Sunset di daerah Banyumulek, Kerangkeng
First Day
Saya sudah
mendarat di lombok kurang lebih pukul 12.30 waktu setempat, sementara Renat,
Farkhad dan Istrinya masih dalam penerbangan menuju Lombok. Mereka bertiga dari
Jakarta, sementara penerbangan saya dari Surabaya. Agenda pertama di Lombok
adalah duduk lesehan di tempat pengambilan bagasi seorang diri, karena yang
lain sudah selesai mengambil bagasi. Saya masih santai duduk lesehan kayak homeless
sambil makan roti O yang enaknya bikin saya tambah lapar, bukannya tambah
kenyang.
Saya, Renat, Farkhad dan Istrinya
Mau tahu
berapa lama saya menunggu di Lombok International Airport? Dua jam. Dua
jam itu waktunya cukup loh buat acara resepsi pernikahan (lost focus),
hehe. Kagak, maksud saya, dua jam itu waktu yang lama. Saya mondar-mandir,
motret beberapa pegawai airport secara diam-diam, mulai dari cleaning
service, penjaga toko, tukang dorong troli barang, bahkan tong sampah nggak
luput dari jepretan saya. Asli kurang kerjaan banget.
Tiga Sahabat Karib
Setelah
lelah menunggu Krisdayanti datang *dipentung Rahul Lemos*, akhirnya Renat
nongol juga, diiringi oleh Farkhad dan Istrinya. Kasihan, ya, Renat,
jalan-jalan bareng Farkhad yang sudah beristri, ngelihatnya itu kok nggak enak
gitu, ganjil. Haha *melirik Renat yang kayak orang bingung nyariin saya*. Saya
sudah lihat dia dari kejauhan, ngaktifin HP, kemudian menghubungi saya, tapi
nggak saya angkat, sengaja ngerjain biar tambah bingung. Saya malah kabur ke
toilet karena sesuatu (masa iya harus saya jelasin juga apa kegiatan saya di
toilet). Setelah selesai bersemedi di Toilet, saya baru menghampiri Renat dan
yang lain sambil jabat tangan, kemudian senyum tipis alias nyengir.
Setelah
urusan bagasi selesai, selanjutnya adalah diskusi kemana sebenarnya arah
perjalanan ini, mau dibawa kemana sebenarnya hubungan ini? *mendadak nyanyi*.
Iya, ini liburan yang rada absurd sebenarnya, meski saya sudah punya
rencana jalan-jalan sendiri, tapi masa iya saya memaksakan kehendak saya
sendiri ke mereka bertiga. Makanya perlu diskusi. Meski sebenarnya ada beberapa
teman yang siap menampung saya selama di Lombok dan itu tentu saja mengurangi
biaya liburan saya *modus*, tapi saya nggak boleh egois, karena nyatanya saya
berlibur bareng tiga orang teman yang tentu saja memiliki arah dan tujuan
sendiri selama liburan kali ini. Maka saya lebih memilih menjadi teman yang
menemani sahabat yang sedang berlibur. Saya mengikuti apa kata mereka saja.
Karena
Renat dan yang lain terlihat bingung, akhirnya saya usul untuk menginap di
rumah teman saya, kemudian besok baru jalan-jalan dengan menyewa mobil. Mereka
setuju dan akhirnya kami cabut dari Bandara dengan travel menuju rumah teman
yang sudah sejak beberapa hari yang lalu sudah menghubungi saya untuk menginap
di rumahnya selama saya di Lombok dan dia siap menampung saya dan tiga orang
teman saya.
Dalam
perjalanan, seperti biasa, Renat yang tidak lain adalah sahabat saya yang
sangat baik hati ini selalu melakukan recording di setiap perjalanan.
Renat asik mengabadikan kebersamaan kami dalam video sambil menyapa satu
persatu, kemudian merekam keindahan pemandangan yang kami lalu.
“Lombok is
more beautiful than Bali,” ucapnya sambil tersenyum ke arah saya.
“Ehm, I
think so,” jawab saya sekenanya, kemudian ikut-ikutan merekam kebersamaan kami di
dalam mobil.
Setelah
menempuh perjalanan kurang lebih 30 menit, kami sampai pada tujuan, yakni di
daerah Banyumulek, langsung dipersilahkan masuk dan meletakkan barang-barang di
kamar yang sudah disediakan. Farkhad dan istrinya di kamar tersendiri (kalo
gabung ama saya dan Renat bahaya) hehe. Renat dan saya di kamar sebelahnya.
Well, alamat bakalan rusuh kalo saya dan Renat dijadiin satu kamar. Saya jamin
kagak bakalan tidur ini jadinya.
Bersama tuan rumah
Setelah
meletakkan barang, kemudian shalat, selanjutnya adalah mencari makan sambil
berkeliling daerah sekitar dengan dua buah motor yang sudah disediakan oleh
teman. Renat nggak bisa pake motor selain motor matic, jadilah saya yang jadi
tukang pacu. Kami berhenti di salah satu tempat makan, memesan sate kambing dan
sate ayam yang lezat. Sambil menunggu pesanan siap saji, kami ngobrol ngalor
ngidul nggak jelas, ketawa-ketiwi dan seperti biasa, saya kalo sudah disatukan
bareng Renat, nyaris nggak bisa diam. Ada aja ulahnya, ada aja idenya gangguin
saya, haha. Mungkin ini yang membuat kami dekat satu sama lain. Bahasa sudah
tidak jadi kendala dalam persahabatan kami.
