Skip to main content

[Rindu] - 8


Salahkah jika aku masih merindukanmu?
Mengharapkan cintamu datang untukku
Meski aku tahu engkau sudah ada yang memiliki


Kereta api yang akan membawa Faraj, Imamah, Aldo dan Hesta perlahan meninggalkan Stasiun Purwokerto menuju Jogja. Gemuruh suara mesin kereta memecah keheningan sore menjelang malam. Evan dan Winda tidak bisa mengantarkan mereka ke stasiun, mereka sedang dalam suasana duka. Faraj dan sahabat-sahabatnya tidak banyak bicara, semua sibuk dengan diri masing-masing. Faraj dan Imamah asyik berbincang tentang nama yang akan mereka berikan pada buah hati yang masih berada di dalam kandungan istrinya. Aldo sibuk dengan ponselnya, membiarkan jemarinya menari indah di atas keypad handphone-nya. Sedangkan Hesta melamun sendirian sambil melihat pemandangan yang dilalui kereta api, hamparan sawah yang hijau menyejukkan pandangan dan meneduhkan hati. Hesta sedang mencoba untuk menepis rindunya kepada seseorang yang sudah lama tidak ia temui. Kali ini, rindu itu kembali hadir dalam dirinya, mencoba mengingat kembali perjalanan panjangnya dengan seseorang yang pernah hadir dalam hidupnya, kemudian pergi meninggalkannya.

Ingatan Hesta kembali ke dua tahun yang lalu, di hari kelulusannya di UGM. Waktu itu, dia mengenakan toga, duduk di barisan mahasiswa yang akan diwisuda. Dari sekian banyak wisudawan dan wisudawati, pandangannya tertuju pada seorang wanita muslimah yang duduk di bagian ujuang gedung tempat wisuda dilaksanakan. Muslimah itu mengingatkannya pada cintanya dulu. Wajah itu sepertinya sudah tidak asing lagi baginya. Senyum itu kembali memaksanya untuk mengingat semua cerita cinta masa kanak-kanak yang telah lama bersemayam dalam hatinya. Mungkinkah itu Aulia? Tanya Hesta dalam hati.

¤

Namanya Aulia, dia adalah teman sekelas Hesta waktu masih duduk di sekolah dasar. Aulia pindah ke Jakarta setelah menyelesaikan sekolah dasar di Lampung. Dia harus pindah karena ayahnya pindah tugas ke Jakarta. Hesta dan Aulia sahabat akrab, mereka sering bermain bersama, belajar bersama di rumah Hesta, dan sering mancing ikan di sungai yang memisahkan desa Hesta dan Aulia. Kenangan indah itu masih tersimpan dalam ingatan Hesta. Pada saat perpisahan, mereka berdua berjanji akan kembali bertemu di pinggir sungai yang biasa menjadi tempat mereka mancing. Mereka berjanji akan bertemu setelah mereka sama-sama menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas.

“Ahh.. janji itu menyebabkan luka di dalam hatiku. Aku sudah menepati janji yang kita buat bersama, mengapa engkau tidak menepati janji itu?” Gumam Hesta dalam hati.

Setelah menyelesaikan sekolah menengah atas, sebelum melanjutkan pendidikan di Universitas Gajah Mada, Hesta menunggu kedatangan Aulia di pinggir sungai sambil mengenang kembali kebersamaan mereka sewaktu masih kanak-kanak. Hampir satu bulan lamanya Hesta menunggu kedatangan Aulia, setiap sore dia menunggu kedatangan Aulia,  namun yang dinanti tidak kunjung datang.

Setelah lelah menanti, Hesta memutuskan untuk segera pergi ke Jogja dan menuntut ilmu di Jogja yang terkenal dengan kota budaya itu. Ada perasaan kesal dengan Aulia, mengapa dia melupakan janji? Bukankah dia sudah berjanji akan kembali bertemu dengannya di pinggir sungai? Lantas mengapa Aulia tidak datang dan menemuinya? Segores luka membekas di hatinya. Sia-sia penantian yang sudah dia lakukan, sia-sia harapan yang sudah dia jaga dengan baik. Janji tinggal janji, Aulia tidak pernah datang menemuinya.

¤

Setelah proses wisuda selesai, Hesta berusaha untuk memastikan bahwa muslimah itu adalah Aulia. Dia berjalan ke arah muslimah itu, melihat wajahnya, dan dia semakin yakin bahwa muslimah itu adalah Aulia. Ada tahi lalat di dagunya, senyumnya persis seperti senyum Aulia yang pernah terekam dalam benaknya. Hesta tidak ingin menunggu terlalu lama lagi, dia segera menyapa muslimah itu dengan ucapan salam. Muslimah itu membalikkan badannya dan menjawab salamnya.

