Ketika
Jalanan Mulai Berliku (3)
Jalan
ini masih panjang
Kita
baru beranjak menempuh liku-liku hidup
Tawa,
tangis, adalah bagian dari jalan yang harus kita lalui
Evan duduk di
depan layar komputernya, dia sedang menuliskan beberapa baris kalimat, dia mencoba
merangkai kata-kata menjadi sebuah puisi indah untuk bidadarinya. Lima bulan
tidak bertemu, rasa rindu tentu menghinggapi hatinya. Akhir-akhir ini dia
disibukkan oleh kegiatan kampus. Ujian semester hanya beberapa hari lagi.
Namun, menjelang ujian semester tiba, dia tidak bisa fokus dengan ujian.
Bayang-bayang kekasih hatinya selalu muncul dalam ingatannya. Ingin rasanya ia
kembali ke Purwokerto dan menemui bidadarinya. Apa kabar bidadariku? Semoga
engkau baik-baik saja. Tidak ada komunikasi antara mereka berdua.
Winda hanyalah
pembantu rumah tangga, dia tidak bisa mewujudkan keinginannya untuk mempunyai
sebuah handphone agar bisa mendengar suara Evan dari ujung sana.
Akhirnya, Evan harus menahan diri untuk tidak mendengar suara manis nan halus
dari sang pujaan. Hanya sebuah photo Winda yang mengenakan seragam SMP sebagai
pelepas rindu. Lucu, photo itu dia pajang di meja belajarnya.
Sahabat-sahabatnya sering tertawa melihat photo itu.
“Emang si Winda
nggak punya photo yang lain ya? Lucu aja ngeliat photo kayak gini lo pajang di
meja belajar, sementara dia sudah lebih dewasa dari ini” ucap
sahabat-sahabatnya.
Tiap kali
pertanyaan itu diajukan oleh sahabat-sahabatnya, Evan hanya tersenyum seraya
menatap photo Winda dengan seragam
sekolahnya. Tidak ada jawaban yang dia berikan. Percuma menjelaskan
panjang lebar kepada mereka, pikirnya. Seandainya mereka tahu betapa besar
kekuatan cinta itu, mereka akan mengerti mengapa photo itu dia jadikan tempat
menumpahkan segala rindu pada pujaan hatinya. Itulah cinta, dan mereka akan
mengerti itu saat mereka sedang dilanda cinta.
Suara adzan
menggema, Evan masih belum sempat untuk tidur melepas penat. Teman-teman satu
kontrakan dengannya sudah mulai bangun dari lelap tidur. Evan tinggal di dalam
satu rumah berukuran minimalis bersama dengan tiga sahabatnya yang berasal dari
luar pulau Jawa. Azam, sahabatnya yang berasal dari Lombok sudah bangun lebih
awal dan duduk di atas sajadah panjangnya. Dia satu-satunya sahabat yang paling
kuat ibadahnya. Aldo sudah duduk di kursi yang ada di ruang tamu, dia masih
mengenakan sarung yang dia pakai untuk tidur, kemudian beranjak ke kamar mandi
untuk mengambil air wudhu. Sedangkan Hesta sudah mengenakan baju koko, sarung,
peci hitam, kemudian dia langsung menuju
mushalla yang ada di dekat kontrakan mereka.
Evan, dan ketiga
sahabatnya sudah berada di dalam masjid menunggu iqamat dikumandangkan.
Semenjak di Jogja, Evan banyak belajar tentang agama. Awalnya, dia sama sekali
tidak bisa shalat. Namun, Faraj dengan sabar mengajarkan dia bagaimana cara
shalat, dan membantunya menghapal bacaan shalat. Sekarang, meski belum lima
waktu, Evan sudah mulai rajin melaksanakan shalat. Tak jarang pula Faraj harus
mengingatkannya bila waktu shalat sudah tiba dan dia belum juga melaksanakan
shalat.
Suasana di pagi
hari seperti ini, mengingatkannya kepada Winda, Bang Ucup dan gerobak sayurnya.
Dia merindukan kehangatan di pagi hari bersama mentari yang menyaksikan
kebersamaannya dengan bidadarinya. Faraj, Aldo dan
Hesta meninggalkan Evan sendirian di rumah. Mereka bertiga menikmati sejuknya
udara di pagi hari sambil berlari mengelilingi lapangan yang ada di sekitar
tempat tinggal mereka. Anak-anak kecil
sedang berlari mengejar bola dan berusaha memasukkannya ke gawang lawan. Mereka
terlihat begitu asik menggiring bola dengan kaki-kaki mungil mereka. Tawa
mereka, suara teriakan mereka, semangat mereka, menambah semaraknya suasana
pagi hari di sekitar lapangan. Beberapa pedagang kaki lima menjajakan dagangan
mereka kepada orang-orang yang menikmati udara pagi di lapangan.
