Inferioritas merupakan kebalikan dari
superioritas (rasa percaya diri yang terlalu tinggi). Inferioritas itu adalah
minder atau rasa rendah diri. Inferioritas adalah perasaan yang relatif tetap
(persistent) tentang ketidakmampuan diri atau munculnya kecenderungan untuk
merasa kurang atau menjadi kurang sehingga tidak bisa menunjukkan kebolehan
secara optimal.
Baiklah, tulisan ini tidak akan
menggunakan bahasa ilmiah layaknya tugas paper akhir semester yang
sebentar lagi akan saya hadapi. Fiuhh..
Bukan rahasia lagi, betapa banyak
wanita yang mengidamkan memiliki seorang suami yang punya tampang bule bak
artis Hollywood di layar kaca. Rasanya, memiliki seorang suami yang punya
tampang bule sudah menjadi semacam keinginan yang demikian hebat dan menjamur
di kalangan wanita Indonesia, meski tidak semuanya demikian.
Saya sebenarnya tidak pernah ada niat
menulis semua ini. Kalo tidak karena perbincangan antara saya, Renat dan ‘Athoullah
di asrama kemarin malam, mungkin saja saya tidak akan pernah menulis ini,
karena saya tahu tidak semua wanita Indonesia mendambakan suami yang punya
tampang bule. Atau karena tidak semua orang yang memiliki suami bule hanya
karena ingin memperbaiki keturunan alias ingin punya anak yang punya tampang ke-bule-bule-an.
Karena nyatanya ada yang memang menikah dengan bule karena sama-sama menempuh
study di Universitas yang sama kemudian jatuh cinta dan menikah.
“Ada banyak wanita Indonesia yang
ingin menikah dengan saya,” ucap ‘Athoullah yang sedang menyelesaikan S2 nya di
UIN Malang. Padahal tampangnya tidak seperti seperti orang eropa, lebih ke
timur tengah.
Saya melirik Renat yang sedang makan
sate lengkap dengan aneka camilan lain di sampingnya. Memahami apa yang saya
maksud, Renat pun memiliki pengalaman yang sama. Entah sudah berapa banyak
wanita yang menurut mereka kadang membuat risih dan tidak nyaman. Jika bule
yang sukanya mempermainkan wanita, rasanya sudah sekian banyak yang akan
menjadi korban oleh Renat maupun ‘Athoullah, untungnya mereka adalah bule yang
shaleh, yang sedang mempelajari Bahasa Arab di UIN Malang.
Ini hanyalah satu contoh kecil dari
sekian banyak orang yang sudah datang ke tanah air ini, dan merasakan hal yang
sama, bahwa kadang penduduk lokal terlalu mengagungkan orang-orang yang punya
tampang “bule”, seolah mereka adalah artis papan atas yang perlu untuk
dielu-elukan kehadirannya, perlu diteriaki untuk diminta foto bersama, seolah memiliki
foto bersama “bule” adalah sebuah keberhasilan hebat. Kenapa orang-orang lokal sedemikian
merendahnya di hadapan mereka? Apakah mereka memang memiliki derajat yang lebih
tinggi dari kita? Tidak demikian, bukan? Lantas mengapa kita kadang merendahkan
diri kita sendiri hanya karena berhadapan dengan seseorang yang punya
embel-embel “bule”.
Dua hari yang lalu, seorang teman
mengunjungi saya di asrama, kebetulan saya memang teman baik dengan Renat. Saya
ajak teman saya ke kamar Renat, karena saya harus pamitan dulu sebelum pergi
bersama teman yang menemui saya. Saya meletakkan tas di kamar Renat. Saat tahu
bahwa teman-teman di kamar adalah “Bule”, muncullah keinginan teman saya ini
untuk foto bareng dengan Renat setelah pertemuan saya dengannya. Saya pun
langsung komentar,
“Please, nggak usah, ngapain juga sih
pengen foto ama dia? Jangan bikin malu bangsa sendiri deh. Saya yang setiap
hari ketemu dia nggak pernah foto bareng ama dia, nggak ada niatan juga,
kecuali dalam momen tertentu yang memang dirasa perlu. Kalo cuma untuk share di
media sosial punya foto bareng bule, duh, please, deh. Don’t do that.”
Ok, saya tahu komentar saya itu cukup
tidak bijak, karena mungkin saja ia punya alasan lain selain alasan bangga bisa
punya foto bareng ama “bule”. Saya punya banyak foto teman-teman bukan karena
saya bangga karena punya teman mereka, tapi lebih kepada hobi saya mengabadikan
kebersamaan saya dengan teman-teman manca Negara. Itu pun jarang ada saya ikut
foto bareng mereka.