“Wa’alaikumussalam, Mas Hesta?” muslimah itu menyebut nama Hesta. Dia langsung mengenali wajah Hesta.
Hesta semakin yakin bahwa dia adalah Aulia.
“Aulia?”
Muslimah itu menganggukkan kepala, dia memang Aulia. Feeling  Hesta ternyata benar, hatinya mengatakan bahwa muslimah yang dari tadi dia perhatikan adalah Aulia.
“Kamu apa kabar?”
“Alhamdulillah saya baik-baik saja, mas. Mas sendiri gimana? Sudah punya istri belum? Ehm.. pasti sudah kan?”

Pertanyaan itu, mengapa dia harus menanyakan hal itu padanya? Tidak tahu kah dia bahwa Hesta menyimpan rasa padanya?
“Saya masih setia dengan kesendirian,” jawab Hesta sambil tersenyum malu.
“Empat tahun saya di UGM, tapi nggak pernah lihat kamu di sini? Bahkan ternyata kita satu Fakultas.” Ucap Hesta.
“Mahasiswa UGM kan banyak, mas. Jadi wajar kita nggak pernah bertemu.”

Mereka berdua tidak banyak bicara, mereka tidak sempat mengenang kembali masa kanak-kanak yang pernah mereka lalui bersama. Setelah saling sapa dan berbincang sebentar, mereka berdua berpisah kembali. Winda sudah ditunggu oleh keluarga besar yang menghadiri wisuda kelulusannya. Hesta meminta email dan nomor handphone Aulia agar bisa saling berkomunikasi.

“Ini alamat email saya, mas,” Aulia memberikan selembar kertas pada Hesta, kemudian pergi meninggalkan Hesta yang masih berat untuk berpisah, dia masih ingin berlama-lama dengan Aulia. Dia ingin tahu alasan Aulia tidak menepati janjinya, pasti Aulia mempunyai alasan yang kuat sehingga dia tidak menepati janjinya. Dia juga ingin memberitahunya bahwa sejak lama dia ingin bertemu kembali dengannya, bercerita banyak hal tentang kehidupan mereka masing-masing.

Dari jauh, Hesta melihat seorang laki-laki menggendong anak kecil, menghampiri Aulia dan mencium keningnya. Hati Hesta seperti dihujami timah panas, terbakar, meleleh dan menyisakan rasa sakit yang luar biasa. Ingin rasanya dia berteriak agar Aulia tahu bahwa sebenarnya dia menyimpan cinta yang tak bertuan. Mungkinkah itu adalah suami dan anaknya? Tanyanya dalam hati. Tidak ada jawaban yang ia dapat. Dia hanya menduga-duga dan berharap dugaannya keliru.

Dalam perjalanan pulang, berbagai pertanyaan tentang Aulia menghantuinya. Siapa laki-laki tadi? Siapa anak kecil tadi? Jika memang Aulia sudah mempunyai suami dan anak, lantas mengapa Tuhan harus mempertemukannya denganku kembali? Ujar Hesta dalam hati.

Sesampainya di kontrakan, Hesta langsung mengirimkan email ke alamat yang diberikan oleh Aulia.

Salam.
Aulia, maaf bila aku mengganggu. Tapi, aku tidak bisa menahan ini lebih lama lagi. Aku sudah menyimpan perasaan ini sejak lama, sejak terakhir pertemuan kita kala itu. Engkau masih ingat kan janji kita ? Kita akan bertemu di pinggir sungai itu, engkau masih ingat kan? Aku berharap engkau masih ingat akan janji itu.
Aku ingin memberitahu bahwa aku menunggu kedatanganmu, aku menanti engkau datang dan menyapaku bersama dengan hembusan angin, kemudian duduk di sampingku, bercerita tentang kehidupan, melukis mimpi. Tapi, setelah sekian lama aku menunggumu, engkau tidak kunjung datang menemuiku. Dan hari ini, aku bertemu denganmu dan melihatmu bersama dengan seorang pria dan anak kecil, apakah engkau sudah menikah? Apakah laki-laki itu suamimu? Dan anak kecil itu adalah anakmu?
Entahlah, aku tidak bisa tenang sebelum mengetahui semua ini. Karena jujur ingin kukatakan bahwa aku menyimpan cinta ini untukmu. Maaf jika aku terlalu jujur. Aku tidak bisa terus membohongi hatiku bahwa aku mencintaimu.
Aulia, jika engkau sudah membaca pesanku ini, sempatkanlah membalasnya, agar aku bisa jadi lebih tenang menjalani hari, dan bisa menentukan langkah yang akan aku ambil jika memang cintaku ini hanya bertepuk sebelah tangan. Dan aku berharap aku bisa membuka hati ini untuk yang lain jika memang engkau bukanlah jodoh yang Tuhan janjikan untukku.
Salam, Hesta Rizky Pratama

