Ketika Tuhan
sudah menghendaki sesuatu
Maka tidak
ada yang bisa menghalangi-Nya
Kita semua
akan kembali pada-Nya
Suasana di Stasiun Kereta
Api Purwokerto semakin sesak, para penumpang memenuhi Stasiun, menunggu kereta
api yang akan membawa mereka ke tujuan masing-masing. Banyak pedagang yang
menjual berbagai macam makanan sebagai bekal para penumpang selama di dalam
kereta. Ada juga yang menjual berbagai macam makanan khas Purwokerto. Siapa
yang tidak tahu dengan “mendoan”? Mendoan adalah salah satu makanan khas
Purwokerto. Belum lengkap rasanya kunjungan ke kota ini tanpa menikmati sajian
mendoan yang disantap saat masih hangat. Mendoan adalah sejenis tempe yang
lebar dan tipis, digoreng dengan balutan tepung beras/glepung dan tepung
terigu. Enak dimakan dengan dicocol ke sambal atau saus, atau bisa juga dengan
cabe rawit yang pedesnya mak nyuss! Di mana mendoan bisa didapatkan? Di hampir
seluruh penjuru Purwokerto bisa anda dapatkan mendoan ini. Cari saja penjual
gorengan, niscaya anda takkan kesulitan menemukan mendoan.
Faraj, Imamah, Aldo, dan
Hesta sudah menikmati rasa mendoan. Winda menyediakan mendoan khusus buat sahabat-sahabat Evan. Winda
memang istri idaman, dia pintar masak. Sahabat-sahabat Evan masih ingin berlama-lama
di Kota Satria ini, mereka belum sempat berkunjung ke Lokawisata Baturaden yang
terkenal itu, padahal jaraknya hanya 14 km dari Kota Purwokerto. Masih banyak
makanan yang belum mereka nikmati selama di Purwokerto. Mereka belum menikmati
Soto Sokaraja yang sering diceritakan Evan waktu masih kuliah di Jogja. Tapi,
kerjaan menunggu dan memaksa mereka kembali ke Jogja.
“Kalo kalian datang ke
Purwokerto, kalian harus mencoba sedapnya Soto Sokaraja,” ucap Evan dengan
penuh semangat kala itu. Soto asal Purwokerto ini memakai ketupat serta
berbumbu kacang dengan taburan kerupuk di mangkoknya. Sepertinya mereka harus
kembali berkunjung ke Purwokerto dan menikmati sajian khas kota ini.
Evan ditemani istri
tercintanya mengantarkan sahabat-sahabatnya ke Stasiun. Mereka duduk di kursi
panjang yang disediakan pihak Stasiun, bercengkerama sebelum kereta datang dan
memisahkan mereka. Hesta tidak banyak bicara, dia hanya diam sambil menekuri
buku yang sengaja dia bawa dari Jogja. Selain kocak, dia memang kutu buku.
Beberapa hari yang lalu, selama di dalam kereta dari Jogja ke Purwokerto, dia
hanyut dalam lembar demi lembar buku yang ada di tangannya. Dia membiarkan
sahabat-sahabatnya sibuk dengan urusan masing-masing.
Selama kuliah di Jogja,
hampir setiap akhir pekan Hesta menyambangi toko buku dan menghabiskan hari
dengan membaca. Kadang dia hanya membaca di toko buku favoritnya tanpa membeli
buku yang sudah dia baca. Jika sedang ada rizki yang berlebih, baru dia akan
membeli buku. Membaca adalah bagian dari dirinya yang tidak bisa dipisahkan.
Dia bisa lupa bahwa sekarang ada sahabat-sahabatnya yang duduk di dekatnya,
sedangkan dia hanya diam menekuri buku filsafat yang berukuran cukup tebal.
“Coba lihat makhluk satu
ini, seharusnya kalian memastikan dia tidak membawa buku saat berkunjung ke
sini. Jadinya seperti ini, dia bisa lupa segalanya dan hanya sibuk dengan buku
yang ada di tangannya.” Ucap Evan sambil menepuk pundak Hesta.
Hesta tersenyum simpul,
kemudian kembali membalik lembar demi lembar bukunya.
“Aw..www.. sakit..,”
teriak Hesta.
Aldo memukul pundak Hesta
sedikit keras dengan tas punggung miliknya.