Saat sedang berada di Bali, kurang
lebih 9 hari saya liburan akhir tahun 2013 di Bali, saya kadang memandang rendah sekelompok anak
muda yang berlarian menghampiri bule, kemudian minta foto bareng ama bule,
setelah foto bareng kemudian berkerumun melihat hasil fotonya, dan saya yakin setelah
itu akan di share di media sosial karena sudah berhasil memiliki foto bersama
bule, kemudian teman-temannya bakalan komentar kalo mereka keren bisa foto
bareng bule, kemudian fotonya kemungkinan juga bakalan dipasang di seabrek
jejaring sosial mereka. Duh.
Saya dan Renat sering berbincang
tentang ini, seperti cerita dia yang setiap ke kampus harus naik angkot dan
banyak mengalami berbagai macam hal unik karena dia adalah seseorang yang
berwajah “bule” dan memiliki kulit kemerah-merahan. Dan biasanya saya cuma komentar,
“Kalo ada yang minta foto bareng,
cukup senyum aja, silahkan diladeni kalo memang mau, kalo nggak ya cukup senyum
dan berlalu pergi.”
Biasanya Renat cuma nyengir mendengar
komentar saya.
Di dunia kerja, orang asing memiliki
gaji yang lebih tinggi ketimbang orang lokal, meski mereka memiliki tingkat
pendidikan yang sama dan kinerja yang juga sama. Ini juga merupakan sebuah
kejanggalan. Padahal, tidak sedikit juga orang lokal yang memiliki kemampuan
yang lebih baik dari kaum ekspatriat ini. Hanya karena mereka adalah tenaga
kerja asing, lantas mereka digaji sedemikian tinggi, bahkan jauh bila
dibandingkan dengan orang-orang lokal. Ini merupakan sebuah fenomena yang sudah
menjamur di tengah-tengah kita.
Apakah orang yang memiliki tampang ‘Bule”
lantas artinya mereka lebih “hebat” dari kita? Lebih pintar? Lebih kaya? Tidak menjadi
jaminan, bukan.
Kadang orang kita beranggapan bahwa
orang-orang “bule” yang datang ke tanah air adalah orang yang kaya raya, yang
sedang liburan dan menikmati keindahan Indonesia. Padahal, itu semua tidak
menjadi jaminan. Banyak yang kerjanya cuma biasa-biasa saja. Pola pikir ini
yang sebenarnya perlu dirubah.
Ketika sedang berada di Jogja, saat
saya, Ansi dan Jonash yang dari Finland sedang liburan bersama, saya sampai
malu sendiri dengan kedua teman saya ini, saat mereka bercerita betapa warga
lokal terkadang “rasis” tiap kali bertemu dengan orang asing. Dan saya hanya
berkomentar tentang kemungkinan adanya rasa ingin tahu warga lokal tentang para
turis mancanegara.
Merasa demikian, saat berlibur ke
jogja untuk kesekian kalinya, saya akhirnya memutuskan untuk berbahasa Inggris
saat mengunjungi candi Borobudur, dan kalian tahu apa yang terjadi? Hanya karena
saya berbahasa Inggris, kemudian ketika ditanya saya jawab bahwa saya berasal
dari Negara tetangga, yaitu Malaysia, sekelompok anak mudah berkerumun dan
minta foto bareng saya, merasa aneh? Banget. Setelah mereka minta foto bareng
dengan saya yang jelas-jelas nggak ada tampang bule, saya menghampiri mereka
dan menjelaskan bahwa saya bukan dari Malaysia dan saya bisa berbahasa
Indonesia, mereka pun langsung loyo, alias nggak se-excited saat tahu bahwa
saya adalah orang asing.
Saat makan malam bersama Renat di
kantin asrama, semua mata seolah tertuju pada dia, dan saya seolah hanya
makhluk alien yang keberadaannya tidak dianggap. Semua telinga seolah sedang
berusaha mendengarkan apa yang sedang saya perbincangkan dengan Renat, dan saya
pun risih.
Saat masih menjadi Guru, saya beberapa
kali menjadi pendamping “bule” yang diundang oleh pihak sekolah untuk mengajar
anak-anak agar lebih berani dalam berbahasa Inggris dan saya menyaksikan riuh
yang luar biasa saat anak-anak minta foto satu persatu atau bahkan rame-rame
bersamaan dengan teman masing-masing, dan saya hanya terdiam di pojokan, sambil
berusaha menertibkan suasana.
