Skip to main content

Pahlawan Tanpa Tanda Jasa


“Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa”

Saya yakin kalian juga pernah membaca kalimat di atas, entah itu di buku-buku pelajaran, artikel-artikel pendidikan, atau mungkin kalian sering mengucapkan kalimat itu.

Saya adalah seorang guru, meski baru seumur jagung masa kerja saya sebagai seorang guru. Akan tetapi, lamanya masa mengajar tentu bukan menjadi tolak ukur profesionalitas seorang guru. Guru itu memiliki tanggung jawab yang sangat besar, dimana ia selalu dijadikan panutan oleh anak didiknya. Guru itu memiliki kewajiban untuk merubah anak didiknya “dari tidak tahu menjadi tahu”. Itulah sebuah proses panjang perjuangan seorang guru.

Juli 2011
Kali pertama saya menjadi seorang guru, saya sempat merasakan betapa berat amanah yang ada di pundak saya. Sebuah amanah yang merupakan titipan dari masing-masing wali murid, untuk mendidik anak-anak mereka menjadi putra-putri yang memilik kepribadian unggul. Namun, saya yakin bahwa saya bisa mengemban amanah ini, meski jalan yang akan saya lalui begitu terjal, mungkin berbelok, atau bahkan terperosok karena ketidakhati-hatian saya dalam memilih jalan.
Pertanyaan yang sering saya dengar adalah, 

“Apakah semua pendidik kita itu berkualitas?”

Mari saya ceritakan satu fakta yang membuat saya mengerutkan dahi. Saat pulang mudik lebaran ke Bengkulu, saya mendapatkan sebuah cerita dari salah satu teman ayah. Ia menceritakan bahwa banyak teman-temannya yang memiliki ijazah S1 dengan membayar uang dengan jumlah tertentu, kemudian menggunakan ijazah tadi untuk bisa ikut tes PNS. Tidak hanya itu, tes PNS zaman sekarang sudah tidak lagi murni mencari pegawai yang memiliki kinerja yang baik, melainkan sebagai ajang untuk menumpuk kekayaan bagi segelintir orang.

Dahi saya semakin berkerut, sementara sang bapak terus melanjutkan ceritanya.

“Ada rekan saya yang lulus PNS dengan menyogok, dan ditempatkan untuk mengajar di SD. Ijazah yang ia dapat bukan karena ikut perkuliahan, melainkan hanya sebatas membayar ke sebuah perguruan tinggi demi mendapatkan pengakuan bahwa ia sudah menyelesaikan pendidikan strata satu (S1). Pada saat pergantian Kepala Daerah, diadakan perpindahan tenaga pengajar, ada Guru yang tadinya mengajar matematika di SD kemudian dipindahkan ke SMP, yang semula mengajar di SMA dipindah tugaskan ke SD, dan sebaliknya. Rekan saya kaget, saat mengetahui bahwa dia dipindahkan ke SMA. Jika pindah ke SMA, otomatis beban mengajarnya lebih sulit dibandingkan dengan materi yang ada di SD. Rekan saya hanya sanggup bertahan beberapa bulan saja, sebelum akhirnya mengundurkan diri.”

Teman ayah mengakhiri ceritanya dengan menghembuskan nafas panjang, sambil berucap,

“Bagaimana nasib anak-anak saya jika kualitas pendidik seperti ini adanya?”

Saya pun akhirnya ikut menghela nafas panjang.
Inilah satu kisah dari sekian banyak kisah yang saya dengar. Masih banyak tenaga pengajar yang tidak memenuhi standar untuk bisa mengajar dengan baik. Banyak guru yang hanya lebih pintar dengan muridnya satu malam saja, dalam artian, materi ajar esok hari baru dipersiapkan pada malam harinya, dan terus demikian. Banyak guru yang kelabakan saat mendapatkan pertanyaan-pertanyaan dari murid yang sudah lebih banyak tahu tentang materi ajar.

Zaman semakin berkembang, anak-anak mendapatkan berbagai macam informasi dari sekian banyak media yang ada. Guru seharusnya bisa terus meningkatkan kemampuannya, agar bisa menjadi lebih baik dari hari ke hari. Tidak hanya jalan di tempat.

Satu potret menyedihkan lainnya adalah, sebuah kenyataan bahwa untuk menjadi guru sudah dijadikan sebuah ladang penambah kekayaan bagi pihak-pihak tertentu. Setelah menyelesaikan pendidikan Strata Satu (S1), saya sempat ingin pulang ke kampung halaman, mengabdikan diri pada bangsa, mendidik penerus bangsa ini menjadi putra-putri yang siap untuk memimpin bangsa ini menjadi lebih baik.