Selain
ngobrol ngalor ngidul, ketawa-ketiwi, nggak lupa foto-foto. Renat pasang wajah
sok-sok serius pas dipotret. Tapi saya tidak seantusias dahulu, saya lebih suka
motret orang lain ketimbang dipotret. Jadilah Renat menjadi super model saya
dalam perjalanan kali ini. Saya lebih suka motret mereka bertiga, ketimbang
ikutan nimbrung. Palingan pas Renat mau foto berempat, barulah minta orang lain
untuk mengabadikan kebersamaan kami.
Setelah
selesai makan, kami melanjutkan perjalanan ke daerah yang tidak jauh dari rumah
teman saya, melihat sunset di dekat persawahan. Renat tetap dengan handhphone-nya,
merekam keindahan alam ciptaan Tuhan. Kami berhenti, kemudian mengabadikan
kebersamaan meski maghrib sudah hampir menjelang. Setelah puas foto-foto dan
diteriakin sama remaja-remaja setempat yang begitu antusias begitu melihat
bule, kami pulang dan shalat maghrib berjamaah di masjid. Inilah kerennya kalo
bepergian dengan orang-orang yang seiman, tetap berusaha menjaga kualitas
ibadah meski sedang bepergian. Sebisa mungkin kami shalat berjamaah.
Habis
maghrib, kami disambut oleh sekelompok anak-anak yang cukup rame, mereka
berkerumun di tempat rumah teman saya, berbisik-bisik, kemudian rame sendiri
ketika melihat kami berempat. Mungkin saja mereka masih penasaran melihat orang
asing yang menginap di desa mereka, haha. Mereka lucu, kalian tahu sendiri saya
itu senang banget dengan anak-anak. Di antara kami berempat, saya yang paling
antusias menyapa mereka. Kemudian berbincang sejenak, sebelum akhirnya kami
masuk dan istirahat di kamar masing-masing.
Waktu
begitu cepat berlalu, habis isya, kami berempat berbincang sejenak dengan yang
punya rumah, sekaligus diperkenalkan dengan beberapa anggota keluarga yang
sengaja datang menyambut kedatangan kami. Kami betul-betul diperlakukan
sedemikian baik oleh teman saya. Saya jadi nggak enak sendiri. Kendala bahasa
menjadi penghambat komunikasi yang punya rumah dengan tiga orang sahabat saya.
Jadilah saya yang paling banyak ngomong, menerjemahkan, biar komunikasi antara
yang punya rumah dan tiga orang sahabat saya bisa berjalan dengan baik.
Sebelum
tidur, kami berdiskusi dulu, setelah berdiskusi dan sepakat bahwa besok akan
pergi ke air terjun Sendang Gile, air terjun Tiu Kelep, dan dilanjutkan dengan
pergi ke Senggigih sambil mampir-mampir ke beberapa pantai di sepanjang jalan
menuju pantai senggigih. Rencana kami akan menginap di Senggigih satu malam,
baru kemudian melanjutkan liburan di Pulau Gili Terawangan.
Setelah
diskusi alot, kami masuk ke kamar masing-masing, rencananya mau tidur. Saya
sudah tahu, nggak bakalan ada yang namanya tidur nyenyak malam ini. Haha,
biasalah, saya dan Renat emang sering lupa waktu kalo lagi bareng. Lampu
sengaja dimatiin, kipas angin saya
hidupkan, kemudian berbaring di kasur, Renat juga ikut berbaring, dan
perbincangan pun dimulai, sampai pukul 3 pagi *kucek-kucek mata*. Kami berdua
bercerita banyak hal, mulai dari masa kecil masing-masing, tentang keluarga,
impian maisng-masing dan seabrek obrolan yang lainnya. Renat menyelipkan
berbagai kosa kata dalam bahasa Rusia dan Tatar biar membantu saya memahami
bahasa asalnya.
Meski
kebanyakan tertawanya, saya tiba-tiba hanyut dalam cerita Renat tentang kondisi
ayahnya yang sempat mengalami stroke dalam waktu yang lumayan lama dan
membuatnya harus berhenti dari bekerja dan akhirnya memilih untuk membuka usaha
sendiri di rumahnya, berupa toko barang pecah belah. Saya sempat meneteskan air
mata, saat Renat bercerita tentang proses operasi yang dilakukan berulang kali
demi kesembuhan sang Ayah. Renat tidak tahu kalo saya menangis, karena suasana
dalam gelap.
Renat
bilang, “Setiap orang pasti pernah berada dalam kondisi demikian, lemah, atau
bahkan hilang arah. Namun tidak sedikit orang yang tetap bertahan meski cobaan
hidup demikian berat. Kita hanya perlu berusaha sebaik mungkin dan percaya,
bahwa selalu ada hikmah dalam setiap cobaan.”
Jarum jam
tangan saya sudah menunjukkan pukul 3 pagi. Kami berdua memutuskan untuk tidur
sejenak sebelum subuh menjelang. Well, agenda sebelum tidur pun nggak lepas
dari rusuh, saya suka dingin alias pengen kipas angin tetap nyala, sedangkan
Renat suka hangat, alias kipas angin harus mati. Akhirnya saya mengalah. Kemudian
baru bisa tidur.
Comments
Post a Comment
Jangan Lupa Tinggalkan Komentarnya Gan