Intinya begini, tidak perlulah kita
sedemikian mengagungkan mereka yang punya tampang “bule”, cukup bersikap baik,
sopan, dan tunjukkan pada dunia bahwa kita adalah Negara yang bermartabat,
bukan rendahan, dimana wanitanya dijadikan pelampiasan nafsu para “bule” karena
mereka beranggapan bahwa mendapatkan wanita lokal adalah semudah menjentikkan
jari di hadapan para wanita. Sementara di Negara mereka sendiri, belum tentu
ada yang melirik mereka, sedangkan disini mereka diagung-agungkan sedemikian
rupa.
Coba bayangkan kalo kita yang berada
di Negara mereka, apa mereka mengelu-elukan kita seperti ketika mereka datang
ke Negara kita? Belum tentu, bukan. Atau bahkan bisa saja keberadaan kita sama
saja dengan tidak adanya kita di tengah-tengah mereka.
Kita adalah bangsa yang cukup besar,
kita bisa bermartabat di mata dunia ketika kita berusaha untuk menghargai apa
yang ada di negeri ini. Jangan malah terbalik, kita kadang lebih menghargai
orang asing ketimbang warga Negara yang menjadi teman kita hidup di Negara kita
tercinta.
I know how it feels. I myself cringe when people start to take pictures of me when I start to speak in English -- but in most days when I use Bahasa Indonesia -- people treat me like a second-class citizen. Not that I yearn to be treated like a VIP -- but I cringe to see people treat me as that because they think I am a local. There is a postcolonialism work that puts all these into one sentence: we are so good at oppressing our own people that we do not need the White Master to be around.
ReplyDeleteYour post inspired me to write my own reflection as a brown 'bule' in Indonesia: https://durianwriter.wordpress.com/2015/12/07/brown-bule-indonesia/
thank you for reading my post :)
DeleteKdg lucu juga ya ngelihat kelakuan orang-orang sini terhadap orang asing (bule) yg terlalu mendewa-dewakan bahkan sampai overdosis tidak karuan. Saya jadi inget dengan seseorang waktu jalan bareng ke pulau dewata, bilangnya mau ketemu dengan temannya, eh ga taunya janjian dengan bule yg notabene itu bukan temannya dan baru kenal lewat forum couchsurfing melalui fitur CS Hangout. Kekonyolan dan kurang ajarnya orang tsb sangat terlihat jelas waktu motor baru parkir dan mesin motor blum juga mati, dia langsung turun dari motor dan ninggalin saya. Saya cuma bisa melongok kaget, dia pergi berlalu gitu ja, clingak-clinguk sambil sibuk dengan hp nya seperti mencari seseorang, dan saat itu saya hampiri tp tidak di gubris, dia asyik sendiri seperti orang autis main hp sambil clingak-clinguk, lalu saya suruh duduk dlu di salah satu restoran di seminyak, ttp kelakuannya msh seperti itu dan hingga akhirnya salah satu bule datang, dan wow sekali ketika bule itu datang, sikapnya langsung berubah, tidak lagi main hp dan sibuk ngobrol berdua, sementara saya yang duduk di sampingnya tidak di gubris sama sekali, akhirnya saya pun pergi menjauh. Buat saya hal itu sudah sangat keterlaluan sekali, terlalu menggebu-gebu demi sosok bule yg jelas-jelas bukan temannya baru kenal lewat obrolan fitur CS Hangout kemudian ketemuan, dan konyolnya saya sudah kayak jongosnya aja buat nganterin tuh orang ketemuan dengan bule tersebut. Sekolah tinggi tapi IQ jongkok, selidik punya selidik ternyata terlalu obsesi dengan sosok bule yg membuat daya nalar jadi tolol akut stadium 4. Dan saat itu juga, saya putuskan untuk misah dan tidak jalan bareng lagi. Kebodohan berikutnya adalah esok harinya nemuin bule yg lain lagi yg baru dikenal lewat forum couchsurfing juga. Orang kalo udah terobsesi dgn bule (bule hunter), kebodohannya akan semakin terlihat jelas. Dan gobloknya lagi bukannya mikir malah sok pinter.
ReplyDeleteIni pengalaman saya sendiri bro, dari awal jalan bareng saya juga sudah curiga, dia ngajakin saya ke pulau dewata ada maksud terselubung, dan benar saja hal tersebut terjadi, tanpa kompromi lagi, langsung memutuskan untuk berpisah, buat apa jalan bareng kalo cuma jadi jongos sebagai jembatan buat nganterin dia nemuin tuh bule-bule yang baru di kenalnya yang jelas-jelas bukan teman, kenal juga belum. Ya begitu deh klo orang udah terjangkit sindrom inferioritas, kegoblokannya terlihat jelas, buat mikir juga kagak bisa karena sudah tertutup oleh obsesi rasa bloonnya, hehehe.....
i know how you feel, bro :D
Delete