“Kita di sini mau lari
sejenak dari rutinitas kampus yang kadang memusingkan, dan ikut merasakan
kebahagiaan Evan yang baru saja menikah, lo malah sibuk sendiri.” Ucap Aldo
sambil memonyongkan bibirnya tiga senti kemudian mengambil buku filsafat yang
dipegang Hesta dan memasukkannya ke dalam tasnya.
Evan dan yang lain
tertawa melihat kelakuan dua sahabatnya. Gelak tawa mereka memenuhi ruang
tunggu penumpang. Mereka memang tidak bisa diam jika sedang bersama. Berat
rasanya berpisah, tapi sekarang mereka sudah mempunyai kehidupan masing-masing.
Faraj sudah hidup bersama dengan Imamah istrinya dan sedang menunggu kelahiran
buah hati mereka. Imamah sedang hamil tiga bulan. Evan baru saja menikah dengan
Winda, wanita yang sudah lama mengisi relung hatinya. Sedangkan Aldo dan Hesta
masih sibuk menyelesaikan program magister di UGM. Hesta dan Faraj sama-sama
mengambil Program Pascasarjana Ilmu Filsafat, sedangkan Aldo mengambil Program
Pascasarjana Ilmu Budaya.
“Giliranku kapan?”
Celetuk Hesta.
“Kapan apanya?” Jawab
Aldo
“Nikah..”
“Cari dulu calonnya, baru
mikirin kapan.” Ujar Faraj.
Hesta diam, sahabatnya
tidak pernah tahu bahwa dia sendiri karena masih belum bisa melupakan seseorang
yang pernah hadir dalam hidupnya. Seseorang yang dicintainya. Mereka tidak
perlu tahu tentang ini, ucapnya dalam hati.
¤
Imamah dan Winda
membiarkan empat sahabat karib itu bernostalgia mengenang kembali kebersamaan
mereka lima tahun yang lalu, saat mereka pertama kali menjadi mahasiswa di UGM.
Winda bertanya banyak tentang kehamilan Imamah, dia juga berharap akan segera
diberi momongan. Dia tidak ingin menunggu terlalu lama waktu bahagia itu
datang.
“Gimana kehamilanmu,
Mbak?”
“Alhamdulillah, kandungan
saya baik-baik saja.” Jawab imamah sambil mengizinkan Winda menyentuh perutnya
yang sudah sedikit membesar. Meski sebenarnya belum terlihat jelas bahwa dia
sedang mengandung. Maklum, perutnya ditutupi oleh jubah yang dia kenakan.
Jubahnya berukuran gombrong sehingga tidak tampak bahwa dia sedang
hamil.
Wajah Imamah berseri-seri
menceritakan pengalamannya saat pertama kali mengetahui bahwa dia hamil. Saat
itu, Imamah merasakan mual-mual, kemudian dia periksa ke dokter. Setelah
diperiksa, dokter tersenyum dan memberitahunya bahwa dia sedang hamil. Sedangkan
saat itu Faraj sedang di kampus, Imamah sengaja tidak memberitahu suaminya
melalui telpon, dia menunggu suaminya pulang ke rumah, kemudian memberitahunya
bahwa dia sedang hamil.
“Mas, aku….” Imamah
menghentikan ucapannya dan membiarkan Faraj penasaran dengan apa yang akan
diberitahunya.
“Kamu Kenapa?
“Aku.. aku..” Imamah
sengaja berlama-lama agar suaminya penasaran.
“Iya, kamu kenapa?” Faraj
semakin penasaran.
“Aku hamil, mas.”
“Alhamdulillah..,” Faraj
mengucapkan syukur pada Tuhan, kemudian langsung memeluknya. Sejak saat itu,
dia tidak pernah membiarkan istrinya kerja terlalu berat. Faraj suami yang
sangat baik, dia mau membantunya mencuci pakaian, masak, bersih-bersih rumah
dan lain-lain. Imamah bahagia menjadikannya sebagai pendamping hidupnya.
Winda menjadi pendengar
yang baik, mendengarkan setiap cerita dari Imamah tentang kebahagiaannya
membina rumah tangga dengan Faraj. Dalam hati, Winda berdoa semoga dia bisa
merasakan kebahagiaan yang sama saat kehamilan nanti. Entah mengapa, tiba-tiba
dia ingin cepat-cepat merasakan kebahagiaan seorang wanita saat mengetahui
bahwa dia sedang hamil.
