Salahkah jika aku masih merindukanmu?
Mengharapkan cintamu datang untukku
Meski aku tahu engkau sudah ada yang
memiliki
Kereta api yang akan
membawa Faraj, Imamah, Aldo dan Hesta perlahan meninggalkan Stasiun Purwokerto
menuju Jogja. Gemuruh suara mesin kereta memecah keheningan sore menjelang
malam. Evan dan Winda tidak bisa mengantarkan mereka ke stasiun, mereka sedang
dalam suasana duka. Faraj dan sahabat-sahabatnya tidak banyak bicara, semua
sibuk dengan diri masing-masing. Faraj dan Imamah asyik berbincang tentang nama
yang akan mereka berikan pada buah hati yang masih berada di dalam kandungan
istrinya. Aldo sibuk dengan ponselnya, membiarkan jemarinya menari indah di
atas keypad handphone-nya. Sedangkan Hesta melamun sendirian sambil
melihat pemandangan yang dilalui kereta api, hamparan sawah yang hijau
menyejukkan pandangan dan meneduhkan hati. Hesta sedang mencoba untuk menepis
rindunya kepada seseorang yang sudah lama tidak ia temui. Kali ini, rindu itu
kembali hadir dalam dirinya, mencoba mengingat kembali perjalanan panjangnya
dengan seseorang yang pernah hadir dalam hidupnya, kemudian pergi
meninggalkannya.
Ingatan Hesta kembali ke
dua tahun yang lalu, di hari kelulusannya di UGM. Waktu itu, dia mengenakan
toga, duduk di barisan mahasiswa yang akan diwisuda. Dari sekian banyak wisudawan
dan wisudawati, pandangannya tertuju pada seorang wanita muslimah yang duduk di
bagian ujuang gedung tempat wisuda dilaksanakan. Muslimah itu mengingatkannya
pada cintanya dulu. Wajah itu sepertinya sudah tidak asing lagi baginya. Senyum
itu kembali memaksanya untuk mengingat semua cerita cinta masa kanak-kanak yang
telah lama bersemayam dalam hatinya. Mungkinkah
itu Aulia? Tanya Hesta dalam hati.
¤
Namanya Aulia, dia adalah
teman sekelas Hesta waktu masih duduk di sekolah dasar. Aulia pindah ke Jakarta
setelah menyelesaikan sekolah dasar di Lampung. Dia harus pindah karena ayahnya
pindah tugas ke Jakarta. Hesta dan Aulia sahabat akrab, mereka sering bermain
bersama, belajar bersama di rumah Hesta, dan sering mancing ikan di sungai yang
memisahkan desa Hesta dan Aulia. Kenangan indah itu masih tersimpan dalam
ingatan Hesta. Pada saat perpisahan, mereka berdua berjanji akan kembali
bertemu di pinggir sungai yang biasa menjadi tempat mereka mancing. Mereka
berjanji akan bertemu setelah mereka sama-sama menyelesaikan pendidikan sekolah
menengah atas.
“Ahh.. janji itu
menyebabkan luka di dalam hatiku. Aku sudah menepati janji yang kita buat
bersama, mengapa engkau tidak menepati janji itu?” Gumam Hesta dalam hati.
Setelah menyelesaikan
sekolah menengah atas, sebelum melanjutkan pendidikan di Universitas Gajah Mada,
Hesta menunggu kedatangan Aulia di pinggir sungai sambil mengenang kembali
kebersamaan mereka sewaktu masih kanak-kanak. Hampir satu bulan lamanya Hesta
menunggu kedatangan Aulia, setiap sore dia menunggu kedatangan Aulia, namun yang dinanti tidak kunjung datang.
