Malam semakin gelap, hujan rintik-rintik membasahi bumi, pemuda itu masih duduk di bagian pojok masjid memegang Kitab suci yang berisikan firman-firmanNya, sementara anak muda lain sedang asik bermain gitar, bernyanyi, seolah-olah tidak mendengar kumandang adzan yang dikumandangkan begitu merdu oleh seorang āmuadzinā yang menyeru mereka untuk lekas ke masjid dan melaksanakan shalat maghrib berjamaāah. Iya terus membaca ayat demi ayatNya dengan khusuā, sesekali ia terlihat menghapus air matanya yang jatuh ketika membaca ayat-ayat yang bermaknakan tentang āadzab, kemudian dia tersenyum ketika membaca ayat-ayat yang menceritakan balasan bagi orang-orang yang beramal sholih. Lantunan ayat suci yang ia baca terdengar sampai ke rumah tetangga, membuat anak-anak muda yang sedang bermain gitar dan bernyanyi merasa tertanggu.
āMas, kalo mau ngaji jangan keras-keras lah, ucap salah seorang pemuda dari depan masjidā.
Mendengar teguran itu, pemuda yang ada di masjid mengucapkan maaf dan langsung melanjutkan berbicara dengan Allah Tuhannya, ia melanjutkan bercengkerama dengan TuhanNya melalui ayat demi ayat yang ada di dalam al Qurāan. Ia pernah membaca dalam sebuah buku : āOrang yang membaca Al Qurāan sama halnya dia sedang berbicara dengan Allahā
sebagaimana hadits Nabi yang artinya:
āBarang siapa ingin bercakap-cakap dengan Allah maka hendaklah membaca Al Qurāanā.
Tidak terasa, waktu shalat isya sudah tiba, seorang muadzin kembali mengumandangkan adzan untuk menyeru umat muslim shalat isya berjamaāah di masjid. Adzan berkumandang, pemuda-pemuda yang sedang bermain gitar dan bernyanyi tidak berhenti ketika adzan berkumandang, suara adzan beradu dengan suara gitar dan nyanyian-nyanyian mereka. Hingga adzan selesai, gitar itu terus dimainkan dan terus diiringi dengan nyanyian-nyanyian. Entah apa yang ada di dalam pikiran mereka.
Pemuda yang di dalam masjid tidak merasa terganggu dengan kebisingan itu, ia melaksanakan shalat āQobliyahā isya dua rakaāat, kemudian melanjutkan membaca al Qurāan, dia memang sudah terbiasa membaca KalamNya sehabis maghrib hingga waktu isya tiba. Sudah hampir lima belas menit ia membaca ayat demi ayat sambil menunggu āiqamatā dan jamaāah lain datang ke masjid. Satu persatu jamaāah berdatangan, dan sebagian besar mereka adalah orang-orang tua yang sudah uzur, yang sudah tua runta, dan beberapa anak kecil. Tidak terlihat adanya pemuda-pemuda yang datang ke masjid. Bathin pemuda yang ada di dalam masjid bergumam.
āYa Rabbi, di manakah pemuda-pemuda ?ā
Shalat isya diimami oleh seorang bapak yang sudah sangat tua, ia membaca surat āal Fatihahā sambil batuk-batuk, kemudian dilanjutkan dengan membaca surat āal Ikhlasā. Setelah berdzikir dan berdoāa secara berjamaāah, seorang bapak menghampiri pemuda tadi dan bertanya.
āMas warga baru di kampung sini?ā
āBukan Pak, saya kebetulan sedang lewat, saya berasal dari kampung sebelahā
āDengan Mas siapa?ā
āNama saya Faiz Pakā
āSaya tinggal dulu ya Nakā
Sudah beberapa hari ini Faiz membawa sepeda motornya untuk berkeliling ke kampung-kampung sebelah, sengaja mampir dan shalat berjamaāah di masjid-masjid yang ada di kampung-kampung tersebut. Acap kali ia menangis saat melihat kenyataan para Imam yang bacaan al Qurāannya masih jauh dari standar bacaan yang baik, kadang bathinnya bergejolak melihat kenyataan sepinya masjid dari jamaāah, sepinya masjid dari pemuda-pemuda, masjid seolah-olah hanya untuk orang-orang yang sudah lanjut usia.
āZaman sudah berubah kah? Sehingga masjid sudah tidak menarik lagi bagi pemuda-pemuda Islam?ā
Tidak sedikit ia pernah melihat masjid yang digembok, dan ketika waktu shalat tiba, tidak satu pun jamaāah yang datang ke masjid, masjid tidak ubahnya hanya menjadi bangunan tua, dipenuhi kotoran-kotoran kambing. Kenyataan itu berbeda dengan kenangannya sewaktu masih kecil. Dulu. waktu ia masih kecil, setiap baāda āAsharā, pemuda-pemudi berjalan menyandang Kitab suci menuju langgar-langgar, setiap hari mereka belajar membaca al Qurāan, kegiatan itu dilakukan hingga maghrib menjelang, mereka shalat berjamaāah di masjid atau langgar-langgar, kegiatan belajar membaca al Qurāan akan dilanjutkan setelah shalat maghrib. Ada yang membaca al Qurāan di masjid, ada juga yang membacanya di rumah masing-masing di terangi sebuah lampu minyak.
Ia rindu akan masa-masa itu, dimana bacaan al Qurāan bukanlah bacaan yang asing, setiap hari suara senandung ayat demi ayat itu selalu terdengar dari rumah ke rumah.
āSurga merindukan pemuda yang hatinya terpaut dengan masjidā
Comments
Post a Comment
Jangan Lupa Tinggalkan Komentarnya Gan