Namun, beberapa menit
kemudian wajah Winda berubah menjadi murung. Ada air mata yang perlahan
membasahi kelopak matanya.
“Winda, kamu nggak
apa-apa kan?” Imamah mengeluarkan sapu tangan dari balik jubahnya, kemudian
memberikannya pada Winda.
“Mbak, aku ingin
memberitahumu satu hal, sampai hari ini aku belum pernah melihat ibu kandungku.
Aku tidak pernah bisa menggambarkan bagaimana wajah wanita yang sudah
mengandungku selama sembilan bulan, kemudian melahirkanku dan membiarkanku
menangis di depan panti asuhan, kemudian pergi.” Ucap winda sambil terisak.
“Siapa yang tidak
ingin melihat ibu kandungnya di dunia ini?”
Begitu pun dengan Winda,
dia ingin sekali bertemu dengan ibu kandungnya meski hanya sejenak.
Imamah memeluk Winda, dia
tidak ingin menanyakan hal itu lebih jauh.
“Tapi, kamu patut
bersyukur, hidupmu dikelilingi oleh orang-orang yang sangat menyayangimu. Orang
tua yang sangat perhatian denganmu, dan sekarang ada Evan yang sangat
mencintaimu. Aku sering mendengar cerita Faraj tentang kisah cinta kalian
berdua. Menurutku Evan laki-laki yang baik, dia sangat sederhana dalam
penampilan, dan dia adalah laki-laki yang berbudi. Aku yakin kamu bisa hidup
bahagia dengannya.” Imamah mencoba untuk menenangkan Winda.
“Tapi.. mbak”
“Sudah, jangan sesali
semua yang sudah terjadi, sekarang kamu harus kuat menerima semua ini.
Percayalah, Tuhan mempunyai rencana yang indah untuk setiap hamba.”
Winda menghapus air
matanya, kembali tersenyum. “Terimakasih, mbak.”
Keduanya tersenyum, dan
berpelukan.
“Tuhan mencintaimu dengan
cara yang kadang tidak Engkau mengerti,” bisik Imamah pada Winda.
¤
Evan masih asyik bercanda
bersama sahabat-sahabatnya, sebelum akhirnya sebuah pesan singkat masuk ke handphone-nya,
dia langsung membuka dan membaca pesan yang masuk. Wajah Evan berubah menjadi
tegang, dia kelihatan begitu panik.
“Ada apa Evan?” Aldo
mendekati Evan.
“Aku harus segera pulang,
aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi.” Jawabnya.
“Ada apa sebenarnya?”
Faraj mencoba untuk mencari tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.
“Bu Zaitun masuk Rumah
Sakit, aku harus memberitahu Winda tentang ini.” Jawabnya.
Evan langsung
meninggalkan ketiga sahabatnya, kemudian mendekati istrinya yang duduk tidak
jauh dari mereka. Winda masih berbincang banyak hal dengan Imamah, begitulah
wanita, jika sudah cocok satu sama lain, maka obrolan seputar wanita tidak
pernah habis. Evan memegang tangan istrinya, kemudian memberitahukan keadaan ibunya
yang baru saja dibawa ke rumah sakit. Evan mendekap istrinya, dia tidak ingin
membiarkan istrinya lemah menghadapi apa yang menjadi kehendak Tuhan.
Sahabat-sahabat Evan
membatalkan jadwal kepulangan mereka, kemudian ikut bersama Evan menjenguk Bu
Zaitun yang sedang dirawat di Rumah Sakit Wijaya Kusuma (DKT). Sesampainya di
Rumah Sakit DKT, Winda langsung menanyakan tempat ibunya dirawat ke bagian
informasi. Winda langsung menuju ruang UGD dan meminta izin untuk melihat
keadaan ibunya.
Evan menemui dokter yang
memeriksa keadaan mertuanya, menanyakan bagaimana keadaan Bu Zaitun. Dokter
menjelaskan bahwa sakit yang diderita Bu Zaitun sudah cukup parah dan perlu
perawatan lebih lanjut. Dia harus dibawa ke rumah sakit yang lebih lengkap
fasilitasnya agar bisa dilakukan pengobatan secara maksimal.
