Selamat tahun
baru, ya, semalam saya nyenyak tidur setelah seharian jalan-jalan sama Renat,
Arthur, Muhammad, Farhat and his wife, Mir ‘Athoullah (semua mereka berasal
dari Rusia) kemudian dilanjutkan makan malam bersama. Jam 9 sudah pulang dan
istirahat. Saya dan Renat langsung ke asrama, yang lain entah kemana, mungkin
saja langsung balik ke kamar masing-masing dan menikmati suasana khusyu penuh
khidmat di atas kasur (baca: tidur) hehe.
Dua minggu
terakhir, saya sedang mengalami masa-masa dimana saya kesusahan kapan saya
harus berbicara bahasa Indonesia, kapan saya harus berbicara Bahasa Arab, kapan
saya harus berbicara Bahasa Inggris, dan kapan saya harus diam (tutup mulut
pake bakwan). Iya, ini saya sadari saat saya berbicara dengan sahabat sekaligus
tukang rusuh di kamar, siapa lagi kalo bukan Renat *dijitak*. Renat bilang,
akhir-akhir ini saya sering mencampur adukkan bahasa, kadang berbicara Bahasa
Arab kemudian dicampur Inggris, Kadang bicara bahasa Inggris, kemudian dicampur
Arab, atau kadang berbicara bahasa Indonesia kemudian dicampur Arab dan
Inggris.
Sebenarnya,
saya menyadari itu sejak beberapa hari yang lalu, karena saya sama sekali tidak
ada unsur kesengajaan mencampur adukkan itu semua. Namun, kadang ketika saya
berbicara bahasa Arab kemudian sampai pada kata yang tidak saya ketahui, otak
saya seolah langsung mencari arti kata itu dalam bahasa lain, baik Inggris
maupun Indonesia, begitu juga sebaliknya.
Coba bayangin
sejenak, ya, (bayangin aja bentar, nggak usah lama-lama). Ketika saya berada
dalam satu kelompok dimana saya harus menggunakan tiga bahasa ini dalam
berkomunikasi, misalnya, pas pergi bareng teman-teman kemarin, dengan Arthur
saya harus berbicara Bahasa Inggris karena dia tidak mengerti bahasa Indonesia
maupun Arab. Dengan Renat saya harus lebih banyak berbicara bahasa Arab karena
kosa kata bahasa Inggrisnya masih sangat minim. Berbicara dengan Farhat, saya
harus berbicara bahasa Inggris, meski sebenarnya Farhat juga cukup paham bahasa
Indonesia karena memang sudah cukup lama belajar di kampus UIN. Dengan Muhammad,
saya malah campur aduk berbicara dengannya, karena saya tidak tahu bahasa mana
yang sebenarnya dia lebih mengerti, apakah Arab, Inggris, atau Indonesia,
karena Muhammad lebih sering berbicara sepotong-sepotong, antara Indonesia,
Inggris, Arab, atau bahkan Rusia yang kadang membuat saya melongo sendiri ini
orang ngomong apa. Dengan Mir ‘Athoullah, saya harus berbicara bahasa Arab
utuh, meski kadang-kadang dia berusaha berbincang dengan bahasa Indonesia
sepotong-sepotong. Nah, udah bisa bayangin bagaimana kondisi yang rutin saya
hadapi sehari-hari? Itu baru yang dari Rusia, belum teman-teman dari Negara yang
lain, Libia, Sudan, Thailand, Singapura, Australia, dll.
Saya mengalami
kesusahan untuk memahami atau memberikan tanggapan atas berbagai rangsangan
yang berupa bahasa yang ada di sekeliling saya. Saya mengakui kesulitan ini. Dan
ini terbawa-bawa ketika berbicara dengan teman-teman Indonesia secara spontan,
meski untungnya sebagian besar dari mereka bisa diajak berkomunikasi dengan
Arab maupun Inggris. Contoh, ketika sedang presentasi makalah, kadang saya
harus menyusun sedemikian rupa kalimat-kalimat yang akan saya sampaikan, demi
menghindari yang namanya berbicara dengan bahasa ala gado-gado alias campur
aduk. Ini tidak mudah bagi saya, karena memang saya sedang berproses memahami
kedua bahasa tersebut dengan baik.
