Sejak awal saya di UIN Malang, saya
merasakan butuh dengan bahasa Arab, akhirnya saya sengaja mengambil les private
dengan salah satu mahasiswa asal Libia, namanya Ahmad. Dia mengajari saya
bahasa Arab di kampus pada hari Senin dan Rabu. Sebagai imbalannya, saya
mengajarinya percakapan sederhana dalam bahasa Inggris, karena sebagian besar
mahasiswa-mahasiswa dari Timur Tengah tidak bisa berbahasa Inggris. Saya merasakan
perubahan yang cukup signifikan dalam berbahasa Arab. Awalnya, saya sama sekali
tidak berani berbicara, kini sudah mulai berani berbicara dan sedikit demi
sedikit mulai merasakan perubahan dalam kemampuan memahami literatur berbahasa
Arab.
Setelah hampir 3 bulan bergaul dengan
international students dari berbagai macam Negara, terutama yang di
pasca sarjana, meski tidak sedikit juga yang saya kenal di tingkat bachelor,
ada satu pertanyaan yang kemudian mengusik hati saya, apakah tidak ada
persiapan bahasa Indonesia bagi mahasiswa internasional? Saya merasakan aneh,
karena nyatanya mereka banyak yang tidak bisa berbahasa Indonesia, bahkan saya
sering menjadi penerjemah bagi mereka, semisal ketika dia ke Bank, rumah sakit,
bengkel, berbelanja dan masih banyak lagi kesempatan yang lain. Sampai separah
itu.
Saya membandingkan dengan Negara-negara
lain, yang mewajibkan international students untuk bisa berbahasa sesuai
dengan bahasa yang dipakai di Negara tersebut, saya ambil contoh di Inggris,
untuk bisa belajar disana tentu saja harus bisa bahasa Inggris, di Jerman,
untuk bisa belajar disana, tentu harus bisa bahasa jerman, bahkan bahasa jerman
memiliki tingkatan-tingkatan dalam tes bahasa sebagai syarat untuk bisa kuliah
disana, begitu juga dengan Rusia yang juga menerapkan persiapan bahasa.
Pertanyaan saya tentang persiapan
bahasa Indonesia bagi mahasiswa asing saya ajukan dalam sebuah diskusi di
kelas, pada materi tentang program-program yang ada di Pasca sarjana. Kemudian saya
bertanya ke Renat, berapa lama dia persiapan bahasa sebelum memulai kuliah, dan
dia menjawab bahwa dia mengikuti persiapan bahasa selama dua bulan dan itupun
tidak efektif. Well, pantas saja Renat sampai hari ini masih susah
berkomunikasi dalam bahasa Indonesia.
Saya sering mengajari Renat berbahasa
Indonesia, biasanya dia membaca buku percakapan dalam bahasa Inggris kemudian
meminta saya menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kadang dia berusaha
berbicara bahasa Indonesia, kadang jika ada hal yang tidak dia mengerti, dia
mengirim voice message dan meminta saya menerjemahkan ke dalam bahasa
Arab atau Inggris. Ribet, kan?
Menurut analisa sederhana saya,
dirasa perlu bagi mahasiswa internasional di pasca sarjana UIN Malang untuk
bisa berbahasa Indonesia, setidaknya mereka tidak bergantung kepada masyarakat
lokal dalam keseharian karena kendala bahasa. Jika dibandingkan di tingkat
sarjana, saya melihat perbedaan yang sangat mencolok dengan pasca sarjana. Di tingkat
bachelor, teman-teman International students bisa berbahasa
Indonesia dengan baik, bahkan ada yang menulis skripsi dalam bahasa Indonesia
dan bisa berkomunikasi dengan bahasa Indonesia sangat baik, it’s amazing
dan saya bangga jadinya, melihat mereka belajar sedemikian rutin untuk bisa
berbahasa Indonesia.
Ada satu kejadian yang menurut saya
rada kasihan, ada seorang teman di pasca sarjana, anak luar, dan dia berniat
menulis tugas akhir tentang aturan-aturan investasi di Indonesia, sedangkan literatur
kebanyakan dalam bahasa Indonesia dan dia tidak berbahasa Indonesia. Dia meminta
saya bertemu dengannya dan berharap saya bisa membantu dia menerjemahkan sekian
banyak literatur itu ke dalam bahasa Arab. Really? Itu sama saja nyuruh saya
bikin tesis buat dia, deh. Ditambah lagi, dia belum punya peta konsep,
bagaimana konsep thesis yang mau dia buat, saya cuma diminta membantu
dia mengumpulkan sekian banyak literatur kemudian memilah dan memilih mana yang
mau diambil sebagai rujukan dan selanjutnya diterjemahkan ke dalam bahasa Arab
(ini salah orang deh kayaknya, lah saya baru belajar bahasa Arab malah disuruh
nerjemahin *tembok mana tembok* jedotin kepala*).
See? Sedemikian parahnya, bukan? Maksud saya begini,
harusnya ada persiapan bahasa yang baik bagi international students
terutama yang dari Negara-negara yang memang masih asing dengan bahasa
Indonesia. Ini tentunya sangat membantu, karena materi kuliah juga banyak yang
harus menjadikan buku-buku berbahasa Indonesia sebagai rujukan yang dirasa
perlu untuk dikaji. Ini Negara Indonesia, bukan Negara mereka, dimana literatur
tentu saja lebih banyak berbahasa Indonesia ketimbang bahasa lain.
Saya merasa tidak adil kalo begini,
ketika kita ke Negara mereka, kita harus mengerti bahasa mereka baru bisa
mengikuti perkuliahan, sedangkan ketika mereka kesini, tidak ada kewajiban bagi
mereka untuk bisa berbahasa Indonesia. Entah ini hanya sekadar perasaan saja
atau juga dirasakan oleh yang lainnya. Saya melihat ada semacam jarak yang
membentang antara international students dengan mahasiswa dalam negeri,
salah satunya terkendala di bahasa. Karena tidak semua mahasiswa dalam negeri
bisa bahasa arab dan Inggris. Di satu sisi ini sebagai tantangan. Tapi kan
mereka yang datang kesini, mengapa kita harus mengikuti bahasa mereka, harusnya
mereka dong yang berbahasa Indonesia meski kita bisa bahasa internasional.
Suatu ketika saya bilang ke Renat,
bagaimana kalo saya tidak mau berbahasa Arab dan Inggris, if you wanna talk
to me, speak in bahasa. Kalian tentu tahu bagaimana akhirnya, komunikasi
tidak berjalan lancar alias amburadul karena saya ngotot berbahasa Indonesia
meski saya bisa berkomunikasi dengan Arab maupun Inggris dengan dia. Well,
semacam dilemma, ya.
Silahkan simpulkan sendiri, saya mau
lanjutin belajar buat presentasi ntar siang. Sampai jumpa di curhatan saya
selanjutnya. #menghilang.
Comments
Post a Comment
Jangan Lupa Tinggalkan Komentarnya Gan