Namun, semangat saya akhirnya kalah. Semangat saya untuk pulang ke kampung halaman dan mengabdi, menjadi hilang saat melihat potret perekrutan tenaga pengajar yang tidak semestinya. Tes PNS yang diadakan hanya sebagai kedok, kenyataannya yang mempunyai uang lebih lah yang bisa menjadi PNS. Kualitas calon guru tidak menjadi persoalan, yang bayarannya besar, dialah yang akan lolos menjadi PNS.

“Lantas, jika kualitas tenaga pendidik tidak lagi penting, bagaimana nasib penerus bangsa ini?”

Namun, saya masih percaya, ada pihak-pihak yang betul-betul tulus mengabdikan diri menjadi tenaga pendidik. Semoga kedepannya potret pendidikan bangsa ini terus menjadi baik. Dengan baiknya kualitas tenaga pendidik, tentu akan menghasilkan anak didik yang memiliki kualitas lebih baik.

Comments

Popular posts from this blog

Rumah Singgah Keren di Batu

Tempat tidur super nyaman Kota batu adalah salah satu kota yang menjadi favorit saya saat ini, selain karena saya memang stay disini sejak 1,5 tahun yang lalu, kota ini memang memiliki daya tarik luar biasa, apalagi kalo bukan alamnya yang indah, udaranya yang sejuk, dan beberapa tempat wisata yang modern seperti Jatim Park 1, Jatim Park 2, Museum Angkut, Batu Night Spectacular, dan masih banyak lagi. Jadi, Batu merupakan salah satu pilihan yang tepat untuk dijadikan tempat berlibur bersama orang-orang yang dicintai.             Meski sudah stay di Batu selama kurang lebih 1,5 tahun, namun saya belum berhasil mengunjungi semua tempat wisata di Batu, biasalah saya ini pengangguran yang banyak acara, sibuk sama buku-buku di perpustakaan (ini pencitraan banget). Baiklah, saya tidak akan membicarakan tentang liburan saya yang tak kunjung usai, akan tetapi, saya akan memberi satu tempat rekomendasi yang bisa kamu jadikan tempat ...

Dosen dengan Gelar S2 dan Tantangan Gaji: Antara Investasi Pendidikan dan Realitas Pasar Tenaga Kerja

Pendidikan tinggi adalah tonggak penting dalam pembangunan individu dan masyarakat. Bagi banyak orang, gelar S2 adalah pencapaian yang menandai komitmen mendalam terhadap bidang studi tertentu. Bagi sebagian besar dosen dengan gelar S2, perjalanan akademik ini bukan hanya tentang memperluas pengetahuan mereka sendiri, tetapi juga tentang mempersiapkan diri untuk berkontribusi dalam pengajaran, riset, dan pembangunan intelektual di masyarakat. Namun, ada satu aspek dari karier dosen dengan gelar S2 yang sering kali menjadi sorotan: gaji yang mungkin tidak selalu sejalan dengan tingkat pendidikan mereka. Memahami Konteks Pendidikan Tinggi Sebelum kita memasuki diskusi lebih lanjut, penting untuk memahami konteks pendidikan tinggi saat ini. Pendidikan tinggi di berbagai negara memiliki struktur, kebijakan, dan dinamika pasar tenaga kerja yang unik. Di satu sisi, pendidikan tinggi dianggap sebagai investasi jangka panjang yang dapat membawa keuntungan besar bagi individu dan masyarakat. Di...

Memilih Antara Sekolah Swasta dan Sekolah Negeri: Pertimbangan Orangtua dalam Pendidikan Anak

Pendidikan adalah salah satu aspek paling penting dalam perkembangan anak-anak kita. Sejak dini, kita sebagai orangtua dihadapkan dengan pilihan yang signifikan: memilih antara sekolah swasta dan sekolah negeri untuk anak-anak kita. Keputusan ini seringkali tidak mudah, karena melibatkan banyak faktor yang harus dipertimbangkan secara cermat. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi berbagai pertimbangan yang sering menjadi dasar pilihan orangtua, serta analisis mendalam mengenai perbedaan, kelebihan, dan kelemahan dari kedua jenis pendidikan ini. Perbedaan Antara Sekolah Swasta dan Sekolah Negeri Sebelum kita memasuki pembahasan lebih mendalam, ada baiknya untuk memahami secara jelas perbedaan mendasar antara sekolah swasta dan sekolah negeri. 1. Pendanaan dan Kepemilikan: Sekolah Negeri: Didanai dan dioperasikan oleh pemerintah setempat atau pemerintah pusat. Mereka biasanya tidak mengenakan biaya pendidikan (atau mengenakan biaya yang sangat terjangkau) dan didirikan untuk memastik...