Pesan itu sudah terkirim ke alamat email Aulia, Hesta berharap dia akan segera membaca dan membalasnya. Satu jam sudah dia menunggu, namun tetap tidak ada email yang masuk. Dua jam, tiga jam, hingga malam menjelang tetap tidak ada email balasan dari Aulia. Hesta tertidur di kursi belajarnya, membiarkan komputernya tetap menyala.

¤

Di tempat yang berbeda, Aulia baru membuka email Hesta, membacanya perlahan. Anak dan suaminya sudah terlelap tidur. Dia baru sempat membuka email setelah seharian sibuk dengan kehadiran keluarga besarnya dari Jakarta. Hari ini mereka sengaja datang ke rumahnya untuk mengucapkan selamat atas kelulusannya. Aulia membaca email itu, tersenyum, kemudian langsung membalasnya.

Salam,
Mas Hesta, maaf baru bisa membalas emailmu. Mungkin mas sudah menunggu email balasan ini sejak tadi sore, tapi aku baru bisa membalasnya sekarang. Sekali lagi maaf.
Aku juga minta maaf sudah lupa dengan janji itu, aku benar-benar lupa dengan janji yang sudah kuucapkan kala itu. Aku minta maaf. Maaf jika aku tidak bisa membalas perasaanmu padaku, karena kini aku sudah menjadi seorang istri dan ibu dari Fahimah anakku. Aku sudah menikah sejak dua tahun yang lalu. Jika ada waktu, Mas Hesta bisa berkunjung ke rumah dan bertemu dengan keluarga kecilku.
Sekarang sudah larut malam, hanya ini yang bisa aku tuliskan. Maaf bila sudah membuatmu terluka.
“Aulia Rahmah”

Setelah membalas email dari Hesta, Aulia mengusap kening putrinya dan tidur di samping suaminya. Matanya menerawang ke kenangan beberapa tahun lalu, saat dia masih kanak-kanak, dan mengucapkan janjinya akan menemui Hesta. Ada perasaan bersalah yang muncul dari dalam hatinya, tidak seharusnya dia mengingkari janji itu, janji adalah hutang dan hutang harus dibayar, kan? Lantas apa yang bisa kulakukan untuk mengobati luka yang sudah kubuat? Luka yang sudah membekas di hati Mas Hesta.

¤

Evan terbangun dari tidurnya saat adzan subuh berkumandang, bergegas mengambil air wudhu dan melaksanakan shalat subuh. Selepas subuh, dia membuka email yang masuk, ada kebahagian saat mengetahui bahwa email itu dari seseorang yang dia cintai. Email itu dari Aulia. Dia membacanya, kemudian terdiam, dan mencoba untuk mengerti bahwa Aulia sudah menjadi milik orang lain. Ada sakit yang membekas dalam hatinya, ada luka yang belum bisa terobati oleh waktu.

Itu adalah terakhir kali dia berkomunikasi dengan Aulia. Sejak saat itu, dia mencoba untuk menghapus semua kenangan tentangnya, namun sekarang rindu itu kembali hadir menemani perjalanannya menuju Jogja.

“Haruskah aku menemuinya kembali? Agh... aku tidak sanggup jika harus melihat Aulia bersama dengan suami dan anaknya.”

 “Hesta.. Hesta.. Hesta..” Aldo berteriak dan membuyarkan lamunannya.

Hesta melihat sahabat-sahabatnya, mereka memandanginya seolah-olah ada yang aneh dengan wajahnya. Hesta mencoba untuk tersenyum dan menyembunyikan kerinduannya pada Aulia. Sampai hari ini, dia masih belum bisa melupakan Aulia. Rindu masih sering menghampirinya.

“Kamu kenapa lagi?” tanya Faraj.

Hesta hanya menggelengkan kepala, kemudian mengambil buku dari tasnya. Dia menekuri bukunya, menepis semua bayangan tentang Aulia. Dia pura-pura membaca.

Aldo menyenggol tangan Faraj. “Kenapa dia?”
“Kesambet,” jawab Faraj kemudian melanjutkan tidurnya.
“Bukunya kebalik tu, pak,” sindir Aldo.
Hesta hanya tersenyum.

Aldo jadi seperti orang bingung melihat teman-temannya. Faraj sudah lelap tidur di samping istrinya. Aldo beranjak meninggalkan mereka, mencari tempat duduk dekat jendela, agar bisa melihat segala keindahan alam di luar sana.