Setelah lelah menanti,
Hesta memutuskan untuk segera pergi ke Jogja dan menuntut ilmu di Jogja yang
terkenal dengan kota budaya itu. Ada perasaan kesal dengan Aulia, mengapa dia
melupakan janji? Bukankah dia sudah berjanji akan kembali bertemu dengannya di
pinggir sungai? Lantas mengapa Aulia tidak datang dan menemuinya? Segores luka
membekas di hatinya. Sia-sia penantian yang sudah dia lakukan, sia-sia harapan
yang sudah dia jaga dengan baik. Janji tinggal janji, Aulia tidak pernah datang
menemuinya.
¤
Setelah proses wisuda
selesai, Hesta berusaha untuk memastikan bahwa muslimah itu adalah Aulia. Dia
berjalan ke arah muslimah itu, melihat wajahnya, dan dia semakin yakin bahwa
muslimah itu adalah Aulia. Ada tahi lalat di dagunya, senyumnya persis seperti
senyum Aulia yang pernah terekam dalam benaknya. Hesta tidak ingin menunggu
terlalu lama lagi, dia segera menyapa muslimah itu dengan ucapan salam.
Muslimah itu membalikkan badannya dan menjawab salamnya.
“Wa’alaikumussalam, Mas
Hesta?” muslimah itu menyebut nama Hesta. Dia langsung mengenali wajah Hesta.
Hesta semakin yakin bahwa
dia adalah Aulia.
“Aulia?”
Muslimah itu
menganggukkan kepala, dia memang Aulia. Feeling Hesta ternyata benar, hatinya mengatakan bahwa
muslimah yang dari tadi dia perhatikan adalah Aulia.
“Kamu apa kabar?”
“Alhamdulillah saya
baik-baik saja, mas. Mas sendiri gimana? Sudah punya istri belum? Ehm.. pasti
sudah kan?”
Pertanyaan itu, mengapa
dia harus menanyakan hal itu padanya? Tidak tahu kah dia bahwa Hesta menyimpan
rasa padanya?
“Saya masih setia dengan
kesendirian,” jawab Hesta sambil tersenyum malu.
“Empat tahun saya di UGM,
tapi nggak pernah lihat kamu di sini? Bahkan ternyata kita satu Fakultas.” Ucap
Hesta.
“Mahasiswa UGM kan
banyak, mas. Jadi wajar kita nggak pernah bertemu.”
Mereka berdua tidak
banyak bicara, mereka tidak sempat mengenang kembali masa kanak-kanak yang
pernah mereka lalui bersama. Setelah saling sapa dan berbincang sebentar,
mereka berdua berpisah kembali. Winda sudah ditunggu oleh keluarga besar yang
menghadiri wisuda kelulusannya. Hesta meminta email dan nomor handphone
Aulia agar bisa saling berkomunikasi.
“Ini alamat email saya,
mas,” Aulia memberikan selembar kertas pada Hesta, kemudian pergi meninggalkan
Hesta yang masih berat untuk berpisah, dia masih ingin berlama-lama dengan
Aulia. Dia ingin tahu alasan Aulia tidak menepati janjinya, pasti Aulia
mempunyai alasan yang kuat sehingga dia tidak menepati janjinya. Dia juga ingin
memberitahunya bahwa sejak lama dia ingin bertemu kembali dengannya, bercerita
banyak hal tentang kehidupan mereka masing-masing.
Dari jauh, Hesta melihat
seorang laki-laki menggendong anak kecil, menghampiri Aulia dan mencium
keningnya. Hati Hesta seperti dihujami timah panas, terbakar, meleleh dan
menyisakan rasa sakit yang luar biasa. Ingin rasanya dia berteriak agar Aulia
tahu bahwa sebenarnya dia menyimpan cinta yang tak bertuan. Mungkinkah itu adalah suami dan anaknya?
Tanyanya dalam hati. Tidak ada jawaban yang ia dapat. Dia hanya menduga-duga
dan berharap dugaannya keliru.
Dalam perjalanan pulang,
berbagai pertanyaan tentang Aulia menghantuinya. Siapa laki-laki tadi? Siapa
anak kecil tadi? Jika memang Aulia sudah mempunyai suami dan anak, lantas
mengapa Tuhan harus mempertemukannya denganku kembali? Ujar Hesta dalam hati.