Evan masih sibuk
dengan komputernya, masih merayu hatinya agar bisa menuangkan indahnya kata
menjadi barisan-barisan kalimat yang akan membuat pujaan hatinya berbunga. Dia
memang masih belum bisa membuatkan sebuah puisi yang indah untuk si dia. Sudah
berulang kali dia mencoba, namun hanya tersimpan di draft dan tidak
pernah berhasil dia sempurnakan menjadi puisi. Perlukah aku merangkai kata ini
sebagai bukti cintaku padanya? Tanyanya dalam hati. Bukankah sejak dulu aku
tidak pernah memberikan dia hadiah yang berupa sebuah puisi? Ah..aku baru
ingat, aku tidak pernah memberikan hadiah apa-apa kepadanya. Cintaku kepadanya
tumbuh meski tanpa ada momen saling tukar hadiah, surat, apalagi memberi bunga.
Aku memang bukan laki-laki romantis.
“Van, sibuk amat
kelihatannya. Lagi bikin apa?” suara Faraj mengejutkannya yang sedang melamun.
“Ehm, palingan
dia sedang belajar bikin puisi lagi” jawab Aldo sambil melempar handuk ke wajah
Evan.
“Puisi? Emang
Evan bisa bikin puisi?” celoteh Hesta seenaknya, kemudian diikuti gelak tawa
yang lain.
“Huh, kalian
bukannya bantuin sahabat yang lagi pusing”
Faraj mengambil
kursi, kemudian duduk di dekat Evan, dia membaca bait-bait yang ada di monitor,
“Bidadariku,
aku tidak mampu merangkai kata menjadi bait-bait kalimat indah yang akan
membuatmu takjub dengan kepandaianku merangkainya. Aku memang tidak seromantis
itu. Aku tidak mampu memberimu sejuta puisi nan indah untuk dibaca dan diperdengarkan
kepada orang lain, aku tidak bisa. Tapi, aku ingin engkau tahu bahwa aku pernah
mencoba untuk bisa.”
“Bidadariku,
aku menanti saat pertemuan itu tiba. Engkau akan duduk di sampingku, mengenakan
baju pengantin, tersenyum dan memancarkan aura kebahagiaan. Aku menanti waktu
itu tiba. Bersabarlah, aku akan kembali menjemputmu, dan membawamu untuk
menemaniku di atas pelaminan. Aku janji.”
Setelah selesai
membaca, Faraj menoleh ke arah Evan yang sengaja berdiam diri dan membiarkan
sahabatnya itu membaca curahan hatinya.
“Ini puisi atau
surat?”
Pertanyaan itu
diiringi gelak tawa Aldo dan Hesta. Keduanya memang paling suka menertawakan
ulah sahabat mereka yang satu ini.
“Tadinya saya
mau membuat puisi, tapi nggak bisa. Jadinya malah surat”
“Surat ini mau
kamu kirimkan ke Winda? Anak SMP yang ada di photo itu?
Aw…ww.. sebuah
diktat dari Evan mendarat sukses di wajah Faraj.
“Lagian, kamu
nggak ada romantis-romantisnya, seharusnya surat ini kamu tulis tangan, dihiasi
dengan ukiran-ukiran di pinggir kertasnya, kemudian baru kamu tulis isi
suratnya. Bukan malah ngetik di word, diprint, kemudian dikirimkan ke si dia.
Kamu mau nulis surat cinta atau ngelamar
kerjaan?” Faraj nyerocos sesuka hatinya, sementara Evan dan dua sahabatnya
hanya mendengarkan ceramah di pagi hari ini. Ceramah dari sosok pria yang
bernama Faraj yang mengajarkan bagaimana menjadi pria yang romantis, padahal
dia sendiri tidak punya pacar dan tidak pernah menulis surat cinta.
Obrolan diantara
empat sahabat itu terus berlanjut, sesekali mereka tertawa secara bersamaan,
saling melempar diktat, dan tentunya bantal tidak pernah absen dari keriuhan
suasana kontrakan mereka. Jika mereka sudah mulai rusuh, bantal menjadi pilihan
yang paling pas untuk dijadikan senjata. Mereka sudah seperti keluarga kecil
yang ikut menciptakan kehidupan yang damai di atas bumi. Suasana kontrakan itu
penuh dengan kehangatan, kepedulian satu sama lain, yang membuat mereka semakin
dekat.
Jam sudah
menunjukkan pukul delapan pagi, mereka segera menuju kampus dan masuk ke
fakultas masing-masing. Kegiatan rutin mereka memang hanya kuliah. Setelah
selesai kuliah biasanya mereka nongkrong di warung nasi di dekat kampus.
“Rif, mana Evan?”
tanya Faraj.
“Nggak tahu,
tadi selesai mata kuliah dia langsung pergi”
“Nggak biasanya
dia pergi nggak ngajakin kita bertiga” ujar Aldo.
Beberapa saat
kemudian, sebuah pesan singkat masuk ke handphone Faraj,
“Mas, pulang ke
kontrakan sekarang. Mas Evan kecelakaan.”
