Sabtu, 29 November 2014
Rasanya weekend atau tidak
sama saja bagi saya. Nyatanya, hari ini saya tetap ke kampus, bawa buku
seabrek-abrek gitu, masuk ke perpustakaan, melanjutkan penulisan makalah yang
belum selesai. Minggu ini saya menulis tiga makalah, maju presentasi dua
makalah, revisi satu makalah dan hari Sabtu yang seharusnya buat santai alias
bermalas-malasan, itu hanya mitos belaka. Yupz, I have to finish my papers.
Setelah dirasa cukup, otak saya sudah
mumet alias pusing, saya mengirim pesan ke renat.
“Salam. Apa kabar? Apa yang kamu
lakukan akhir pekan kali ini?”
“Salam. Saya sedang istirahat seperti
biasa, apa yang kamu lakukan?” jawab Renat kemudian.
“Saya baru pulang dari perpustakaan
seperti biasa.”
Akhir-akhir ini memang sebisa mungkin
saya menggunakan Bahasa Indonesia dengan Renat, karena dia juga sedang berusaha
belajar Bahasa Indonesia, lagi rajin-rajinnya belajar.
Habis ashar, saya pergi ke kampus
satu, saya lihat Renat di masjid, sedang membaca buku, sambil memegang sebuah
kamus Arab-Rusia dan sambil memainkan pulpen berwarna biru. Saya abaikan
sejenak, kemudian baru saya tegur.
Lepas maghrib, Renat berbisik, karena
yang lain sedang berdzikir.
“I’m going to my room now,”
“Ok, I will meet you after reading
qur’an.”
Setelah membaca kurang lebih setengah
juz, saya ke kamar Renat dan disinilah dimulai perbincangan tentang etika para
perokok. Dan ini berlanjut setelah isya. Seperti biasa, setelah isya kami makan
malam di salah satu rumah makan di depan kampus, kemudian disinilah ada kejadian
yang membuat saya deg-degan. Renat diam, terlihat gelisah.
“What’s wrong?”
“Look at him, he is smoking and you
know I don’t like this.”
“so?”
“Adribuhu (saya akan memukulnya)”
jawabnya sambil berdiri, kemudian menghampiri seorang bapak yang sedang
merokok. Saya sudah deg-degan kalo beneran dia bakalan mukul bapak tersebut. Saya sudah berdiri, bersiap diri
jika sesuatu yang tidak baik terjadi. Dan ternyata, dia menunduk, sambil
berusaha berbicara bahasa Indonesia sebaik mungkin di hadapan bapak tersebut.
“Bapak, bisa tidak bapak berhenti merokok,
saya tidak suka dengan rokok,” ucap Renat sambil terbata-bata, dan saya
mengelus dada, melihat reaksi bapak tersebut yang manggut-manggut tanpa berucap
sepatah katapun.
“See, it’s easy to ask him stop smoking,”
“well done, bro.”
Perbincangan kami makin berlanjut,
ada satu hal yang kemudian menurut saya memang betul. Renat bilang, mungkin
saja mereka merokok karena menganggap bahwa orang-orang yang tidak merokok
tidak masalah dengan itu semua. Karena tidak banyak orang yang berusaha
mengingatkan mereka, sehingga hal itu dianggap diperbolehkan, padahal ini
adalah tempat umum yang seharusnya tidak dijadikan tempat merokok. Maka itulah
pentingnya kita saling mengingatkan, tapi tentu saja dengan cara yang baik.
Saya terdiam sejenak, mencoba untuk
berpikir sejenak. Betul memang, etika bagi para perokok memang masih jauh dari
kata baik. Kesadaran untuk memahami mana saja tempat yang boleh untuk merokok
masih sangat minim, kesadaran untuk mengerti bahwa tidak semua orang suka berada
di sekeliling orang yang merokok, dan kesadaran tentang bahayanya merokok juga
masih sangat minim. Atau bisa jadi sebenarnya mereka sudah tahu tentang
tempat-tempat yang boleh merokok, tentang bahaya merokok, dan tentang
orang-orang yang terganggu dengan kehadiran perokok di tempat-tempat tertentu.
Saya bukan tipe orang yang membenci
orang yang merokok, saya hanya tidak suka jika mereka merokok di tempat yang
memang seharusnya bebas dari asap merokok. Ada satu pengalaman yang menurut
saya sangat baik untuk ditiru oleh para perokok di tanah air. Ketika saya
sedang liburan di Semarang, saya stay di hostel, berbentuk dormitory, alias
gabung sama sekian banyak orang. Kebetulan saya sekamar dengan beberapa orang
dari Belanda. Ketika makan malam, mereka mau merokok, sebelum merokok, salah
satu di antara mereka bertanya terlebih dahulu apakah saya merokok atau tidak,
dan saat tahu saya tidak merokok, tidak ada satu pun yang merokok, jika mereka
ingin merokok, mereka akan ke belakang, menyendiri agar bisa merokok dan tidak
mengganggu yang lainnya.
Coba lihat di Negara kita, orang
seenaknya merokok di mana saja, bahkan sangat abai terhadap aturan-aturan yang
sudah dibuat. Di Negara kita bukan karena tidak ada aturannya, ada aturan yang
sudah dibuat, tempat-tempat yang harusnya bebas asap rokok. Aturan itu ada,
namun realisasinya yang tidak ada, kontrolnya yang tidak terlihat. Aturan
seolah hanya cukup tertulis saja dan cukup berakhir sampai disitu saja. Saya
tahu, ada banyak kampus yang sudah menerapkan aturan bebas asap rokok, ada
banyak orang yang berusaha untuk menerapkan aturan itu sebaik mungkin, namun
tidak sedikit pula orang yang abai akan peraturan itu, sehingga Negara kita
adalah surganya industri rokok yang jelas-jelas berbahaya.
Bahkan, kita sering melihat seorang
bapak yang merokok di depan keluarganya, istri, anak-anaknya yang jelas-jelas
tidak merokok, tapi dia santai saja merokok di hadapan mereka. Inilah realita
yang ada di sekitar kita, yang menjadi PR besar bagi kita semua, bagaimana mewujudkan
kondisi yang baik, dimana antara perokok dan tidak terjadi saling pengertian,
sehingga tidak ada yang merasa terganggu dengan itu semua.
Indonesia seolah menjadi tempat
paling bebas bagi para perokok, dan juga surga bagi industri rokok. Maka sekarang
bagaimana usaha kita mengedukasi generasi kita agar memiliki kesadaran akan
bahaya rokok ini. Miris melihat di sekeliling kita banyak anak-anak yang sudah
menjadi pecandu rokok, bahkan beberapa waktu lalu menjadi headline dunia
internasional tentang seorang balita yang menghabiskan rokok dua bungkus
perharinya dan menjadi bahan tertawaan dunia sekaligus menjadi kekhawatiran
yang luar biasa akan hal ini. Maka disinilah peran kita selaku orang tua, untuk
bisa memberikan pemahaman sekaligus teladan yang baik bagi generasi kita.
Sekadar mengutuk tentu saja tidak
akan menghasilkan apa-apa, do something meskipun itu hanya kecil. Mari
bersama kita berusaha mewujudkan Indonesia yang nyaman.
Comments
Post a Comment
Jangan Lupa Tinggalkan Komentarnya Gan