“Ya Tuhan, cobaan apa
lagi yang ingin Engkau berikan pada Winda? Belum lama Engkau berikan dia
tekanan saat mengetahui bahwa dia bukanlah anak kandung Bu Zaitun dan Pak
Ahmad, sekarang Engkau sudah memberikan dia cobaan seberat ini. Tuhan, beri
istriku kesabaran agar bisa menerima semua cobaan yang Engkau berikan dengan
bijaksana.”
Doa-doa itu Evan ucapkan
dalam hatinya, dia berusaha terlihat tenang di depan istrinya, memegang erat
tangan istrinya agar dia tidak rapuh melihat kenyataan hidup yang harus dia
alami. Faraj, Imamah, Aldo dan Hesta ikut mendoakan kesembuhan Bu Zaitun.
¤
Pak Ahmad duduk
menyendiri di ruang tunggu, dia tidak sanggup melihat keadaan istrinya. Faraj
menghampiri Pak Ahmad dan berusaha menenangkannya.
“Ini semua adalah cobaan
dari Tuhan, kita selaku hamba-Nya hanya bisa berusaha melakukan yang terbaik.
Semoga Bu Zaitun diberikan yang terbaik oleh Tuhan.” Faraj mengucapkan kalimat
itu sambil melihat kedua bola mata hitam Pak Ahmad yang sudah basah dengan air
mata. Dalam keadaan seperti ini, dia tidak mempunyai siapa-siapa untuk
menumpahkan segala kesedihan yang
dirasakannya. Dia hanya hidup berdua dengan istrinya, sedangkan Winda
tinggal bersama dengan Evan.
Winda masih menangis di
samping ibunya, berusaha menumbuhkan butir-butir kesabaran yang mulai hilang
dari dirinya. Rasanya dia tidak sanggup melihat ibunya menahan penyakit ini
sendirian. Seandainya bisa, ingin dia bertukar tempat dengan ibunya. Biarlah
dia yang menderita semua ini, asalkan ibunya tetap sehat dan bisa tersenyum
kembali. Winda belum siap menerima resiko terburuk jika harus kehilangan orang
yang dia cintai, yang selama ini telah mendidiknya, dan merawatnya dengan penuh
kasih sayang. Dia berjanji tidak akan membiarkan ibunya tinggal berdua saja
bersama bapaknya. Dia berjanji akan merawat ibunya dengan baik. Terlambatkah
semua ini Tuhan? Ada rasa bersalah dalam diri Winda, selama ini dia sudah
membiarkan ibunya tinggal berdua saja bersama ayahnya. Tuhan, beri ibu kekuatan
menahan semua ini agar dia bisa kembali pulih.
¤
Suara adzan Maghrib
berkumandang, memanggil umat muslim untuk segera melaksanakan shalat Maghrib
dan meninggalkan sejenak aktifitas mereka. Seruan adzan mendayu-dayu menyentuh
hati umat muslim agar tidak lupa melaksanakan kewajiban mereka sebagai umat
muslim, yaitu shalat. Faraj menjadi imam shalat maghrib di musholla rumah
sakit, sedangkan yang lain menjadi makmum. Setelah selesai shalat, mereka
berdoa bersama-sama demi kesembuhan Bu Zaitun. Winda menangis haru, mengucapkan
untaian doa untuk ibundanya. Mengharapkan kesempatan dari yang Maha Kuasa agar
ibunya bisa kembali pulih dan bisa menjalani hidup bersama dengannya.
Selepas maghrib, Evan
mengurus semua persyaratan agar bisa membawa Bu Zaitun ke Rumah Sakit Banyumas.
Lebih cepat lebih baik, itu yang disarankan oleh dokter. Setelah semua siap,
mereka berangkat menuju RS Banyumas. Faraj, Evan, dan Aldo menemani Pak Ahmad
di dalam mobil ambulan yang membawa Bu Zaitun. Sedangkan Hesta ikut bersama
Winda dan Imamah dalam sebuah taxi. Selama di perjalanan menuju Rumah
Sakit, Bu Zaitun beberapa kali batuk yang disertai dengan darah. Pak Ahmad
kembali menangis, tidak tega melihat istrinya menderita.
Dalam keadaan sakit, Bu
Zaitun memegang tangan suaminya, mencoba untuk mengucapkan sesuatu. Pak Ahmad mendekatkan
wajahnya ke istrinya, agar dia bisa mendengar apa yang ingin diucapkan oleh
istrinya.
