Setiap kali mudik ke bengkulu, dari airport saya selalu berusaha untuk mampir ke pondok pesantren tempat saya menuntut ilmu waktu masih SMP dan SMA.
Mudik kali ini saya bermalam satu malam di pondok, bertemu dengan beberapa kawan yang masih setia mengabdi di pondok meski santrinya hanya tersisa 5 orang saja, berbeda jauh dengan kondisi 7 tahun yang lalu saat saya masih berada di pondok. Kala itu, pesantren ini merupakan pesantren terbesar dan terbaik di Bengkulu dan tentu saja termegah. Dan kini, semua tinggal cerita yang entah kapan akan kembali terulang masa kejayaannya.
Saat menunaikan shalat subuh di masjid pesantren yang juha sudah lapuk dan semakin tak terawat, saya menangis, teringat akan almarhum Buya dan Papi yang sudah berjuang sedemikian hebatnya demi membangun sebuah lembaga pendidikan bagi mereka yang kurang mampu dan kini pesantren sudah berada di ujung tanduk karena tidak adanya sumber dana untuk mengembangkannya kembali.
Sejak Papi meninggal, keadaan memang berubah sekian ratus derajat dari sebelumnya. Sekian lama guru tidak pernah digaji, akhirnya membuat mereka satu persatu pergi mencari penghasilan di luar dan sekarang hanya tersisa beberapa orang saja yang berada di dalam pesantren.
Siang harinya, saya pergi ke rumah Umi, istrinua Buya. Saya hanya bisa menangis mendengar penuturan Umi tentang kondisi pesantren. Saya teringat dengan wasiat papi bahwa beliau sudah menyiapkan dana untuk 10 tahun kedepan bagi pesantren. Belum lama papi meninggal, dana itu sudah tidak ada lagi. Umi bercerita sambil terisak dan saya berusaha menguatkan beliau.
Setelah bertemu dengan umi, saya menemui Pak Fairuz selaku pimpinan pesantren yang sekarang sedang sakit-sakitan. Beliau menderita gangguan ginjal. Beliau harus cuci darah 2 kali dalam sepekan. Kami berbincang sejenak tentang masa depan pesantren kemudian saya pamit melanjutkan perjalanan ke rumah ustadz/ustadzah yang berada di kota bengkulu.
Sudah menjadi kebiasaan saya berkunjung ke rumah ustadz/ustadzah tiap kali mudik ke bengkulu, baru kemudian melanjutkan perjalanan ke kampung halaman di Kabupaten Kaur.
Sekarang, tugas saya adalah mencari donatur perorangan/lembaga/perusahaan atau apapun yang siap mendirikan lembaga pendidikan di pesantren untuk untuk meneruskan perjuangan Buya dan Papi. Lahan seluas 23 Hektar ini punya potensi untuk dikembangkan.
Mami selalu menangis jika bertemu dengan saya dan diskusi masalah pesantren. Semoga Allah memberi kemudahan dalam perjuangan ini. Amin.
Jadi ikutan sedih bacanya kak, jadi kangen buya sama papi. Jadi kangen sore-sore main rakit di kolam, lari-larian di asrama cewek di belakang, nonton bareng santri tiap hari jum'at. Jadi kangen zaman SD aktu masih diasuh sama kak Arian, salah satu santri yang paling deket sama kita, udah kayak kakak sendiri, udah kayak keluarga bener deh. Mudah-mudahan Allah memberikan jalan terbaik untuk pesantren kedepannya
ReplyDeleteAmin, ya, Rabb :)
DeleteJadi ikutan sedih bacanya kak, jadi kangen buya sama papi. Jadi kangen sore-sore main rakit di kolam, lari-larian di asrama cewek di belakang, nonton bareng santri tiap hari jum'at. Jadi kangen zaman SD aktu masih diasuh sama kak Arian, salah satu santri yang paling deket sama kita, udah kayak kakak sendiri, udah kayak keluarga bener deh. Mudah-mudahan Allah memberikan jalan terbaik untuk pesantren kedepannya
ReplyDelete