Tahun silih berganti, perjalanan
hidup saya pun kian berganti. Sejak mengundurkan diri dari Al Irsyad,
melepaskan sepotong hati disana, rutinitas keseharian saya pun ikut berubah. Biasanya,
pagi hari saya sudah harus siap-siap ke sekolah, untuk menyambut kedatangan
mereka, anak-anak yang selalu mempunyai cerita indah tersendiri. Sekarang semua
menjadi berbeda. Kini, sudah 1,5 bulan saya menjalani rutinitas yang berbeda
dari apa yang saya lakukan selama 3 tahun belakangan. Rutinitas mengajar tentu saja
sudah tidak ada lagi, yang ada hanya kesibukan dengan sederet tugas kuliah yang
meminta untuk diselesaikan.
Kini, tidak ada lagi canda tawa
anak-anak seperti saat saya masih menjadi Guru, yang ada hanya sahabat-sahabat
yang baru saya kenal dalam satu bulan terakhir dan persahabatan kami cukup
terjalin erat, saling menguatkan satu sama lain, saling membantu satu sama
lain, dan tentu saja semua kehidupan menjadi mahasiswa lagi membawa cerita
bahagia tersendiri. Teman-teman di kelas saya bisa dibilang cukup ramai, kami
21 mahasiwa yang berasal dari berbagai macam latar belakang, baik mahasiswa
dalam negeri maupun Internasional. Selain sahabat satu kelas, teman-teman di
kelas yang lain juga memiliki kesan tersendiri, hidup saya seolah Allah beri
bahagia yang meluap-luap tak terhingga. Perubahan demi perubahan yang diganti
dengan pertemuan demi pertemuan dengan lingkungan baru, sahabat baru, dan
rutinitas baru nyatanya tidak mengubah arti bahagia bagi saya.
Dalam satu minggu, saya kuliah hanya
pada hari Senin, Selasa, dan Rabu, selebihnya saya menghabiskan waktu dengan
berdiam diri di Perpustakaan, bahkan hari Minggu pun saya tetap ke
perpustakaan, melahap berbagai macam literatur yang memerlukan kesabaran
tingkat tinggi, baik karena kerumitan dalam memahami dikarenakan keterbatasan
kemampuan saya dalam berbahasa Arab dan Inggris, maupun karena banyaknya buku
yang harus saya baca. Sempat kaget dengan pola belajar yang demikian, dengan literatur
yang tentu saja tidak sama dengan saat masih Studi Sarjana tiga tahun yang
lalu. Perlu penyesuaian ekstra. Tapi saya bahagia, dikelilingi oleh
sahabat-sahabat yang luar biasa baik.
Pernah suatu ketika, kami harus
membaca buku Ira M Lapidus, sejarah sosial umat islam dalam berbahasa Inggris,
tebalnya cocok buat jadi bantal, dan saya kebagian tugas menerjemahkan satu bab
untuk presentasi keesokan harinya. Malamnya, saya iseng mengirim file yang
sudah berbentuk word ke Adik Sari yang di Inggris agar dia mau
menerjemahkannya. Namun saya menyadari, dia pasti tidak bakalan nyambung dengan
materi yang sedang saya baca, akhirnya, meski file sudah terlanjur dikirim,
saya berusaha membaca, memahami dan menerjemahkan untuk teman-teman di Kelas,
sekalian membantu mereka memahami. Ini terjadi di awal-awal perkuliahan. Disinilah
saya seperti dipecut lagi dengan rotan yang keras, dilecut lagi semangat untuk
rajin membaca literatur yang tersedia di perpustakaan.
Kata ibu, “Semakin sering kamu
membaca buku-buku berbahasa Arab dan Inggris, Insha Allah akan lebih mudah.”
Perubahan juga terjadi di pola hidup,
saya yang dulunya tidak ngekos, sekarang tinggal di kos-kosan, di kamar yang
luasnya hanya cukup untuk tempat tidur, lemari pakaian dan sebuah meja kecil. Cuku sempit memang,
tapi nyaman. Disinilah saya menjalani kehidupan, menjadikannya tempat istirahat
dari kesibukan kuliah. Dulu, saya kira kuliah S2 itu santai, ternyata sibuk,
meski sebenarnya ada juga teman yang bilang santai. Sebenarnya, kuliah S2
memang santai, akan tetap pengembangan diri dijadikan tanggung jawab personal,
jika ingin berkembang, maka silahkan mengembangkan diri dengan banyak-banyak
membaca literatur-literatur yang ada baik di perpustakaan maupun e-journal yang
tersebar di berbagai macam situs.
Ini bukan untuk pertama kali saya
hidup di kosan, saat kuliah sarjana pun sama. Namun perjuangan sekarang terasa
lebih seru, karena saya kuliah atas biaya sendiri, bukan beasiswa seperti saat
kuliah sarjana dulu. Sekarang harus pintar-pintar menghemat uang. Saya hanya
membeli buku-buku yang memang menjadi referensi wajib dan susah untuk dicari di
perpustakaan. Jika di perpustakaan ada, saya masih lebih memilih membaca di
perpustakaan ketimbang membeli, karena saya sadar diri, tidak semua bisa saya
beli. Ini cukup menghemat uang.
Rutinitas berburu buku pun cukup berkesan,
seperti saat mencari buku-buku studi peradaban Islam terbitan sekian puluh
tahun yang lalu, dan buku-buku pemikiran-pemikiran yang juga terbit sejak
sekian dekade. Cukup sulit memang, namun akhirnya bisa didapatkan, meski
kondisinya tidak lagi baru. Namun disinilah nilai seninya. Perjuangan menjadi
lebih baik benar-benar terasa.
Jarak
dari orang tua yang semakin jauh pun cukup membuat gejolak rindu yang
menyesakkan dada. Rasanya, hidup di rantau lebih lama ketimbang hidup di dekat
orang tua. Ini adalah tahun ke 14 saya merantau. Dan dalam satu tahun, saya
hanya bertemu dengan orang tua pada saat Idul Fitri saja. Ditambah jarak yang
semakin jauh, harus 2 kali penerbangan untuk bisa sampai ke Bengkulu, tentu
saja menyimpan gejolak tersendiri. Namun satu hal yang selalu menjadi semangat
saya dalam belajar, yaitu dukungan Ayah dan Ibu yang tidak henti-hentinya. Di keluarga
besar Ayah maupun Ibu, baru saya sendiri yang melanjutkan Studi S2. Maklum, kami
hanyalah penduduk kampong yang diberi Tuhan semangat untuk terus belajar, baik
formal maupun formal.
Bismillah,
saya menjalani semua ini dengan baik, dan mengharap ridha Allah SWT. Semoga apa
yang saya impikan dijawab oleh-Nya. Semoga perjalanan saya menggapai impian
diberi kemudahan. Tetap sabar menjalani prosesnya demi sampai pantai harapan.
Comments
Post a Comment
Jangan Lupa Tinggalkan Komentarnya Gan