Sesampainya di kontrakan,
Hesta langsung mengirimkan email ke alamat yang diberikan oleh Aulia.
Salam.
Aulia, maaf bila aku
mengganggu. Tapi, aku tidak bisa menahan ini lebih lama lagi. Aku sudah
menyimpan perasaan ini sejak lama, sejak terakhir pertemuan kita kala itu.
Engkau masih ingat kan janji kita ? Kita akan bertemu di pinggir sungai itu,
engkau masih ingat kan? Aku berharap engkau masih ingat akan janji itu.
Aku ingin memberitahu
bahwa aku menunggu kedatanganmu, aku menanti engkau datang dan menyapaku
bersama dengan hembusan angin, kemudian duduk di sampingku, bercerita tentang
kehidupan, melukis mimpi. Tapi, setelah sekian lama aku menunggumu, engkau
tidak kunjung datang menemuiku. Dan hari ini, aku bertemu denganmu dan
melihatmu bersama dengan seorang pria dan anak kecil, apakah engkau sudah
menikah? Apakah laki-laki itu suamimu? Dan anak kecil itu adalah anakmu?
Entahlah, aku tidak
bisa tenang sebelum mengetahui semua ini. Karena jujur ingin kukatakan bahwa
aku menyimpan cinta ini untukmu. Maaf jika aku terlalu jujur. Aku tidak bisa
terus membohongi hatiku bahwa aku mencintaimu.
Aulia, jika engkau
sudah membaca pesanku ini, sempatkanlah membalasnya, agar aku bisa jadi lebih
tenang menjalani hari, dan bisa menentukan langkah yang akan aku ambil jika
memang cintaku ini hanya bertepuk sebelah tangan. Dan aku berharap aku bisa
membuka hati ini untuk yang lain jika memang engkau bukanlah jodoh yang Tuhan
janjikan untukku.
Salam, Hesta Rizky
Pratama
Pesan itu sudah terkirim
ke alamat email Aulia, Hesta berharap dia akan segera membaca dan membalasnya.
Satu jam sudah dia menunggu, namun tetap tidak ada email yang masuk. Dua jam,
tiga jam, hingga malam menjelang tetap tidak ada email balasan dari Aulia.
Hesta tertidur di kursi belajarnya, membiarkan komputernya tetap menyala.
¤
Di tempat yang berbeda,
Aulia baru membuka email Hesta, membacanya perlahan. Anak dan suaminya sudah
terlelap tidur. Dia baru sempat membuka email setelah seharian sibuk dengan
kehadiran keluarga besarnya dari Jakarta. Hari ini mereka sengaja datang ke
rumahnya untuk mengucapkan selamat atas kelulusannya. Aulia membaca email itu,
tersenyum, kemudian langsung membalasnya.
Salam,
Mas Hesta, maaf baru
bisa membalas emailmu. Mungkin mas sudah menunggu email balasan ini sejak tadi
sore, tapi aku baru bisa membalasnya sekarang. Sekali lagi maaf.
Aku juga minta maaf
sudah lupa dengan janji itu, aku benar-benar lupa dengan janji yang sudah
kuucapkan kala itu. Aku minta maaf. Maaf jika aku tidak bisa membalas
perasaanmu padaku, karena kini aku sudah menjadi seorang istri dan ibu dari
Fahimah anakku. Aku sudah menikah sejak dua tahun yang lalu. Jika ada waktu,
Mas Hesta bisa berkunjung ke rumah dan bertemu dengan keluarga kecilku.
Sekarang sudah larut
malam, hanya ini yang bisa aku tuliskan. Maaf bila sudah membuatmu terluka.
“Aulia Rahmah”
Setelah membalas email
dari Hesta, Aulia mengusap kening putrinya dan tidur di samping suaminya.
