Gemuruh suara angin disertai hujan saling bersahutan, angin kencang memporak porandakan bangunan-bangunan yang ada di depannya, pohon-pohon pun ikut tumbang. Sementara angin dan hujan bergemuruh, terdengar suara orang-orang meminta tolong, entah kepada siapa mereka meminta tolong, beberapa anak kecil terlihat sedang terbawa arus air, mereka berteriak meminta tolong, namun tidak ada satu pun yang menolong, semua orang sedang sibuk dengan nasib masing-masing, semua orang sedang sibuk mencari cara untuk bertahan, mencari tempat untuk berlindung agar terhindar dari amukan angin dan hujan.
Sementara Farrel, yang tadinya sedang bercocok tanam di lereng bukit, sekarang terpaksa menghentikan kegiatannya, ia berlari menjauh dari pepohonan, ia menundukkan badannya serata tanah, dan menyebut asmaNya, mengharapkan pertolongan kepada yang maha memberi pertolongan, beberapa kali kalimat “Tasbih” ia ucapkan, “istighfar”, serta membaca ayat-ayat yang mampu untuk ia baca. Dalam keadaan ini ia ingat akan kuasa TuhanNya, ia ingat betapa lemahnya dirinya dibandingkan dengan Tuhannya, ia sadar bahwa kapan pun Ia bisa mengambil nyawanya. Tidak seperti kejadian pagi tadi, ia sempat membentak Ayahnya yang sudah tua renta, karena sering pikun, Ayahnya sering lupa nama anaknya sendiri, sering lupa sudah makan atau belum, dan itu membuatnya begitu kesal. Ditambah lagi harus mengurus semua keperluan Ayahnya, ia adalah anak satu-satunya, Ibundanya sudah tiada sejak tiga tahun yang lalu.
Pernah suatu ketika, ia memarahi Ayahnya yang tidak bisa pergi ke kamar mandi sendirian, dan akhirnya buang air kecil di kamar. Dan itu menyebabkan bau yang sangat menyengat, tidak ada siapa pun yang akan membersihkannya selain dirinya. Sambil memaki, Farrel membersihkan semua itu, sementara Ayahnya hanya terdiam seribu bahasa, tidak ada kata-kata ynag terucap dari kedua bibir keriputnya. Kekesalan Farrel makin menjadi setelah tahu bahwa di bawah ranjang tidur Ayahnya ada banyak sekali makanan yang sudah basi. Ditariknya tangan Ayahnya, dan dipaksa untuk membersihkannya. Ayahnya mengambil sisa-sisa makanan yang sudah membusuk itu dengan tangannya, air matanya mulai menitik ke baju usang yang ia kenakan.
“Ayah harus membersihkannya sampai bersih, Farrel capek terus-terusan harus membersihkan semua itu. Ucapnya dengan nada yang keras”
Sebuah pohon jatuh tidak jauh dari tempatnya berlindung, Farrel kaget, dan entah apa yang terjadi, ia teringat akan Ayahnya yang berada di gubuk, hatinya dipenuh berbagai pertanyaan, bagaimana keadaan Ayah? adakah warga yang menolongnya untuk keluar dari gubuk? selamatkan Ayah?. Ia berlari menuruni bukit, menuju ke gubuk tempat di mana ia tinggal bersama Ayahnya. Tidak peduli dengan kencangnya angin, ia juga tidak peduli dengan derasnya air hujan, sesekali ia terpeleset dan membuat badannya penuh lumpur, tangannya mengeluarkan darah karena terjatuh dan mengenai sebuah kayu. Namun ia tetap berlari sekuat tenaga menuju ke gubuknya, ia ingin melihat dan menyelamatkan Ayahnya dari amukan Angin dan Banjir.
Dari kejauhan, dilihatnya beberapa pohon sebesar lengan orang dewasa menimpa gubuknya, namun gubuknya masih tetap berdiri tegak menahan berat pohon-pohon yang ada di atasnya. Di dalam hatinya, ia memanjatkan do’a-do’a agar Ayahnya tetap selamat, air matanya mengalir deras teringat bagaimana buruk ia memperlakukan Ayahnya, bahkan sering ia mengucapkan kata-kata ‘Ayah itu bisanya cuma bikin susah Farrel’, dan masih banyak kalimat cacian lain yang sering ia ucapkan. Semakin dekat dengan gubuknya, detak jantungnya begitu cepat, ia berlari membelah air yang tergenang di depan gubuknya dan langsung masuk ke dalam gubuk.
Angin dan hujan sudah berhenti, berdamai dengan perasaan Farrel yang sedang gusar, ia mendapati Ayahnya masih di atas ranjang, memeluk sebuah buku, dan menangis, Farrel langsung memeluk Ayahnya sambil menangis sesenggukan, diciumnya beberapa kali kening Ayahnya, serta ia bisikkan kalimat “Ayah, maafkan Farrel, Aku sangat mencintaimu, entah dengan apa aku bisa membayar kasih yang telah engkau berikan padaku”.
Ayahnya yang sudah tua renta, memeluk erat anaknya dan berkata “bagaimana pun engkau tetaplah anakku, tidak peduli apa yang telah engkau perbuat kepada Ayah”. Kemudian Ayahnya melihatkan isi buku yang ia pegang, ada sebuah photo di dalamnya, photo Farrel waktu masih berumur dua belas tahun.
“Ini kamu waktu masih berumur dua belas tahun nak” ucapnya lirih.
Keduanya berpelukan dan menangis sejadi-jadinya. Saat keduanya sedang berpelukan, terdengar suara di bagian atap rumahnya dan secara tiba-tiba, bagian atap yang sudah rapuh itu tidak kuat menahan beban berat pohon yang menimpanya. Kayu-kayu yang menopang atap pun satu persatu jatuh, tak pelak lagi, Farrel dan Ayahnya tertimpa kayu-kayu penyanggah atap, bahkan beberapa genteng pun juga jatuh menimpa tubuh keduanya. Keduanya tidak sempat untuk menghindar.
Hening, tidak ada lagi terdengar suara isak tangis keduanya, hanya suara angin, serta aliran air yang menggenangi halaman rumahnya yang masih terdengar. Hingga hujan betul-betul reda, dan angin benar-benar berdamai dengan sekelilingnya, keduanya tetap berada di dalam gubuk, di bawah reruntuhan itu.
Untukmu Ayah
Ayah, izinkan aku bersamamu hingga akhir hidupku
Izinkan aku memelukmu dan merasakan cinta yang hangat darimu
Izinkan aku berada di sampingmu saat engkau lelap dalam tidurmu
Ayah, namamu terukir indah di dalam hatiku
Ayah, terimakasih atas cinta yang telah engkau berikan untukku
Comments
Post a Comment
Jangan Lupa Tinggalkan Komentarnya Gan