Dalam kegelapan malam, ia menyendiri di sebuah kamar bekas gudang, matanya merah, bengkak karena terlalu banyak meneteskan air mata, pipi sebelah kanannya terlihat biru bekas pukulan, sambil menahan sakit bagian kakinya yang disiram air panas oleh ayah kandungnya sendiri, ia mengadukan semua keluh kesahnya kepada Allah Tuhannya. Suara anak itu terdengar lirih, ia khusu’ bermunajat kepada Allah, seperti yang diajarkan oleh Guru Agamanya di sekolah, tiada tempat mengadu selain kepadaNya.
Anggia, ia seorang anak yang berbakti kepada Orang Tuanya, ia tidak pernah membantah perintah kedua Orang Tuanya, akan tetapi meski demikian, Ayahnya terlalu sering menyakiti hatinya, terlalu sering membuat goresan demi goresan di tubuh mungilnya. Diusianya yang masih sembilan tahun, entah sudah berapa kali tangan Ayahnya mengenai pipinya, entah sudah berapa kali kaki Ayahnya menendang tubuh kurus miliknya, sudah tidak terhitung lagi rasanya. Kerap kali hanya karena perkara sepele, Ayahnya menghadiahinya dengan sebuh pukulan. Ibunya tidak bisa berbuat apa-apa, tiap kali Ibundanya mencoba untuk menghentikan kekerasan yang dilakukan Ayahnya, tiap kali itu pula Ibunya akan mendapatkan perlakuan yang sama dari Ayahnya.
Ya Allah, dengarlah do’aku, Anggia sangat mencintai Ayah dan Bunda
Jangan Engkau jadikan keluarga ini keluarga yang jauh dari cahayaMu
Aku ingin melihat Ayah bahagia dan tersenyum setiap hari
Ya Allah, Anggia belum bisa membuat Ayah tersenyum
Izinkan aku melihat senyum itu
Sebuah do’a yang ia akhiri dengan tetesan air mata, setiap malam, ia bangun dan mengadu kepadaNya. Ia tidak pernah meninggalkan Shalat, ia sering berpuasa. Akan tetapi tidak dengan Ayahnya, jangankan untuk berpuasa, shalat pun Ayahnya tidak tahu bagaimana caranya.
Matahari kembali bersinar menerangi bumi, pepohonan nan hijau menghiasi sebuah lapangan yang ada di depan rumah Anggia, burung-burung terbang kesana-kemari mencari makan, kupu-kupu terlihat sedang asik menikmati sari madu bunga di halaman rumahnya.
Seperti biasa, setiap hari Anggia pergi ke sekolah berjalan kaki, Ia melangkahkan kakinya meski dalam keadaan sakit karena disiram air panas oleh Ayahnya, ia berusaha tersenyum meski menahan sakit pipinya yang membiru karena tamparan Ayahnya. Diperjalanan menuju sekolah, banyak teman yang bertanya kepadanya.
Kakimu kenapa Anggia? Tanya seorang anak ketika melihatnya berjalan pincang
Nggak apa-apa, hanya keseleo sedikit, ntar juga sembuh.
Terus seperti itu, ia tidak pernah menceritakan kejadian yang sebenarnya kepada siapapun, tidak kepada teman sekelasnya, tetangga, ataupun Guru di sekolah. Di sekolah, Anggia bukanlah anak yang cerdas, dia memang susah dalam memahami pelajaran, dan kerap kali karena dia tidak pernah mendapat juara kelas, menjadi alasan Ayahnya untuk memberinya hadiah dengan caci maki, bahkan memukul.
Ayah, Anggia bukan tidak berusaha untuk jadi lebih baik
Anggia juga bukan tidak berusaha untuk jadi seperti yang ayah inginkan
Anggia sedang mencoba untuk jadi lebih baik
Menjadi anak yang ayah dambakan
Tapi, beri Anggia waktu untuk mewujudkan itu
Anggia menuliskannya dibuku diary miliknya. Setiap pulang sekolah, ia membantu Ibunya membersihkan rumah, dimulai dari menyapu halaman, cuci piring berdua dengan Ibundanya, memasak, ia bahagia bisa melakukan semua itu bersama Bundanya. Akan tetapi kebahagiaan itu akan berubah jika Ayahnya sudah kembali ke rumah.
Suara klakson mobil terdengar dari luar rumah. Ayah pulang, ia berlari ke luar rumah dan membukakan pintu gerbang, karena badannya yang kecil, ia lamban membukakan pintu.
Kamu bisa buka pintu nggak? Lambat sekali, Ayahnya memakinya.
Maaf Yah
Setelah pintu terbuka, dan Ayahnya keluar dari mobil, Anggia menghampiri mobil Ayahnya untuk menyambut tangannya, akan tetapi bukan senyuman, bukan juga uluran tangan yang ia dapatkan, hanya sebuah senyum kecut sebuah kebencian yang ia dapatkan. Ayahnya berlalu begitu saja tanpa memperdulikannya yang berdiri menyambut kedatangan sang Ayah. Air matanya kembali menetes
Ya Allah, apa salah Anggia sehingga Ayah begitu membenciku
Ampuni Anggia ya Allah
Do’a itu ia ucapkan setelah selesai melaksanakan shalat Ashar bersama dengan Bundanya, sedangkan Ayahnya duduk di ruang kerja pribadinya, sedang serius mengerjakan tugas kantor yang mungkin belum selesai. Anggia masuk dan membawakan segelas air putih dan meletakkannya di meja kerja sang Ayah. Kembali, ayahnya acuh kepadanya, seolah-olah tidak melihat kehadirannya.
Malam kembali menjelang, bintang-bintang kembali menghiasi malam, rembulan kembali menyinari gelapnya malam, putri kecil itu duduk di dekat jendela, memandang ke luar jendela, melihat kerlap-kerlip bintang di langit, menghirup udara yang semilir memasuki kamarnya. Sebuah buku diary ada di tangannya. Ia menuliskan beberapa bait kalimat untuk Ayah.
Pagiku tidak akan sempurna jika tanpamu Ayah
Malamku juga tidak akan indah bila aku tidak melihatmu
Ayah, aku hanya ingin engkau tahu bahwa aku sangat mencintaimu
Aku hanya berharap, suatu hari nanti, Ayah akan tersenyum melihatku
Terimakasih atas goresan cinta yang engkau berikan kepadaku.
Anggia
hooo critana hampirrrr... boleh g crita ini gw posting di fb gw... ??
ReplyDeletedengan senang hati. silahkan di posting :)
ReplyDelete