Al-Ghazali termasuk ke dalam sufistik
yang banyak menaruh perhatian besar terhadap pendidikan, karena pendidikanlah
yang banyak menentukan corak kehidupan suatu bangsa dan pemikirannya. Demikian
hasil pengamatan Ahmad Fuad al-Ahwani terhadap pemikiran pendidikan al-Ghazali.
Menurut H.M. Arifin sebagaimana
dikutip oleh Abuddin Nata, al-Ghazali adalah penganut faham idealism yang
konsekuen terhadap agama sebagai dasar pandangannya. Dalam masalah pendidikan,
al-Ghazali lebih cenderung berpaham empirisme. Hal ini antara lain disebabkan
karena ia sangat menekankan pengaruh pendidikan terhadap anak didik.
Menurutnya, seorang anak tergantung kepada orang tua dan anak yang mendidiknya.
Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan menurut al-Ghazali
adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT., bukan untuk mencari kedudukan,
kemegahan dan kegagahan atau mendapatkan kedudukan yang menghasilkan uang.
Karena jika tujuan pendidikan diarahkan bukan pada mendekatkan diri kepada
Allah, akan dapat menimbulkan kedengkian, kebencian, dan permusuhan.
Rumusan tujuan pendidikan yang
demikian ini sejalan dengan firman Allah SWT. tentang tujuan penciptaan
manusia, yaitu:
“Tidaklah Aku jadikan jin dan manusia
melainkan agar beribadah kepada-Ku.” [Q.S. al-Dzariyat: 56]
Pendidik
Sejalan dengan pentingnya pendidikan
mencapai tujuan di atas, al-Ghazali juga menjelaskan tentang ciri-ciri pendidik
yang boleh melaksanakan pendidikan. Ciri-ciri tersebut adalah:
Ø Guru harus
mencintai muridnya seperti mencintai anak kandungnya sendiri.
Ø Guru jangan
mengharapkan materi (upah) sebagai tujuan dari pekerjaannya (mengajar), karena
mengajar adalah tugas yang diwariskan oleh Nabi Muhammad SAW. sedangkan upahnya
adalah terletak pada terbentuknya anak didik yang mengamalkan ilmu yang
diajarkannya.
Ø Guru harus
mengingatkan muridnya agar tujuannya dalam menuntut ilmu bukan untuk kebanggaan
diri atau mencari keuntungan pribadi, tetapi untuk mendekatkan diri kepala
Allah.
Ø Guru harus
mendorong muridnya agar mencari ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu yang membawa
pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Ø Di hadapan
muridnya, guru harus memberikan contoh baik, seperti berjiwa halus, sopan,
lapang dada, murah hati dan berakhlak terpuji lainnya.
Ø Guru harus
mengajarkan pelajaran yang sesuai dengan tingkat intelektual dan daya tangkap
anak didiknya.
Ø Guru harus
mengamalkan yang diajarkannya, karena ia menjadi idola di mata anak didiknya.
Ø Guru harus
memahami minat, bakat dan jiwa anak didiknya, sehingga di samping tidak akan
salah dalam mendidik, juga akan terjalin hubungan yang akrab dan baik antara
guru dengan anak didiknya.
Ø Guru harus dapat
menanamkan keimanan ke dalam pribadi anak didiknya, sehingga akal pikiran anak
didik tersebut akan dijiwai oleh keilmuan itu.
Jika tipe ideal guru yang dikehendaki
al-Ghazali tersebut di atas dilihat dari persfektif guru sebagai profesi nampak
diarahkan pada aspek moral dan kepribadian guru, sedangkan keahlian, profesi
dan penguasaan terhadap materi yang diajarkan dan metode yang harus dikuasainya
nampaknya kurang diperhatikan. Hal ini dapat dimengerti karena paradigma (cara
pandang) yang digunakan untuk menentukan guru tersebut adalah paradigma tasawuf
yang menempatkan guru sebagai figur sentral, idola, bahkan mempunyai kekuatan spiritual,
dimana sang murid sangat bergantung kepadanya. Dengan posisi seperti ini nampak
guru memegang peranan penting dalam pendidikan. Hal ini mungkin kurang sejalan
lagi dengan pola dan pendekatan dalam pendidikan yang diterapkan pada
masyarakat modern saat ini.
Tipe
ideal guru yang dikemukakan al-Ghazali yang demikian sarat dengan normal akhlak
itu, masih dianggap relevan jika tidak dianggap satu-satunya model, melainkan
jika dilengkapi dengan persyaratan yang lebih bersifat akademis dan profesi.