Setelah kurang lebih empat jam menempuh perjalanan, kini mereka sudah sampai di Stasiun Lempuyangan Jogjakarta. Faraj dan Imamah lebih dahulu meninggalkan stasiun dan menuju rumah. Sedangkan Aldo dan Hesta masih ingin menikmati suasana malam di stasiun, mereka memesan kopi dan menikmati gorengan. Mereka bertiga memang sudah tidak lagi tinggal dalam satu kontrakan, mereka sudah mempunyai kesibukan masing-masing. Tapi mereka masih sering bertemu di kampus.

“Selesai S2 nanti, lo jadi melamar Widya?” Hesta memulai obrolan malam.
“Lah, pertanyaanmu jangan yang terlalu serius. Nikmati aja tuh gorengan. Nanti juga bakalan tahu,” jawab Aldo sambil tersenyum.

Aldo merasa ada yang aneh dengan sahabatnya, dari tadi dia tidak banyak bicara. Tidak biasanya dia seperti ini. Aldo memang belum mengetahui tentang Aulia, Hesta memang tidak pernah menceritakan tentang itu kepada sahabat-sahabatnya. Malam semakin larut, dua sahabat itu berpisah, kembali ke tempat tingal masing-masing dan meninggalkan Stasiun Lempuyangan bersama dengan hembusan angin malam.

Comments

Popular posts from this blog

Rumah Singgah Keren di Batu

Tempat tidur super nyaman Kota batu adalah salah satu kota yang menjadi favorit saya saat ini, selain karena saya memang stay disini sejak 1,5 tahun yang lalu, kota ini memang memiliki daya tarik luar biasa, apalagi kalo bukan alamnya yang indah, udaranya yang sejuk, dan beberapa tempat wisata yang modern seperti Jatim Park 1, Jatim Park 2, Museum Angkut, Batu Night Spectacular, dan masih banyak lagi. Jadi, Batu merupakan salah satu pilihan yang tepat untuk dijadikan tempat berlibur bersama orang-orang yang dicintai.             Meski sudah stay di Batu selama kurang lebih 1,5 tahun, namun saya belum berhasil mengunjungi semua tempat wisata di Batu, biasalah saya ini pengangguran yang banyak acara, sibuk sama buku-buku di perpustakaan (ini pencitraan banget). Baiklah, saya tidak akan membicarakan tentang liburan saya yang tak kunjung usai, akan tetapi, saya akan memberi satu tempat rekomendasi yang bisa kamu jadikan tempat ...

Paralayang Batu

Salam. Tiga hari terakhir, saya lagi banyak kerjaan (baca: tugas kuliah ama jalan-jalan, hehe). Kebetulan Reimer, sahabat saya dari Rotterdam-Holland sedang berkunjung ke Malang. Sebagai sahabat yang baik, tentunya saya mau mengajak dia menjelajahi Malang dan sekitarnya, dong, hehe. Sejak Minggu saya sudah menemani Reimer jalan-jalan. Saya hanya menemai ketika kuliah sudah selesai aja, sih. Biasanya dari ashar sampai malam. Nah, selain kelayapan di Malang, saya mengajak Reimer untuk menikmati keindahan pemandangan dari atas ketinggian Gunung Banyak yang merupakan tempat bagi kamu yang berani uji nyali untuk terbang dari ketinggian dengan bantuan parasut atau biasa dikenal dengan Paralayang.

Tentang Tato

Bermula dari tweets saya yang membahas tentang tato, sekarang saya ingin menjadikannya sebuah artikel. Tulisan ini tidak bermaksud untuk menggurui, atau menghakimi orang-orang yang mempunyai tato. Tulisan ini dari sudut pandang agama (Islam) dan medis. Tentunya ini hanya sebatas pengetahun saya saja. Saya pernah menanyakan alasan bertato kepada teman-teman yang mempunyai tato. Sebagian besar jawabannya adalah “seni, keren, punya makna tersendiri, laki banget, dan sebagainya” . Tato tidak hanya digemari Kaum Adam, namun Kaum Hawa pun juga menggemari tato. Saya pernah membaca, tato berasal dari bahasa Tahiti “tatu” yang berarti “tanda”. Para ahli menyimpulkan bahwa tato sudah ada sejak tahun 12.000 Sebelum Masehi.  Lantas bagaimana Islam memandang tato?  Sumber hukum utama dalam Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Keduanya sebagai landasan utama umat Islam hidup. Allah swt. memberikan kita pedoman dalam menjalani hidup. Di dalam Al-Qur’an, surat An-Nisa ayat...