Dulu,
saya adalah seorang anak yang sangat pemalu, tidak berani mengemukakan pendapat
saat di kelas, tidak berani maju menjawab soal-soal yang dibuat oleh guru,
tidak banyak bicara. Saya hanya suka dengan kesendirian, diam dan melakukan
berbagai macam hal sendiri. Saya tidak banyak berinteraksi dengan teman-teman.
“Guruku
adalah pahlawanku.”
Saya
menyebutnya demikian, saya mempunyai seorang guru perempuan, beliau adalah guru
yang mengajar tauhid, nama beliau adalah Ustadzah. Sulastri, S.Ag. Beliau
begitu perhatian, selalu memberi kesempatan pada saya untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang beliau ajukan, dan tidak pernah bosan, meski saya
sangat susah untuk menjawab semua pertanyaan itu. Bukan karena saya tidak bisa
menjawab, akan tetapi karena malu yang sangat berlebihan yang masih belum bisa
saya kurangi.
Pada
satu kesempatan, saya dipanggil oleh Ustadzah. Sulastri, beliau mengajarkan
kepada saya bahwa “malu memang sebagian dari iman.”, Akan tetapi malu yang
dimaksud disini adalah “Malu jika melakukan sesuatu yang tidak diridhoi oleh
Allah.” Beliau sangat telaten menjelaskan kepada saya hakikat malu yang
sesungguhnya. Selagi itu baik, jangan malu untuk melakukannya. Lakukanlah semua
itu karena Allah SWT.
Saat
itu, saya hanya mendengarkan dengan baik apa yang dijelaskan oleh beliau.
Hingga akhirnya beberapa waktu kemudian, saat sudah masuk ke sekolah menengah
atas, saya mulai percaya dengan kemampuan diri. Saya sudah mulai berani
berinteraski dengan teman-teman, saya juga sudah berani mengemukakan pendapat,
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh guru pada saat kegiatan
belajar mengajar berlangsung dan lain-lain. Sejak itu, saya mulai menemukan
bahwa saya mampu, saya harus percaya dengan diri sendiri, bukan malah malu.
Ustadzah.
Sulastri tidak hanya menjadikan saya percaya diri, akan tetapi beliau juga yang
membuat saya bangkit lagi, saat saya sedang terpuruk. Saya pernah melakukan
satu kesalahan fatal, yang membuat saya dijauhi oleh teman-teman. Beliau sempat
meneteskan air mata, membuat saya ikut menangis haru, merasakan betapa beliau
sangat peduli dengan anak didiknya. Saat guru-guru banyak yang mengacuhkan
saya, disaat saya butuh dukungan dari mereka semua, Ustadzah. Sulastri datang
dengan sabar menenangkan saya, mencoba untuk membuat saya kembali bangkit dari
keterpurukan.
Saya
sempat ingin mengakhiri hidup karena permasalahan yang tak kunjung usai, namun
nasehat demi nasehat yang diberikan oleh beliau selalu terngiang di dalam benak
saya,
“Bahwa
hidup memang tidak akan pernah lepas dari permasalahan, yang perlu kita lakukan
adalah menjadi diri kita yang terbaik. Selebihnya, biarkan Allah memperlihatkan
betapa agung kuasa-Nya.”
Nasehat-nasehat
yang selalu beliau sampaikan telah menjadikan saya lebih baik, menjadikan saya
satu sosok yang mulai menata kembali jalan menuju Allah. Saya sempat lari,
menjauh dan enggan untuk kembali kepada Tuhan yang telah memberikan sekian
banyak anugerah, namun lagi-lagi Ustadzah. Sulastri yang menegarkanku,
menyemangatiku, menanam kembali benih-benih kerinduan pada Tuhan.
Begitulah
sosoknya, sosok yang sangat sederhana namun mengagumkan. Sosok yang begitu
tawadhu’ meski pengetahuan yang beliau miliki begitu banyak. Sosok yang sampai
hari ini masih tetap ada di lubuk hati saya, sosok pahlawan yang akan selalu
ada di langit hatiku.
Begitulah
seharusnya seorang guru, harus merangkul anak didiknya, jangan sampai mereka
jatuh dan tidak mendapatkan uluran tangan untuk kembali bangkit. Guru adalah
satu sosok yang memiliki kewajiban untuk mengerti semua peserta didiknya. Guruku Adalah pahlawanku.
Comments
Post a Comment
Jangan Lupa Tinggalkan Komentarnya Gan