Kadang,
saya dituntut untuk mencerna informasi yang saya terima, kemudian merespon
dengan bahasa yang sama, namun gagal, karena yang keluar akhirnya bahasa yang
berbeda dengan bahasa yang saya terima. Ini tentu saja tidak bisa diterima oleh
semua orang. Orang yang tidak memahami kondisi saya, mungkin akan menganggap
bahwa saya sengaja mencampur adukkan bahasa itu biar dibilang keren, atau
bahkan ada yang berpendapat biasa saja dan sudah memaklumi karena memang saya
lebih banyak berinteraksi dengan orang-orang yang menggunakan kedua bahasa itu
(Arab dan Inggris).
Pernah suatu
ketika (ini cukup sering sebenarnya), ketika makan malam dengan Renat saya
berbicara bahasa Arab, kemudian saat memesan makanan, kadang secara spontan
saya akan berbicara dengan bahasa Arab tanpa sadar bahwa saya sedang berbicara
dengan orang yang bisa jadi tidak memahami apa yang saya ucapkan. Ini cukup
sering terjadi. Saya mengakui ini dan berusaha untuk fokus, namun lebih sering
gagal.
Jujur, ada
semacam kekhawatiran tersendiri dari dalam diri saya akan bahasa yang jadinya
campur aduk begini. Karena tidak semua orang bisa memahami itu semua, bukan? Maka
sebisa mungkin saya berusaha memahami kondisi yang ada. Saya tidak tahu apakah
mahasiswa lain mengalami hal yang sama atau tidak. Yang jelas, kondisi ini
menurut saya perlu diatas sedini mungkin, biar saya bisa memahami waktu yang
tepat untuk berbicara dengan bahasa yang seharusnya.
Di satu
sisi, banyak teman yang akhirnya semangat belajar bahasa, ketika melihat saya
berusaha sedemikian keras untuk bisa. Tidak sedikit yang akhirnya memutuskan
untuk ikut saya ke Pare demi belajar bahasa, bahkan ada yang meminta saya
membimbing mereka. Padahal, saya sama sekali tidak memiliki basic yang
bagus dalam bahasa Inggris maupun Arab, saya hanya tipe orang yang tidak malu
untuk mencoba. Itu saja, jadi kesannya saya adalah orang yang sudah super mahir
berbicara kedua bahasa itu, padahal sama sekali tidak.
Karena bagi
saya, sepandai apapun kita dalam memahami suatu bahasa, kalo tidak pernah
dicoba, saya rasa tidak akan pernah bisa lancar. Renat sering memperbaiki
ucapan saya biar menjadi lebih baik dan benar. Mir ‘Athoullah juga sering
memberi saya masukan bagaimana suatu kalimat seharusnya saya ucapkan. Karena memang
Renat dan Mir ‘Athoullah kuliah di jurusan bahasa Arab. Begitu juga dengan
Ahmad (Libia), sering mengajari saya kalimat-kalimat baru untuk kemudian
dipraktikkan dalam percakapan sehari-hari. Ini cukup membantu saya dalam
berbahasa, meski sekarang saya sedang mengalami kondisi aneh karena sering
mencampur adukkan bahasa.
Setidaknya
bagi saya, saya menyadari itu dan berusaha untuk memaksimalkan potensi diri. Setidaknya
saya mau berusaha menyesuaikan kondisi, kapan saya harus menggunakan bahasa
tertentu dalam berkomunikasi kepada orang-orang yang ada di sekitar.
Baiklah,
sekian curhat saya hari ini, saya mau istirahat. Selamat menikmati liburan awal
tahun, kawan. Semoga bisa memberi semangat untuk kemudian melangkah maju
setelah menjalani liburan bersama orang-orang yang tercinta. Insha Allah saya
akan terbang ke Lombok tgl 4 sampai tgl 9 Januari. Selamat berlibur.
Kebayang deh gimana ribetnya dengan aneka bahasa itu.
ReplyDeleteSemoga nggak pusing dengan campuran bahasanya ya.
siapp :)
Delete