Bahagia Itu Sederhana (2)
Bukan permata yang kupinta
darimu
Bukan juga mobil mewah
seperti milik tetangga
Namun, senyum bahagia itu
yang selalu kunanti darimu.
Seperti biasa, pagi ini Bang
Ucup mendorong gerobak sayurnya keliling komplek Bancar Kembar, membawa beraneka
ragam sayur mayur bagi warga komplek. Kangkung segar, bayam, sawi, semuanya
masih terlihat segar dan sedap dipandang mata. Sebagian dari sayuran yang dia
jual adalah hasil tanamannya sendiri. Dia menanam sendiri berbagai macam sayur
itu di belakang rumahnya. Ibu-ibu menghampirinya dan membeli kebutuhan hari
ini. Hampir semua warga komplek mengenalnya. Suaranya sudah dihapal dengan baik
oleh warga komplek. Sehari saja dia tidak datang dengan gerobak sayurnya, maka
seluruh komplek pasti tahu akan hal itu. Pagi hari akan terasa berbeda tanpa
suara khasnya yang serak-serak basah. Anak-anak kecil sangat senang menyapa
Bang Ucup, sebagian kadang menunggunya hanya sekedar ingin mendengarkan
cerita-cerita lucu yang sering dia bawakan pada anak-anak perumahan.
Pemandangan di pagi hari yang indah.
“Bang Ucup, saya pesan
seperti biasa ya. Maaf, saya tidak bisa keluar rumah dulu. Nanti Bang Ucup
letak di tempat biasa ya. Nyonya sedang di rumah” ucap Winda dari balik tembok
besi yang mengelilingi rumah majikannya.
Kehadiran sang majikan sepertinya
memberi dia kerja lebih. Tidak seperti biasanya, dia hanya mengurus keperluan
tiga anak sang majikan. Dan sekarang dia harus sibuk mengerjakan berbagai macam
tugas dari sang majikan yang terkenal susah untuk tersenyum itu. Gary, anak
yang paling tua masih kelas tiga SMP. Anto, anak yang kedua masih duduk di
bangku sekolah dasar. Sedangkan Gemi, masih balita. Bayangkan betapa sibuk
Winda menyiapkan segela keperluan ketiga anak itu, sementara sang majikan sibuk
dengan segudang kerjaan di luar rumah. Majikannya adalah orangtua tunggal bagi
anak-anaknya. Kasihan mereka, terus menerus harus ditinggal pergi oleh ibu
mereka. Mereka lebih mengenal Winda dari pada ibu kandung mereka sendiri. Itu
semua karena sebagian besar waktu mereka habis bersama Winda.
“Mbak, anak-anak sudah siap
pergi ke sekolah belum?” teriakan sang majikan dari lantai atas mengagetkan
Winda yang sedang sibuk menyiapkan bekal yang akan dibawa oleh anak-anak ke
sekolah.
“Sebentar lagi nyonya.”
Anak-anak sudah duduk di
meja makan, menunggu sang bunda ikut bersama mereka menikmati santapan pagi
yang dibuat oleh Winda dan Mbok Inah. Mbok Inah sudah bekerja sejak lama.
Sedangkan Winda baru bekerja kurang lebih dua tahun lamanya.
Anak-anak sudah berangkat ke
sekolah, majikannya sudah pergi ke kantor. Mbok Inah membersihkan sisa-sisa
makanan yang ada di meja makan. Winda membersihkan halaman dari daun-daun
mangga yang mulai mengering dan jatuh ke halaman. Setelah mengerjakan tugas
rumah, Winda menyandarkan bahunya ke kursi kayu yang ada di halaman belakang
rumah, menikmati secangkir teh hangat bersama dengan sepiring nasi goreng telor
yang dia buat sendiri. Penat sudah menjadi bagian dari hidupnya di pagi hari.
Bulir-bulir kecil jatuh perlahan dari wajahnya.
Winda kadang iri melihat
wanita seumuran dirinya bisa melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.
Sementara dirinya harus puas dengan hanya menyelesaikan SMP. Kendala biaya
membuatnya tidak bisa melanjutkan mimpinya. Sudah lumrah, anak-anak di
kampungnya hanya bisa menyelesaikan sekolah menengah pertama, setelah itu mereka
berangkat ke kota-kota besar untuk mencari kehidupan yang lebih layak. Menjadi
pembantu rumah tangga, karyawan pabrik, dan berharap hidup akan membaik.
Lihatlah Winda, dia memang tidak meninggalkan Purwokerto yang merupakan tempat
kelahirannya. Akan tetapi dia meninggalkan rumahnya untuk bekerja menjadi
pembantu. Tidak ada gunanya menyalahkan nasib, dia tetap menjalani kehidupannya
dengan hati tulus.
Kedua orangtuanya hanya
bekerja sebagai petani, penghasilan mereka tidak cukup untuk memberikan pendidikan
yang lebih baik untuk putri mereka. Winda tidak pernah menyalahkan keadaan yang
membuatnya menjadi seperti ini. Menjadi babu di rumah orang kaya. Tidak pernah
terpikir olehnya bahwa dia akan menjadi seorang pembantu. Padahal dulu, dia
pernah bercita-cita ingin menjadi seorang pramugari dan bisa keliling dunia
gratis.
“Winda, kamu mau jadi apa
nanti kalo sudah besar?” Tanya Bu Atun yang merupakan guru matematika di
sekolahnya.
“Mau jadi seperti ini buk”
jawab Winda sambil memegang sebuah buku yang ada gambar pramugarinya.