Guru yang ideal di masa sekarang adalah guru yang memiliki persyaratan
kepribadian sebagaimana dikemukakan al-Ghazali dan persyaratan akademis
profesional.
Murid
Sejalan dengan prinsip bahwa menuntut
ilmu pengetahuan itu sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah, maka
bagi murid dikehendaki hal-hal sebagai berikut:
Ø Seorang murid di
hadapan guru selayaknya senantiasa memulai pertemuan dengan mengucapkan salam
kepada guru, tidak banyak berbicara di hadapannya.
Ø Ikut berdiri
ketika dia berdiri dan tidak mengatakan, “fulan mengatakan sesuatu yang berbeda
dengan yang Anda katakan.”
Ø Tidak bertanya
kepada teman ketika duduk di hadapan guru.
Ø Tidak tertawa
ketika guru berbicara.
Ø Tidak
memperlihatkan kepadanya apa yang bertentangan dengan pendapatnya.
Ø Tidak memegang
bajunya ketika dia berdiri.
Ø Tidak meminta
penjelasan tentang suatu masalah di tengah perjalanan hingga sampai ke rumahnya
dan tidak bertanya ketika dia merasa jenuh.
Ciri-ciri murid yang demikian itu
nampak juga masih dilihat dari persfektif tasawuf yang menempatkan murid
sebagaimana murid tasawuf di hadapan gurunya. Ciri-ciri tersebut untuk masa
sekarang tentu masih perlu ditambah dengan ciri-ciri yang lebih membawa kepada
kreatifitas dan kegairahan dalam belajar.
Kurikulum
Secara tradisional kurikulum berarti
mata pelajaran yang diberikan kepada anak didik untuk menanamkan sejumlah
pengetahuan agar mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Kurikulum tersebut
disusun sedemikian rupa agar dapat mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Pandangan al-Ghazali tentang
kurikulum dapat dipahami dari pandangannya mengenai ilmu pengetahuan. Ia
membagi ilmu pengetahuan kepada yang terlarang dan yang wajib dipelajari oleh
anak didik menjadi tiga kelompok, yaitu:
Ø Ilmu yang
tercela, banyak atau sedikit. Ilmu ini tidak ada manfaatnya bagi manusia di
dunia ataupun di akhirat, misalnya ilmu sihir, nujum, dan ilmu perdukunan. Bila
ilmu ini dipelajari akan membawa mudharat dan akan meragukan terhadap kebenaran
adanya Tuhan. Oleh karena itu ilmu ini harus dijauhi.
Ø Ilmu yang
terpuji, banyak atau sedikit. Misalnya ilmu tauhid dan ilmu agama. Ilmu ini
bila dipelajari akan membawa seseorang kepada jiwa yang suci bersih dari
kerendahan dan keburukan serta dapat mendekatkan diri kepada Allah.
Ø Ilmu yang
terpuji pada taraf tertentu, yang tidak boleh diperdalam, karena ilmu ini dapat
membawa kepada kegoncangan iman dan ilhad (meniadakan Tuhan) seperti ilmu
filsafat.
Jika diamati secara seksama, nampak
al-Ghazali menggunakan dua pendekatan dalam membagi ilmu pengetahuan. Pertama
pendekatan fiqih yang melahirkan pembagian ilmu pada yang wajib dan fardhu
kifayah. Kedua pendekatan tasawuf (akhlak) yang melahirkan pembagian
ilmu pada yang terpuji dan tercela. Hal ini akan semakin jelas jika dihubungkan
dengan tujuan pendidikan tersebut di atas, yaitu pendekatan diri kepada Allah.
Dari keseluruhan uraian tersebut di
atas dapat disimpulkan, bahwa al-Ghazali adalah seorang ulama besar yang
menaruh perhatian yang cukup tinggi terhadap pendidikan. Corak pendidikan yang
dikembangkannya tampak dipengaruhi oleh pandangannya terhadap tasawuf dan
fikih. Hal ini tidak mengherankan karena dalam kedua bidang ilmu tersebut
itulah al-Ghazali memperlihatkan kecenderungannya yang besar. Konsep pendidikan
yang dikemukakannya nampak selain sistematik dan komprehensif juga secara
konsisten sejalan dengan sikap dan kepribadiannya sebagai seorang sufi.
artikel bermanfaat, thanks gan
ReplyDeletesama-sama :)
DeleteThanks to share bro
ReplyDeletesama-sama :)
Delete