Pantai Linau-Kab.Kaur-Bengkulu
Sebagai anak desa, tentu saja saya
berkenalan dekat dengan yang namanya sawah. Saya suka bermain di sawah saat
pulang sekolah, masih lengkap dengan seragam sekolah. Tidak jarang saya pulang
dengan seragam yang sudah penuh lumpur dan bau apek. Ibu tidak pernah marah,
palingan ibu cuma bilang, “lain kali, kalo mau maen sama temen, ganti pakaian
dulu,” udah gitu aja. Sekarang saya baru mengerti mengapa ibu selalu membiarkan
anaknya bermain bebas di alam bebas, tanpa pernah marah atau bahkan khawatir akan
terjadi apa-apa. Kenangan demi kenangan keindahan masa kecil itu ternyata mampu
saya ingat sampai sekarang.
Saya dan teman-teman rasanya sudah
memiliki jadwal tetap selepas sekolah, kalo tidak maenan di sawah belakang
rumah, ya mandi di bendungan yang juga tidak jauh dari rumah. Lengkap, bukan? Setelah
selesai bermain lumpur, mancing, kejar-kejaran, maen petak umpet, dilanjutkan
dengan mandi di sungai, kurang apa, coba? Oh jangan tanya betapa bahagianya
saya dengan kebebasan bersama alam raya yang begitu indah. Mungkin kebebasan
bersama alam seperti ini tidak akan saya dapatkan jika saya lahir di kota
besar.
Saya suka melihat nelayan yang sedang sibuk dengan perahunya.
Dulu, selain suka bermain di sawah
dan sungai, saya juga suka bermain di pantai, menunggu air laut surut kemudian berlarian
ke tengah sambil mencari karang-karang yang berbentuk lucu untuk dibawa pulang
ke rumah. Mandi tentu saja sudah menjadi hal wajib kalo sudah ke pantai. Nggak keren
rasanya kalo sudah di pantai dan nggak mandi, itu sama saja sudah beli makanan
tapi malah nggak dimakan, mubazir, kata saya saat itu. Nggak ada khawatir kulit
akan menjadi hitam dan belang kayak harimau, masa bodoh amat, yang penting saya
bahagia menjalani semua itu bersama teman-teman.
Memancing adalah rutinitas wajib saat
bulan ramadhan. Saya dan teman-teman suka pergi memancing mulai pagi hingga
menjelang maghrib. Kami membunuh waktu akhir pekan atau libur sekolah dengan
pergi bersama-sama ke sungai untuk mancing. Sebelum mancing, kami terlebih
dahulu mencari cacing di belakang rumah untuk dijadikan sebagai umpan. Biasanya,
saat pulang ke rumah sudah menjelang adzan maghrib, jadi kami bisa langsung
mandi, kemudian siap-siap berbuka puasa.
Masjid depan rumah
Dulu, setiap habis ashar, saya dan
teman-teman satu kampung sudah berkumpul rame di langgar yang berada di sebelah
masjid. Di sanalah kami belajar mengaji dengan Abang Nur, namanya. Saya bisa
dibilang menjadi murid kesayangannya saat itu. Terbukti, ketika ada beasiswa
untuk sekolah di kota, saya yang diberi rekomendasi oleh beliau untuk
berangkat. Ah, masa kecil yang begitu indah, bukan?
Sawah, sungai, pantai, adalah
tempat-tempat yang akan selalu saya sukai bahkan sampai hari ini. Semua tempat
itu memiliki arti yang begitu besar bagi saya. Saya suka menghabiskan waktu di
pinggir sawah bersama ayah. Ayah sering menggendong saya saat berangkat ke
sawah dan membiarkan saya berpanas-panasan di tengah sawah dengan sebuah bambu kecil
yang saya gunakan untuk mancing. Saya akan berteriak kencang ke arah ayah
ketika pancingan saya mendapat ikan. Ibu akan tersenyum lebar ketika melihat
saya bahagia dengan kesenangan saya kala itu.
Makan goreng ikan teri sambel ijo
adalah makanan favorit saya ketika panen raya. Saya suka merengek manja di
samping ibu agar dibuatin menu favorit saya ini untuk makan besok siang. Biasanya
panen raya adalah menjadi ajang kumpul keluarga besar, karena ibu mengajak
keluarga besar untuk ikut panen raya di sawah. Disinilah letak kedekatan satu sama
lain. Ibu dan Ayah termasuk orang yang sangat peduli dengan kondisi
saudara-saudaranya. Sering kali Ibu dan Ayah menjadi tumpuan keluarga yang
lain, dan keduanya tetap berusaha membantu mereka dengan sebaik mungkin, meski
sebenarnya kehidupan kami jauh dari kata kaya. Di sinilah kekaguman saya akan
sosok keduanya. Ayah dan Ibu adalah dua sosok yang berbeda. Ibu merupakan satu
sosok yang begitu vokal kalo berbicara, sedangkan ayah adalah satu sosok yang
sangat hemat berbicara. Justru itulah yang membuat mereka terlihat saling
melengkapi satu sama lain.
Hari ini saya sedang merindukan
suasana kampung halaman, merindukan derai tawa ayah dan ibu. Merindukan kebersamaan
saya dengan adik dan kakak, merindukan kakek yang sudah semakin menua, dan
tentu saja saya merindukan sawah, sungai dan juga panti yang menjadi tempat
bermain saya sejak kecil.
Hidup kita memang terus melaju,
perubahan adalah sebuah kepastian. Kita semakin beranjak dewasa, menjalani
jalan hidup yang sudah kita pilih, namun tetaplah percaya bahwa di mana pun
kita hidup, selalu ada rindu akan kampung halaman, mungkin itu cara Tuhan
mengajarkan kita akan indahnya sebuah kenangan. Kita tidak bisa kembali ke masa
lalu, bukan? Maka lakukanlah yang terbaik atas setiap kesempatan yang Tuhan
berikan pada kita. Berjalanlah dengan damai, yakini bahwa bahagia adalah milik
semua orang.
Comments
Post a Comment
Jangan Lupa Tinggalkan Komentarnya Gan