Wajahnya berseri-seri tiap
kali melihat gambar pramugari yang terlihat menawan dengan seragamnya. Kadang
gambar itu menjadi mimpi yang menghiasi tidurnya. Karena cita-citanya ingin
menjadi pramugari, dia rajin belajar Bahasa Inggris. Kata bapaknya, pramugari
itu harus bisa belajar bahasa inggris. Jadilah dia anak yang rajin dan penuh
semangat belajar Bahasa Inggris yang terkadang membuatnya pusing.
Hari mulai beranjak siang,
Winda masuk ke dalam kamarnya yang berada dibagian belakang rumah. Dia membuka
selembar kertas yang terlipat rapi di dalam kotak kayu berwarna hitam
kecoklatan yang ada di bawah kasurnya. Kotak kayu itu menyimpan banyak kenangan
tentangnya, dan tentang laki-laki yang dia sebut sebagai cinta sejatinya. Dia
masih menyimpan selembar kertas yang dulu pernah diberikan Evan kepadanya. Dia
membaca tulisan yang ada di kertas itu berulang kali. Sudah hampir empat bulan
lamanya dia tidak bertemu dengan Evan. Tidak ada kabar berita darinya. Namun,
Winda mempunyai keyakinan yang kuat bahwa cinta sejatinya masih memegang janji
yang mereka ucapkan di depan gerobak sayur Bang Ucup.
Winda duduk menghadap ke
luar jendela, dari kejuahan dia bisa melihat Bang Ucup dengan gerobak tua
miliknya perlahan meninggalkan komplek perumahan. Sudah banyak jasa Bang Ucup,
dia sudah melakukan pekerjaan yang membuat sebagian besar ibu rumah tangga di
komplek sini tidak perlu sibuk membeli bahan masakan ke pasar. Semakin jauh,
Bang Ucup sudah tidak terlihat lagi. Setiap kali melihat Bang Ucup, Winda
selalu teringat akan Mas Evannya. Laki-laki yang sekarang sudah mengisi relung
hatinya itu selalu muncul, seolah memandangnya dengan tatapan rindu. Ah Tuhan,
inikah rindu? Inikah getar-getar rindu yang sengaja Engkau berikan pada hatiku
yang sedang gundah akan kekuatan cinta? Cinta yang sudah menepiskan ragu yang
menyelimuti hati. Keraguan cinta mampu kutepis dengan rindu yang menyesakkan
dadaku. Tuhan, apa kabar dia disana? Pernahkah dia memikirkanku? Menyebut namaku
sebelum ia hanyut dalam tidur lelapnya? Semoga.
Evan pernah menanyakan
tentang kebahagian kepadanya.
“Winda, apa yang paling
membuatmu bahagia saat dekat dengan mas?”
Winda terdiam sejenak,
kemudian melihat kedua mata hitam Evan yang meneduhkan hatinya. Senyuman Evan
masuk ke dalam sanubarinya dan menebarkan bumbu kebahagiaan yang tidak bisa dia
lukiskan dengan indahnya kata-kata.
“Aku bahagia melihatmu
tersenyum, mas” jawabnya pelan.
“Sesederhana itu?”
“Iya, dengan kesederhanaan
cinta yang kita bangun, aku merasa lebih yakin dengan cintamu. Mas tidak pernah
menjanjikan gelang emas, anting-anting permata, cincin yang bertuliskan nama
kita berdua, atau sekuntum bunga mawar merah yang berarti tanda cinta. Hanya senyum
bahagia itu yang menguatkan, menyentuhku, dan membawaku terbang bersama
sayap-sayap cinta yang engkau rajut bersama waktu. Sesederhana itu kebahagianku
bersamamu mas.”
Hati evan semakin berbunga
mendengar penuturan bidadarinya. Dia memang tidak pernah menjanjikan kemewahan
kepadanya, namun satu hal yang ingin ia katakan kepada bidadarinya, dia
mencintainya dengan tulus.
“Winda, aku mencintaimu setulus
hati. Apakah engkau pernah
meragukan cintaku padamu?”
Winda menatap lekat-lekat
senyum itu, kemudian menggelengkan kepalanya sebagai jawaban tidak ada keraguan
cintanya pada sang pujaan. Sementara Bang Ucup tertawa dibalik sapu tangan yang
dia gunakan untuk menutup mulut dan hidungnya. Sepertinya Bang Ucup tidak ingin
mengganggu dua hati yang sedang berbunga. Namun, dalam hatinya dia mendoakan
mereka berdua bisa menjadi pasangan yang saling melengkapi satu sama lain dan
bahagia membina cinta hingga sampai ke surga-Nya. Bang ucup dan gerobak sayur berserta
isinya adalah saksi cinta mereka berdua.
-Bersambung-
-Bersambung-
Ihiiiiirrrr,,,,
ReplyDeleteSaya juga bahagia membacanya... terima kasih udah ngasih saya bahagia pagi ini... Eeeeeehhhh... :D :D
ah akan lebih bahagia jika ada yang mengucapkan "aku bahagia bersamamu dinda" lol
Deletesiapakah itu? hehehehe
Deleteseseorang yang akan menjadi pendamping hidupmu kelak haha
DeleteCeritanya sederhana dan manis pak guru. Trus evan aslinya pergi kemana pak? *penasaran*
ReplyDeleteWah pasti belum baca cerita sebelumnya ya? hihi. silahkan baca cerita sebelumnya di "Senyuman Bidadariku"
DeleteWhihihi ini ternyata episode ke dua to??baiklah saya ke tkp dulu
Deletebaiklah. selamat membaca ya. :)
DeleteBahagia itu sederhana, asal ada dia di sampingkuu ..
ReplyDelete#eeeaa ;p
hey terimakasih sudah mampir :D
Delete