Pesan itu dari
nomor yang tidak dikenal, mereka bertiga langsung meninggalkan warung nasi Buk
Rumi menuju kontrakan. Selama di dalam angkutan umum, mereka semua panik. Apa
yang terjadi dengan Evan?
Setibanya di
kontrakan, ada beberapa mahasiswa yang duduk di ruang tamu.
“Evannya mana?”
Tanya Hesta.
“Di kamar” jawab
salah satu dari mereka.
Evan sedang
tidur, lututnya dibalut perban, tangannya dipenuhi oleh goresan seperti bekas
jatuh dari kendaraan. Seorang mahasiswa menghampiri tiga sahabat itu, kemudian
dia menjelaskan bahwa dia dan tiga orang kawannya yang mengantarkan Evan ke
rumah sakit, kemudian membawanya pulang ke rumah. Evan menjadi korban tabrak
lari. Sekarang, sudah banyak yang menjadi korban tabrak lari. Pelaku yang
menabrak korban tidak mempunyai hati dan tidak punya rasa bersalah bahwa mereka
sudah membuat orang lain menderita. Miris melihat Evan yang menahan sakit.
Faraj mencoba
untuk menghubungi keluarga Evan, dia mengambil hp evan kemudian mencari nomor
orangtuanya. Setelah menemukan nomor orangtua Evan, dia langsung menghubungi
nomor tersebut. Suara seorang ibu mengucap salam di ujung telpon, Faraj tidak
banyak berbasa-basi, dia langsung menjelaskan kejadian yang sudah menimpa Evan.
Ada isak tangis yang terdengar di ujung sana. Faraj mencoba untuk menenangkan
Ibu Evan,
“Tante, Evan
hanya butuh istirahat untuk beberapa hari saja, setelah itu dia akan kembali
pulih. Saya tidak bermaksud membuat ibu khawatir dengan keadaan Evan. Saya
hanya ingin memberitahu tante, saya tahu hubungan bathin antara ibu dan anak
sangatlah kuat. Mohon doanya agar Evan bisa segera pulih. Kami akan merawatnya
dengan baik, tante tidak perlu khawatir.”
Evan membuka
kedua matanya, melihat ke sekelilingnya ada banyak sahabat yang datang menjenguknya.
Aldo, Hesta, Faraj, dan beberapa mahasiswa yang satu fakultas dengannya sedang
tertidur lelap di lantai hanya beralaskan sebuah karpet. Ia terharu melihat
pemandangan ini, ia merasa begitu dipedulikan oleh sahabat-sahabatnya. Bahagia
memenuhi relung hatinya, bahagia karena mempunyai sahabat-sahabat yang peduli
dengan keadaannya, saling mengerti, dan saling berbagi satu sama lain. Dalam
keadaan seperti ini, dia baru menyadari begitu banyak orang-orang yang peduli
dengannya.
Seandainya Winda
tahu keadaannya, apakah dia akan khawatir? Bayang-bayang Winda kembali hadir.
Rasanya Winda pasti akan sangat mengkhawatirkannya jika dia tahu keadaannya
saat ini. Evan pernah menyuruh Bang Ucup memberitahu bahwa dia sedang sakit,
padahal Evan bersembunyi di balik pagar rumahnya dan melihat tingkah Winda dari
celah tembok. Winda langsung gelisah dan ingin menjenguknya saat Bang Ucup
mengatakan bahwa dia sedang dirawat. Padahal dia belum pernah bertamu ke rumah
Evan. Hubungan mereka memang aneh, sudah lama menjalin kasih tapi Winda belum
pernah diajak bertemu dengan orangtua Evan. Padahal mereka tinggal
bersebelahan.
“Mbak, sudah
tahu belum kalo Mas Evan sedang dirawat di rumah sakit?” ucap Bang Ucup di
hadapan Winda yang sedang memegang seikat sayur bayam.
Seikat bayam
yang ada di tangannya langsung terjatuh, degup jantungnya semakin cepat saat
tahu pujaan hatinya sedang dirawat di rumah sakit. Mukanya mulai menampakkan
kegelisahan. Sementara Evan tertawa melihat kejadian itu dari balik tembok.
“Abang bercanda
aja Mbak, Mas Evan yang nyuruh” ucap Bang Ucup sambil menunjuk ke arah Evan
yang sedang bersembunyi.
Winda tersipu
malu, malu saat pujaan hatinya melihat tingkahnya tadi. Dia langsung membayar
sayur yang dia beli, kemudian meninggalkan Bang Ucup dan Evan yang masih
tertawa dengan kejadian tadi.
Bidadariku, aku
merindukanmu.
Apakah engkau
juga merindukanku?
-Bersambung-
“Tante, Evan hanya butuh istirahat untuk beberapa hari saja, setelah itu dia akan kembali pulih. Saya tidak bermaksud membuat ibu khawatir dengan keadaan Evan. Saya hanya ingin memberitahu ibu, saya tahu hubungan bathin antara ibu dan anak sangatlah kuat.
ReplyDeletekok sapaan tante terus berubah ibu?
ah terimakasih koreksiannya Om :)
Delete