Saya mencoba mengingat kembali, ketika saya akhirnya memberanikan diri melamar seorang wanita yang sebenarnya sudah lama saya kenal dari jauh. Saya katakan dari jauh, karena tidak pernah ada komunikasi di antara kami. Setelah 1,5 tahun saya mencoba untuk menahan diri karena saat itu belum berani untuk maju melamarnya, akhirnya saya memberanikan diri untuk datang menemui kedua orangtuanya dan menyatakan keinginan saya untuk melamar putri mereka. Saya masih ingat dengan baik cucuran keringat yang membasahi wajah, kemudian membuat baju yang saya pakai menjadi lembab. Saya masih ingat dengan baik betapa nervous sangat menyiksa saya saat itu, yang nyaris merusak semua kata-kata yang sudah saya siapkan sejak jauh-jauh hari. Saya masih ingat bagaimana sikap saya ketika tidak bisa menjawab beberapa pertanyaan dari wali wanita yang saya lamar. Tapi, meski awalnya rada berat dan penuh perasaan tidak percaya diri, lamaran saya akhirnya diterima. Setelah lamaran diterima, kemudian dia...