Sebelum ngetweets
puisi, biasanya gue izin dulu ke followers gue, udah kayak mau nikah
aja, kudu izin ke followers.
Ada
juga murid gue yang rela scroll down tweets gue yang udah lama,
kemudian nge-retweet semua tweets gue yang sok puitis bin galau.
Handphone gue berdenting mulu karena notification dari twitter.
Fiuh…kamu tega.
Ada
yang belum gue ceritakan, di jejaring sosial gue memiliki dua gelar; Pak Guru
dan Ustad. Kalo Pak Guru adalah panggilan dari mereka yang bukan murid, meski
ada juga yang manggil gue ustad. Sedangkan ustad adalah panggilan resmi dari
murid-murid gue.
Pada
akhirnya gue menyadari satu hal, tidak masalah kalo memang gue aktif di
jejaring sosial, dalam hal ini twitter, selama itu masih wajar-wajar
saja. Yang jadi masalah adalah ketika sudah menjadi kecanduan akut, hingga melupakan
banyak hal lain yang seharusnya kita lakukan. Selama itu masih dalam batas yang
wajar, silahkan saja, jangan sampai menjadikan itu semua sebagai suatu hal yang
wajib dilakukan.
Segalau
sesuatu yang dilakukan berlebihan memang tidak baik, kan? Contohnya kamu suka
maen game, ya, silahkan maen. Tapi jangan sampai bermain game melupakan
kewajibanmu, misalkan shalat. Gue punya murid yang rela maen game di warnet
dari maghrib sampai subuh, parah nggak tuh? Sekalian aja bikin kontrakan di
warnetnya.
Selamat
berkicau dan jangan lupa follow gue di @ariansilencer (modus nyari followers).
Biasanya kalo galau malah bisa bikin tulisan yg bagus
ReplyDeletesetuju :)
Delete