Ia
berjalan perlahan memasuki gerbang sekolah, menyambut tangan-tangan kami selaku
gurunya. Ucapan salam yang ia ucapkan diiringi dengan senyumnya yang khas. Saya
hafal dengan baik bagaimana dia tersenyum. Senyum yang selalu ia berikan pada
siapa pun. Saya menikmati pemandangan ini, menikmati senyumnya yang menghiasi
pagi meski kadang mendung menjelma.
Kadang, aku sengaja mengajaknya
untuk bercerita banyak hal. Tentang dia dan cita-cita yang dulu pernah ia rajut
selagi masih kecil, tentang dia dan penyakit yang menggerogoti tubuhnya dan
masih banyak lagi pembicaraan-pembicaraan yang pernah kami lakukan. Senyum tulus
itu tidak pernah hilang dari wajahnya meski penyakit yang ia derita kerap kali
datang di saat yang tidak tepat.
Hannan,
begitu aku memanggilnya. Dia anak kedua dari 2 bersaudara. Dia memiliki seorang
kakak. Makanan kesukaannya adalah telor dadar. Minuman favoritnya adalah air
putih. Itu saja. Dia tidak terlalu memilih dalam hal makanan. Selagi itu baik
dan halal, maka akan disantapnya dengan lahap.
Nama
lengkapnya adalah Hannan Hunafa, sekarang dia sudah di kelas 8 Asy Syaja’ah.
Entah sudah yang keberapa kalinya dia tidak mengikuti pelajaran saya. Kerap
kali badannya lemah, tidak mampu untuk bertahan menerima pelajaran yang ada.
Tiap kali melihat dia lemah, biasanya saya akan bilang.
“Mas
Hannan istirahat di UKS aja, ya.”
Dia
memang lebih sering di ruang UKS dibandingkan mengikuti pembelajaran dengan
saya. Lagi-lagi, sakit yang ia derita lah yang menjadi penyebab
ketidakhadirannya di kelas. Tak jarang pula dia tidak berangkat sekolah karena
kondisinya sedang tidak stabil. Ada rasa kasihan yang sering datang tiap kali
melihat senyumnya. Ada semangat yang terus membuncah dalam dada tiap kali
melihatnya lemah tak berdaya, semangat untuk terus menuntunnya meski harus
tertatih. Doa-doa sering kupanjatkan pada Yang Mahakuasa agar dia diberi
kesembuhan.
Hannan,
dia adalah murid saya yang paling suka bermain dengan komputer. Dia bisaa
berdiam diri di depan layar komputernya, mencoba program ini dan itu,
berselancar di dunia maya dan masih banyak lagi yang dia lakukan.
Saya
sempat bertanya akan sakit yang di deritanya, dari pertanyaan-pertanyaan yang
saya ajukan padanya, saya akhirnya tahu bahwa dia menderita penyakit diabetes.
Dia sudah menderita diabetes sejak masih berumur 8 tahun. Tepatnya sejak ia
masih duduk di kelas 3 Sekolah Dasar. Dan hingga hari ini, ia masih mencoba
untuk bertahan, melawan penyakit yang hari demi hari terus menggerogoti
tubuhnya yang mungil.
Dia
tidaklah setinggi Ade Rai, dia juga tidak segemuk Ade Namnung, dialah Hannanku,
muridku yang senyumnya selalu kunanti. Dia mengajarkanku bagaimana terus
bersyukur di tengah penyakit yang dideritanya. Dia mengajarkanku untuk menerima
takdir Tuhan dengan tulus. Karena ia percaya, Tuhan tidak akan mencoba umat-Nya
diluar dari kemampuan umat.
Kadang,
saat gula darahnya sedang tinggi, maka pusing akan menghampirinya, membuatnya
terbaring lemah tak berdaya di ruang UKS. Ibunya dengan setia menemaninya saat
kondisinya sedang kurang baik. Ibunya dengan sabar membawakan obat-obatan ke
sekolah demi Hannan. Orangtuanya begitu menyayanginya. Jika gula darahnya
sedang rendah, biasanya dia akan lemas, tidak bersemangat menantang hari.
Namun, senyumnya tetap ada. Ah senyum itu.
Hannanku,
tetaplah dengan senyummu, Nak. Tunjukkan pada dunia bahwa engkau bisa menyinari
dunia dengan seukir senyum yang selalu menghiasi wajahmu. Tersenyumlah, meski
kadang cobaan hidup yang begitu berat. Tersenyumlah meski kadang air mata harus
ikut berurai bersama dengan senyumnya. Percayalah, Allah sangat menyayangi Nak
Hannan.
Itulah
Hannanku, laki-laki yang dengan penuh ketegaran menjalani hari-harinya bersama
dengan diabetes yang dideritanya. Dialah Hannanku, murid yang selalu kurindukan
kehadirannya. Dialah Hannanku, yang mengajarkanku banyak hal tentang hidup.
Selamat berjuang meraih mimpi, Nak. Doa akan selalu saya panjatkan pada Tuhan,
agar kasih-Nya tetap hadir dalam relung hatimu.
cerpen bagus,bisa jd motivasi untuk si pembaca
ReplyDeleteterimakasih
Delete