“Pak, jaga Winda
baik-baik. Mungkin ibu sudah tidak lama lagi, ibu sudah tidak sanggup lagi
menahan semua ini. Ibu ingin pergi jauh..,” suara Bu Zaitun terputus-putus,
tapi Pak Ahmad bisa mengerti apa yang diucapkan istrinya.
“Ibu jangan bicara
seperti itu, ibu harus kuat.”
Evan, dan dua sahabatnya
ikut menguatkan Pak Ahmad. Setelah mengucapkan pesan itu, Bu Zaitun kembali ke
sisi Tuhannya. Faraj sempat menuntun Bu Zaitun mengucapkan kalimat “Laailaahaillallah”
sebagai ucapan terakhir yang diucapkan olehnya. Dengan terbata-bata, Bu Zaitun
mengikuti Faraj mengucapkan kalimat tauhid. Setelah mengucapkan kalimat “Laailaahaillallah”,
dia memejamkan kedua matanya untuk selamanya. Suara tangis memecah keheningan
malam, Pak Ahmad mengguncang tubuh istrinya yang sudah tidak bernyawa, berharap
ini semua tidaklah nyata, berharap istrinya bisa kembali melihatnya, dan hidup
bersamanya.
Setelah sampai di RS
Banyumas, Bu Zaitun diperiksa oleh dokter yang bertugas jaga malam. Dokter
memastikan bahwa nyawanya sudah tidak tertolong lagi. Winda langsung memeluk
erat tubuh ibunya yang sudah pucat, mencium pipinya, memegang erat-erat kedua
tangan ibunya yang sudah tidak bisa membalas genggaman eratnya. Kembali sudah
Sang Dewi, yang selama ini telah melukiskan begitu banyak kebaikan kepada
orang-orang yang ada di dekatnya. Evan memeluk istrinya, mendekapnya dalam
badai kehidupan. Inilah hidup, semua yang hidup pasti akan kembali ke sisi
Tuhan. Dia akan mengambil kehidupan ini jika masanya sudah tiba. Tidak ada satu
pun yang bisa mencegah datangnya maut.
¤
Bu Zaitun sudah kembali
ke sisi Tuhannya, banyak sanak saudara yang hadir pada saat pemakamannya. Winda
masih sesenggukan karena ditinggal oleh ibundanya. Evan berada di sampingnya,
menguatkannya dalam menghadapi cobaan ini. Kedua orangtua Evan juga berusaha
menenangkan Pak Ahmad yang masih belum percaya dengan kenyataan ini.
Kini, Pak Ahmad hanya
sendiri menjalani hidup, tidak ada lagi Bu Zaitun yang biasanya memasakkannya
makanan, membangunkannya untuk shalat malam, dan menguatkannya saat dia sedang
lemah. Mereka hidup bersama hampir tiga puluh tahun lamanya, menjalani
lika-liku kehidupan, melawan badai kehidupan dengan gagah berani, hingga mereka
bisa bertahan menjaga keutuhan cinta mereka. Pak Ahmad sudah membuktikan
ketulusan cintanya, menepati janjinya tiga puluh tahun yang lalu untuk terus
bersama dengan istrinya hingga ajal memisahkan keduanya. Cinta mereka abadi,
dan cerita kebersamaan mereka akan menjadi cerita indah bagi anak cucunya
nanti.
Winda masih ingat dengan
baik pesan ibunya beberapa hari sebelum dia menikah dengan Evan.
“Dalam membina rumah
tangga, akan ada badai yang menerpa, hadapi semua rintangan itu dengan penuh
kesabaran. Percayalah, akan ada hikmah di balik semua lika-liku hidup ini.
Jangan lupakan bangun malam dan minta petunjuk dari-Nya, agar kalian menjadi
keluarga yang diridhoi-Nya.”
Winda sedang mencoba
untuk berdamai dengan hatinya, mencoba untuk menerima semua ketentuan Tuhan.
Semua ini adalah kehendak-Nya, tidak seharusnya Winda membenci Tuhan yang telah
menentukan kapan seseorang akan kembali ke sisi-Nya.
Comments
Post a Comment
Jangan Lupa Tinggalkan Komentarnya Gan