Islam adalah agama Rahmatan Lil’alamin,
di dalamnya telah diatur sedemikian rupa agar seseorang yang memeluk Agama
Islam bisa menjalani kehidupan ini dengan baik. Ketika seseorang mengaku
sebagai seorang “Muslim” maka hendaknya ia memiliki kesadaran untuk melakukan
ajaran-ajaran Allah SWT. ke dalam kehidupan sehari-hari. Dalam artian tidak
hanya sekadar menjadi seorang “Muslim” yang hanya menjadikannya sebagai sebuah
identitas. Ada banyak teman-teman saya yang dari belahan dunia Barat yang masuk
ke dalam Islam hanya karena ingin menikah dengan seorang perempuan yang Muslimah,
setelah menikah, perilaku beragama tidak berubah, hanya identitas keagaamaan
saja yang berubah.
Ada banyak teman saya yang dari Barat
yang mencoba untuk membandingkan Indonesia yang negaranya mayoritas Muslim
dengan Negara mereka yang muslimnya minoritas. Menurut mereka menjadi Muslim mayoritas
nyatanya tidak menjadikan sebuah Negara itu baik dan berkembang. Contohnya sudah
jelas, Indonesia dan Negara-negara Islam lainnya.
“Kami penganut Kristen, di Negara kami,
muslim adalah minoritas. Kami bukan Muslim, tapi nilai-nilai keislaman jelas
terlihat di Negara kami. Kita ambil contoh kesadaran tentang berlalu lintas,
kesadaran untuk menjaga kebersihan, kesadaran untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan, dan lain sebagainya. Kami tidak menemukan itu di Negara-negara
Muslim, paling di Iran yang sudah mampu membuat satelit sendiri, sudah berhasil
membuat kapal yang tidak mampu di deteksi oleh radar Amerika Serikat, sudah
bisa membuat nuklir. Selain Iran, kita bisa melihat Dubai yang semakin
berkembang pesat, sedangkan Negara-negara Islam lainnya terkesan tenggelam. Peradaban dunia sekarang dipegang oleh Barat. Timur
masih merangkak untuk maju dan tidak lepas dari bayang-bayang Amerika.”
Begitulah komentar mereka tentang Negara
Islam. Kita memang tidak memungkiri apa yang mereka katakan tentang Negara-negara
Islam. Saat ini ilmu pengetahuan memang berkembang pesat di Negara-negara
barat. Nilai-nilai positif yang sebenarnya ada di dalam islam juga terlihat
jelas di Negara-negara barat, tentang semangat keilmuan, semangat menjaga
kebersihan, kesadaran berlalu lintas, dan masih banyak lagi yang lain. Lantas,
apa yang sebenarnya salah dengan Islam? Apakah Islamnya ataukah oknumnya? Tentu
saja bukan Islamnya yang salah, melainkan para pemeluknya yang masih memiliki
kesadaran yang rendah dalam mewujudkan keislaman ke dalam kehidupan
sehari-hari.
Di Iran, para petinggi pemerintahan
memiliki para penasihat yang terdiri dari para Ulama yang menjadi tempat
berdiskusi para pemegang kekuasaan dalam membuat sebuah kebijakan. Dalam artian,
Iran sudah berusaha untuk kembali menjalankan roda pemerintahan di Negaranya
sebagaimana yang dikehendaki oleh Al Quran. Nilai-nilai keislaman kembali
diterapkan sebagaimana dahulu, Islam pernah jaya di masa lalu.
Generasi Muslim kadang hanyut dalam bayang-bayang
kejayaan di masa lalu, saat Islam mengalami masa kejayaan yang sering kita baca
di buku-buku sejarah. Ya, generasi muda muslim kadang hanya bisa mengatakan
bahwa “Islam sudah pernah jaya, Islam memiliki kontribusi demikian besar atas
kemajuan dunia barat.” Betul, Islam memiliki peran bagi kemajuan Negara-negara
Barat. Banyak hasil dari pemikiran-pemikiran Muslim yang kemudian dipelajari,
dijadikan sebuah bidang studi, diteliti, hingga menghasilkan sumbangsi penting
bagi perkembangan ilmu pengetahun. Kita sebut saja Ibnu Sina di bidang
kedokteran, Al Kindi yang dikenal sebagai seorang Filosof, Ibnu Rusyd, dan
masih banyak lagi, dimana karya-karya mereka diterjemahkan ke dalam
bahasa-bahasa di Barat, kemudian dipelajari.
Namun, sekadar hanyut dengan kejayaan
masa lalu saja tidaklah cukup. Generasi muslim harusnya menyadari bahwa sudah
saatnya kita kembali bangkit. Ada banyak sekali pembaharu-pembaharu yang
mencoba untuk mengajak umat Islam untuk kembali bangkit, sebut saja Muhammad
Abduh yang merupakan pembaru Mesir Modern.
Jika kita kembali membaca sejarah, Nabi
Muhammad SAW. sudah mulai melakukan perluasan wilayah Muslim Arab, kemudian
dilanjutkan oleh penerusnya Abu Bakr, di masa pemerintahan Abu Bakr, di bawah
pedang Khalid Bin Walid, Islam sudah membentang di semenanjung Arab, tidak
hanya di kota-kota besar, bahkan mencapai pelosok-pelosok Negeri. Setelah Abu
Bakr Wafat, pemerintahan dilanjutkan oleh penerusnya. Ekspansi Islam semakin
meluas, Suriah, Iraq, Persia, Mesir dan lain sebagainya masuk ke dalam
kekuasaan Islam. Ketika masa Ali, ekspansi Islam relatif terhenti karena
banyaknya konflik internal di dalam tubuh Islam. Perluasan dilanjutkan oleh
dinasti-dinasti selanjutnya. Islam sampai pada Spanyol dan Sisilia dan terus
berkembang, hingga akhirnya terjadinya perang salib dan Islam kemudian kembali
ke masa dark age, meninggalkan masa golden age.
Kekuasaan Muslim Arab runtuh,
sedangkan Dunia Barat mengalami Renaisans atau kebangkitan kembali,
menjadi zaman modern kemudian lahirnya ilmu pengetahuan yang berbasis
rasionalisme dan empirisme.
Itulah sejarah. Lantas bagaimana
seharusnya kita bersikap? Apakah sebagai generasi Muslim kita hanya cukup
berdiam diri, membanggakan kejayaan masa lalu? Tentu tidak cukup demikian.
Mental para generasi penerus perlu diubah. Gaya hidup generasi muslim yang
berkiblat ke dunia Barat perlu dikaji kembali, gaya hedonisme dan sebagainya
perlu diseleksi sedemikian rupa, agar para generasi tidak hanya sibuk
membanggakan kemajuan dunia barat dan bersikap lemah saat dunia barat
menjejakkan kakinya di Negara-negara Islam.
Kita
perlu kembali kepada Al Quran, mengakajinya dan menjadikannya sebagai pegangan
hidup, mengamalkan nilai-nilai kehidupan yang ada di dalamnya. Kita perlu
meniru semangat keilmuan yang dimiliki oleh tokoh-tokoh Islam terdahulu, betapa
mereka haus akan ilmu pengetahuan. Kita perlu merubah pola pikir kita yang
cenderung konsumtif. Kita perlu menanamkan kesadaran bagi generasi penerus agar
memiliki kesadaran dalam mewujudkan Islam yang sesungguhnya.
Comments
Post a Comment
Jangan Lupa Tinggalkan Komentarnya Gan