Namanya
Jihan, dia sangat pendiam, dan cenderung pasif. Dia adalah anak yang
berkebutuhan khusus. Di SMP Al Irsyad Purwokerto, tempat dimana saya
mengabdikan diri pada dunia pendidikan adalah sekolah inklusi, dimana terdapat
anak-anak yang istimewa yang belajar bersama dengan anak-anak yang lainnya.
Mereka adalah anak-anak yang diberi Tuhan karunia yang istimewa.
Saya
pertama kali kenal dengan Jihan pada tahun ajaran baru 2011/2012. Tepatnya pada
tanggal 23 Juli 2011. Sudah hampir satu bulan saya mengajar, namun saya baru
kenal dengan yanga namanya “Jihan”. Saat pertama kali melihat dia, saya betul-betul
ingin tahu lebih banyak tentang dia. Saya masih ingat bagaimana dia duduk di
pojok kelas, memainkan sepatunya, menggoyangkan sepatunya ke kanan dan ke kiri,
sambil matanya mengikuti arah sepatunya mengayun. Saat itu, dia masih belum bisa
berinteraksi dengan teman-temannya yang lain. Dia masih asyik dengan dunianya
sendiri.
Saking
saya pengen tahu lebih banyak tentang Jihan, saya sempatkan bertanya langsung
kepada Wali Kelas 7 Sincere, bertemu dengan Guru BK (bimbingan konseling),
bertanya pada rekan-rekan Guru yang kebetulan mengajar di kelas Jihan, dan
berbincang banyak hal dengan teman-teman yang satu kelas dengannya. Jihan, dia
istimewa.
Suatu
ketika, saya sedang berdiri menunggu kedatangan murid-murid di gerbang sekolah.
Jihan datang, kemudian langsung berlari menuju kelasnya. Dia sama sekali tidak
menjabat tangan saya maupun Guru-guru yang lain. Dia memang masih belum rutin
menjabat tangan kami, kalaupun dia menjabat tangan kami, bisaanya dengan cepat
dia akan berlari menuju kelasnya. Dia tidak pernah membiarkan kami menatap
kedua matanya secara langsung.
Setelah
beberapa waktu, Jihan yang dulunya tidak pernah mau bersalaman sambil kontak
mata dengan Guru, perlahan dia pun menjabat tangan kami dengan erat, kemudian
menatap kedua mata kami. Ada selukis senyum yang hadir di wajahku, senyum
bahagia melihat Jihan sudah mulai bisa bersosialisasi dengan lingkungan sekolah
tempat ia belajar.
Saya
memang bukan kuliah di jurusan psikologi, sehingga saya memang tidak terlalu
paham tentang anak-anak yang berkebutuhan khusus. Namun, melihat Jihan bisa
lebih bersahabat dengan teman-temannya dan berinteraksi dengan Guru-guru adalah
sebuah kebahagiaan tersendiri. Saya bahagia dengan perubahan kecil yang ada
pada dirinya.
Semakin
lama, saya semakin bahagia melihat perubahan-perubahan yang pada Jihan. Setiap
pagi, saya melihat Jihan melakukan shalat dhuha di masjid sekolah. Sebelum jam
tanda masuk dimulai, dia menyempatkan diri untuk shalat dhuha, menghadap pada
Tuhan yang telah memberikan kita karunia yang tidak terhingga. Setelah shalat, bisaanya
dia akan menunggu teman-temannya untuk bersama-sama menjabat tangan Guru-guru.
Dia memang masih belum berani jika harus menjabat tangan guru-guru sendirian.
Dia baru akan bersalaman, dan mengucapkan salam saat ada teman-teman yang lain
ikut baris bersamanya.
Pernah
suatu ketika, saya meneteskan air mata haru karena Jihan. Sejak masuk sekolah
setelah libur Idul Fitri 1433 H, saya memang ditugaskan untuk mengontrol
anak-anak kelas VIII saat mengambil air wudhu untuk shalat dzuhur. Setelah
anak-anak selesai mengambil air wudhu, saya membiasakan mereka untuk berdoa
setelah mengambil air wudhu, baru kemudian masuk ke dalam masjid. Jihan, dia
belum bisa menghafal doa setelah wudhu. Saya selalu menuntunnya untuk baca doa
setelah wudhu. Dan saya lakukan itu setiap hari.
Suatu
ketika, saya langsung shalat sunnah tahiyyatul
masjid dua rakaat dan membiarkan anak-anak membaca doa sendiri-sendiri
tanpa ada pantauan saya. Saat saya sedang shalat, Jihan berdiri di samping
saya, sambil memegang kedua tangannya seakan-akan dia sedang berdoa. Dia
menunggui saya selesai mendirikan shalat. Setelah mengucapkan salam sebagai
akhir dari shalat, saya berdiri dan bertanya,
“Mas
Jihan ngapain dari tadi berdiri di samping ustadz?”
“Belum
doa, Ustadz.” Jawabnya sambil mengangkat kedua tangannya untuk dituntun membaca
doa setelah wudhu.
Mataku
seketika basah oleh rembesan airmata haru. Haru karena Jihan begitu ingin bisa
hafal doa setelah wudhu. Saya langsung membimbingnya berdoa, kemudian
menyuruhnya untuk shalat sunnah dua raka’at terlebih dahulu.
Jihan,
sinar matamu mengajarkanku banyak hal. Dengan keistimewaanmu, Tuhan
mengajarkanku untuk lebih mengenal akan ciptaan-Nya. Semoga kebaikan selalu
menyertaimu, Nak. Jadilah anak yang sholeh, yang akan menebarkan segala
kebaikan kepada orang-orang yang ada di dekatmu. Salam dari gurumu, Arian
Sahidi.
“Mas Jihan ngapain dari tadi berdiri di samping ustadz?”
ReplyDelete“Belum doa, Ustadz.” Jawabnya sambil mengangkat kedua tangannya untuk dituntun membaca doa setelah wudhu.
*nangis :(
iya, saya pun menitikkan air mata :(
Delete