Sore itu, saat semua orang menyibukkan diri dengan hasil jaring ikan yang mereka pasang di lautan, mereka melepaskan satu persatu ikan-ikan yang terjebak di jaring, seorang pemudi duduk santai di ujung perahu kecil yang sudah rapuh yang terletak di pinggir pantai, kakinya berayun-ayun, jilbab ungu yang ia kenakan serasi dengan warna perahu yang juga berwarna ungu. Ia sedang membaca sebuah buku “Taman Orang Jatuh Cinta dan Tamasya Orang Yang Terbakar Rindu” yang merupakan terjemahan dari kitab “Raudhatul Muhibbin wan Nuzhatul Musytaqin” karya Ibnu Qayyim Al Jauziyah.
Dia membaca lembar demi lembar buku itu, ia berhenti lama pada bait-bait syair yang meneduhkan hatinya, sekaligus menggambarkan isi hatinya saat ini.
Aku tidak mengerti mengapa cinta harus dicaci
Entah mata yang telah buta atau hati yang telah mati
Mengapa harus aku caci hati yang tidak melihat?
Tapi, jika kucerca mata, justru hati yang berdosa
Mata dan hati membuatku terbagi
Ya Rabbi, berilah perlindungan untuk mata dan hati ini
Ia membaca bait-bait itu berulang-ulang, ia mencoba untuk memahami akan kandungan syair tersebut. Setelah paham, barulah kemudian ia melanjutkan membaca ke bagian selanjutnya.
Matahari sebentar lagi akan tebenam, suara ayat-ayat suci dari masjid sudah terdengar sampai ke telinganya, ia menutup buku yang sedang ia baca, tidak lupa dia melipat bagian akhir yang telah ia baca sebagai tanda. Ia menyusuri jalanan setapak menuju rumahnya, ia basuh anggota badannya dengan air wudhu, diambilnya mukena putih bersih yang terlipat rapi di atas meja kamarnya, ia kenakan dan tidak lupa membawa sebuah mushaf al Qur’an berukuran sedang. Ia berjalan menuju masjid yang tidak jauh dari rumahnya.
Di perjalanan menuju masjid, ia tidak sengaja berpapasan dengan Patrem, pemuda yang terkenal karena kealimannya, terkenal karena suara indahnya saat melantunkan ayat-ayat suci, pemuda idaman hati semua pemudi yang ada di desanya. Banyak pemudi yang membicarakan tentangnya, memuji dan berharap bisa meraih hati sang pujaan.
“Assalamu’alaikum Lathifah, Patrem mengucap salam”
“Wa’alaikumussalam”
Setelah menjawab salam, Lathifah kembali menundukkan pandangan, ia tidak ingin berlama-lama beradu pandang dengan Patrem, ia berjalan mendahului Patrem dan beberapa temannya. Ia mempercepat langkah kakinya menuju masjid.
Patrem tersenyum memandang Lathifah yang berjalan tergesa-gesa.
“ehm, ada yang sedang di landa cinta nampaknya, teman-temannya menggodanya, ”
Patrem tersenyum dan tersipu malu, entah mengapa, tiap kali bertemu dengan Lathifah, ia tersentak dan tidak bisa berkata-kata, hanya salam yang mampu ia ucapkan.
Tiba-tiba aku berpapasan dengannya
Aku tersentak dan tidak bisa berkata-kata
Kutata kembali pikiran seperti sedia kala
Kucoba mengingat kata, saat ia tiada
Yang menjadi kebahagiaan orang yang sedang jatuh cinta adalah bertemu dengan orang yang dicintainya, sebaliknya tidak ada kesedihan yang paling dalam baginya kecuali ketika berpisah dengannya.
Patrem mengadukan perasaannya kepada-Nya di pertengahan malam, ia bangun dan memohon petunjuk-Nya akan apa yang sedang ia rasakan saat ini. Diumurnya yang sudah dua puluh enam tahun, sudah saatnya ia membina rumah tangga, sudah waktunya ia memilih hati yang akan ia jadikan permaisuri dalam istana cinta yang akan ia bangun. Ia hanya bisa mengadukan gejolak hati kepada yang menciptakan gejolak. Setelah merasa yakin dengan pilihannya, barulah ia akan melangkah ke tahap selanjutnya yaitu ta’aruf, jika memang ada kecocokan keduanya, ia akan langsung melamar Lathifah bidadari pujaannya. Ada dua pilihan ketika seseorang bertemu cinta, yaitu jatuh cinta dan bangun cinta, ia memilih yang kedua (bangun cinta) agar cintanya menjadi istana, tinggi menggapai surga.
Ya Rabbi,
Jadikanlah ia sebagai Hajar
Jadikanlah ia sebagai Maryam
Jadikanlah dia sebagai Khadijah
Wanita perkasa penuh keagungan
Yang akan menemani hari-hariku menuju Ridho-Mu
Comments
Post a Comment
Jangan Lupa Tinggalkan Komentarnya Gan