Matanya menerawang ke kenangan beberapa tahun lalu, saat dia masih kanak-kanak,
dan mengucapkan janjinya akan menemui Hesta. Ada perasaan bersalah yang muncul
dari dalam hatinya, tidak seharusnya dia mengingkari janji itu, janji adalah
hutang dan hutang harus dibayar, kan? Lantas apa yang bisa kulakukan untuk
mengobati luka yang sudah kubuat? Luka yang sudah membekas di hati Mas Hesta.
¤
Evan terbangun dari
tidurnya saat adzan subuh berkumandang, bergegas mengambil air wudhu dan
melaksanakan shalat subuh. Selepas subuh, dia membuka email yang masuk, ada
kebahagian saat mengetahui bahwa email itu dari seseorang yang dia cintai.
Email itu dari Aulia. Dia membacanya, kemudian terdiam, dan mencoba untuk
mengerti bahwa Aulia sudah menjadi milik orang lain. Ada sakit yang membekas
dalam hatinya, ada luka yang belum bisa terobati oleh waktu.
Itu adalah terakhir kali
dia berkomunikasi dengan Aulia. Sejak saat itu, dia mencoba untuk menghapus
semua kenangan tentangnya, namun sekarang rindu itu kembali hadir menemani
perjalanannya menuju Jogja.
“Haruskah aku menemuinya
kembali? Agh... aku tidak sanggup jika harus melihat Aulia bersama dengan suami
dan anaknya.”
“Hesta.. Hesta.. Hesta..” Aldo berteriak dan
membuyarkan lamunannya.
Hesta melihat
sahabat-sahabatnya, mereka memandanginya seolah-olah ada yang aneh dengan
wajahnya. Hesta mencoba untuk tersenyum dan menyembunyikan kerinduannya pada
Aulia. Sampai hari ini, dia masih belum bisa melupakan Aulia. Rindu masih
sering menghampirinya.
“Kamu kenapa lagi?” tanya
Faraj.
Hesta hanya menggelengkan
kepala, kemudian mengambil buku dari tasnya. Dia menekuri bukunya, menepis
semua bayangan tentang Aulia. Dia pura-pura membaca.
Aldo menyenggol tangan
Faraj. “Kenapa dia?”
“Kesambet,” jawab Faraj
kemudian melanjutkan tidurnya.
“Bukunya kebalik tu, pak,”
sindir Aldo.
Hesta hanya tersenyum.
Aldo jadi seperti orang
bingung melihat teman-temannya. Faraj sudah lelap tidur di samping istrinya.
Aldo beranjak meninggalkan mereka, mencari tempat duduk dekat jendela, agar
bisa melihat segala keindahan alam di luar sana.
Setelah kurang lebih
empat jam menempuh perjalanan, kini mereka sudah sampai di Stasiun Lempuyangan
Jogjakarta. Faraj dan Imamah lebih dahulu meninggalkan stasiun dan menuju
rumah. Sedangkan Aldo dan Hesta masih ingin menikmati suasana malam di stasiun,
mereka memesan kopi dan menikmati gorengan. Mereka bertiga memang sudah tidak
lagi tinggal dalam satu kontrakan, mereka sudah mempunyai kesibukan masing-masing.
Tapi mereka masih sering bertemu di kampus.
“Selesai S2 nanti, lo
jadi melamar Widya?” Hesta memulai obrolan malam.
“Lah, pertanyaanmu jangan
yang terlalu serius. Nikmati aja tuh gorengan. Nanti juga bakalan tahu,” jawab
Aldo sambil tersenyum.
Aldo merasa ada yang aneh
dengan sahabatnya, dari tadi dia tidak banyak bicara. Tidak biasanya dia
seperti ini. Aldo memang belum mengetahui tentang Aulia, Hesta memang tidak
pernah menceritakan tentang itu kepada sahabat-sahabatnya. Malam semakin larut,
dua sahabat itu berpisah, kembali ke tempat tingal masing-masing dan
meninggalkan Stasiun Lempuyangan bersama dengan hembusan angin malam.
Comments
Post a Comment
Jangan Lupa Tinggalkan Komentarnya Gan