Ariq
20 Agustus 2014
Kemarin, saya mendapat BBM dari
Ibunya Tariq,
“Ariq sedih baca tulisan Ustadz di facebook. Semalem
nangis. Dia memang halus perasaannya. Dulu, waktu kelas 7, Ariq mengidolakan
Ustadz, dia banyak cerita tentang Ustadz. Ketika Ustadz jadi wali kelasnya, dia
sangat senang.”
Seketika, saya mencoba untuk
mengingat seraut wajah itu, wajah teduh nan menenangkan. Dia selalu tersenyum
tiap kali saya menyambut kedatangannya di sekolah. Dia tidak banyak bicara,
tapi saya tahu dia begitu menghormati saya sebagai gurunya. Sebelumnya, saya
memang sudah tahu, kalo dia mengidolakan saya, tapi kami jarang berinteraksi,
karena dia bukan anak di kelas saya, dan saya pun tidak mengajar di
kelompoknya. Paling kami berinteraksi pas jam istirahat atau pas jam shalat
dzuhur. Dia begitu baik, rajin membersihkan kelas, dan sangat santun.
Sore ini, saya sengaja pergi ke
sekolah untuk menemui salah satu rekan Guru, karena ada hal yang ingin saya
bicarakan. Saya tidak tahu kalo hari ini anak-anak kelas VIII jadwalnya
pramuka. Ketika saya datang, mereka berhamburan ke halaman, menarik tangan
saya, menyalaminya secara berebutan, kemudian mereka menanyakan berbagai macam
hal. Saya tersenyum, menjawab satu persatu pertanyaan mereka.
Saat saya berdiri di depan kelas,
Ariq baru saja keluar kelas, dia menghampiri saya, menjabat tangan saya dengan
hangat, kemudian tersenyum dan berdiri di samping saya. Sama seperti biasa, dia
memang tidak banyak bicara.
“Katanya kemarin nangis, ya?” Saya
menggodanya, dia tersenyum.
“Nggak, kok,” jawabnya sambil
malu-malu, kemudian teman-temannya ikut menggodanya.
“Tetap semangat, ya, jangan nangis,
Insha Allah akan diganti dengan Ustadz yang lebih baik, yang bisa memberi
kalian perhatian lebih.” Ucap saya menyemangatinya.
“Siapa yang bakalan jemput?”
“Nggak tahu, mungkin Papa, kalo
nggak, ya, Mama.” Jawabnya pelan. Tidak berapa lama kemudian jemputannya
datang, dia melepas jabatan tangannya, kemudian pergi.
“Hati-hati,” pesan saya sambil
menatap punggungnya dari kejauhan, kemudian melanjutkan perbincangan dengan
anak-anak yang lain.
“Karena Ustadz sekarang bukan Guru di
Al Irsyad lagi, jadi sekarang nggak perlu panggil Ustadz lagi, cukup panggil “Mas,
Om, atau Kakak”,” tutur saya sambil menatap mereka satu persatu. Mereka berdiri
mengelilingi saya. Mendengar apa yang saya sampaikan, mereka malah tertawa
lebar, memperlihatkan barisan gigi mereka yang putih. Saya tersenyum, kemudian
pamit.
Setelah pulang dari sekolah,
handphone saya bergetar, sebuah pemberitahun masuk. Saya membuka notification
dari facebook saya, kemudian membaca status Ariq yang sengaja menandai saya di
statusnya.
“Mungkin ini hari paling mengharukan karena saya bertemu Guru terbaik dan
mungkin ini yang terakhir.”
Saya tersenyum, kemudian mengomentari
statusnya.
“Salam. Insha Allah akan ada pertemuan-pertemuan
selanjutnya, Nak. Ust masih bakalan sering ke sekolah sebelum berangkat ke
Malang untuk memulai kuliah. Nanti bisa video call skype sama Ust, Ariq bisa
cerita banyak hal sama Ust.”
***
Anas yang pake baju merah kotak-kotak
Selepas Isya, saya pergi ke rumah
Anas, pagi tadi Ibunya telepon, memberitahu saya tentang Anas yang tidak mau ke
sekolah sejak kemarin. Ini hari kedua dia nggak mau berangkat ke Sekolah. Awalnya
Ibunya sama sekali tidak tahu alasan mengapa Anas nggak mau ke sekolah, setelah
saya ceritakan bahwa saya mengundurkan diri, barulah Ibunya paham. Ibunya langsung
ke sekolah, menemui wakil kepala sekolah level, kemudian memintanya untuk
menghubungi Anas via tlp, menjelaskan bahwa “saya pergi bukan karena tidak
sayang dengan mereka semua, tapi karena ingin menuntut ilmu. Jika ada kesempatan
bertemu, Insha Allah akan kembali bertemu.”
Anas memang tidak bisa berkomunikasi
secara verbal dengan baik, dia sangat pendiam. Dia lebih suka memendam beban
sendirian, ketimbang harus bercerita ke orang-orang terdekatnya. Makanya Ibunya
sering bingung melihat Anas yang tiba-tiba murung, nggak mau ke sekolah, nggak
mau keluar kamar, dan sederet masalah yang lain.
Tapi satu hal yang saya suka dari
Anas, dia begitu lembut dan baik hati. Di sekolah, saya dan dia memang cukup
akrab, saya sering bercanda dengannya di jam istirahat, bahkan saat saya pamitan
ke dia, dia saya beri bet nama saya yang biasa saya pakai sebagai identitas
Guru. Dia memakai identitas itu di bajunya, menutupi bet namanya. Saya cuma tersenyum
melihat tingkahnya yang dingin. Ya, dia sangat pendiam.
Saya berbincang banyak dengan Anas di
rumahnya, kemudian memberi dia penjelasan, dan juga motivasi.
“Besok mau ke sekolah, kan?”
Lama dia mengulur waktu untuk
menjawab.
“Iya,” jawabnya sambil mengangguk. Saya
tersenyum.
“Sebelum Ustadz ke Malang mau ketemu
lagi?” Tanya saya memastikan.
Dia mengangguk.
“Insha Allah Jumat pagi Ustadz bakal
ke sekolah, kok. Jadi santai aja,” ujarku sebari tersenyum dan merengkuh
pundaknya, mengusap rambutnya yang sudah mulai panjang.
Setelah berbincang banyak hal, penuh
canda dan tawa, saya pun undur diri. Anas berdiri di depan pintu, menatap
punggung saya yang semakin menjauh. Saya menoleh di kegelapan malam dan merapal
doa, semoga dia baik-baik saja. Amin.
***
Berpisah dengan orang yang kita
cintai memang berat dirasa, namun demi sebuah impian yang lebih baik, kadang
itu menjadi pilihan. Namun jarak bukanlah alasan untuk tidak menjalin hubungan
silaturahmi yang baik antara satu sama lain. Selalu ada acara untuk bisa tetap
menjalin hubungan, ditambah dengan kecanggihan teknologi yang semakin maju.
Saya terbiasa video call dengan
orang-orang terdekat saya dengan bantuan aplikasi skype di laptop dan
handphone, menghabiskan waktu bercakap-cakap, berbagi cerita, berbagi bahagia
dan berbagi apapun yang positif.
Bismillah, saya percaya, anak-anak
pun demikian, mereka akan bisa mengerti alasan saya mengundurkan diri.
Comments
Post a Comment
Jangan Lupa Tinggalkan Komentarnya Gan