26 Juni
Tadi pagi, saya dan santri Mafaza
duduk bareng, kemudian mencoba untuk menganalisa kembali apa yang sudah kami
lakukan dalam satu semester ini. Menjelang Ramadhan, kegiatan kajian rutin akan
diganti dengan kegiatan-kegiatan Ramadhan yang sudah disusun sedemikian baik
oleh mereka. Saya bangga bisa mengenal mereka semua.
Sehari sebelumnya, saya sudah memberi
mereka kesempatan untuk menulis kritik dan saran yang ditujukan untuk diri saya
pribadi. Kritik dan saran ini dalam rangka introspeksi diri pribadi, agar bisa
menjadi lebih baik lagi dalam membimbing mereka semua. Mereka bukan hanya
sekadar santri bagi saya, tapi juga adik dan juga sahabat yang baik yang bisa
menjadi teman berbagi suka dan duka. Mungkin perbedaan umur yang tidak terlalu
jauh membuat kami lebih dekat satu sama lain meski memang belum sepenuhnya saya
mengenal mereka satu persatu karena memang belum lama saya membina mereka
secara penuh.
Saya memang suka memberikan
kesempatan anak-anak di sekolah untuk menilai apa yang sudah saya lakukan untuk
mereka, dan ini saya praktikkan di pesantren mahasiswa mafaza. Saya persilahkan
mereka untuk menuliskan kritik dan saran yang membangun demi kebaikan bersama.
Karena apa yang menurut saya baik, belum tentu baik bagi mereka.
Saya sengaja meminta mereka menuliskan sebanyak mungkin, karena kalo saya minta mereka untuk berbicara langsung, saya yakin mereka akan sungkan dan bisa jadi apa yang selama ini menjadi unek-unek mereka tidak bisa disampaikan dengan baik. Jadi, saya memilih memberikan mereka kesempatan untuk menuliskan kritik dan saran tanpa perlu mencantumkan identitas diri.
Setelah membaca sekian lembar kritik dan saran dari mereka, air mata saya menetes, kemudian memohon ampun kepada Allah SWT atas khilaf saya selama ini. Yang paling menonjol yang mereka rasakan adalah, saya kurang adil dalam memberi perhatian. meski demikian mereka masih memaklumi, karena memang baru lima bulan terakhir saya berusaha mengenal mereka lebih dekat dan peduli dengan mereka. dan ada satu tulisan yang kemudian begitu mengena di hati saya dan saya tahu siapa yang menulis ini. Berikut saya tuliskan langsung tulisan yang saya dapati saat membaca kritik dan saran dari para santri di pesantren mahasiswa Mafaza.
" Salam khusus untuk Ustadz Arian."
Saya sengaja meminta mereka menuliskan sebanyak mungkin, karena kalo saya minta mereka untuk berbicara langsung, saya yakin mereka akan sungkan dan bisa jadi apa yang selama ini menjadi unek-unek mereka tidak bisa disampaikan dengan baik. Jadi, saya memilih memberikan mereka kesempatan untuk menuliskan kritik dan saran tanpa perlu mencantumkan identitas diri.
Setelah membaca sekian lembar kritik dan saran dari mereka, air mata saya menetes, kemudian memohon ampun kepada Allah SWT atas khilaf saya selama ini. Yang paling menonjol yang mereka rasakan adalah, saya kurang adil dalam memberi perhatian. meski demikian mereka masih memaklumi, karena memang baru lima bulan terakhir saya berusaha mengenal mereka lebih dekat dan peduli dengan mereka. dan ada satu tulisan yang kemudian begitu mengena di hati saya dan saya tahu siapa yang menulis ini. Berikut saya tuliskan langsung tulisan yang saya dapati saat membaca kritik dan saran dari para santri di pesantren mahasiswa Mafaza.
" Salam khusus untuk Ustadz Arian."
Sedikit bercerita, Ustadz, dulu
selama tinggal di Jakarta, dari saya berumur 6 tahun sampai 15 tahun, saya
belajar tentang Agama, dari Al Quran, kitab nahwu, shorf, mahfuzhot, adabul
insan, tafsir dan lain-lain. Tapi, selama kurang lebih 5 tahun saya tidak
menyentuh kitab-kitab itu lagi, mungkin karena saya terlalu sibuk bermain,
kumpul-kumpul sama teman SMA. Saya dulu tergabung di kerohanian Islam dan
sampai hari ini silaturahmi kami tetap terjaga. Banyak yang beranggapan bacaan
Al Quran saya baik, tapi saya tidak berpikir demikian, sampai-sampai banyak
guru yang menyuruh saya tadarus di sekolah.
Setelah lulus SMA, saya sudah jarang
sekali menyentuh Al Quran. Hafalan saya dari saya kecil hanya An Nas - At
takatsur. Dulu saya sangat sibuk dengan dunia saya. Selama kuliah di IPB Bogor
saya sudah ada niat untuk tinggal di masjid agar ibadah saya, akhlak saya dan
komunikasi saya dengan akhwat bisa terjaga.
Setelah 1 tahun berikutnya, ternyata
mimpi saya belum diijabah sampai akhirnya saya bermigrasi dari Jakarta-Bogor,
Bogor-Jakarta, dan Jakarta-Purwokerto. Mendaratnya saya di Purwokerto dengan
keadaan buta arah, di bulan Ramadhan dan di malam menjelang pagi saya berdiri
tegak dengan mata panda di Purwokerto tepatnya di Stasiun.
Dari stasiun sampai kampus Pak Dirman
saya berjalan kaki. Sungguh Ramadhan yang indah. Tahu nggak Ustadz? Tempat
pertama kali yang saya jajaki adalah ini, Masjid Fatimatuzzahra, Masjid yang
saya kira masjid kampus. Masjid yang riuh dengan suara burung pagi hari. Saya
menduga kalau tempat ini bukan tempat biasa. Saya suka masjid ini, saya suka
dengan Imam yang selalu membaca surat yang panjang-panjang. Saya rasa ini
krusial sekali, Masjid besar dengan bacaan Quran yang luar biasa.
Saya bertekad saya harus bisa baik
bacaan Al Qurannya. Saya bercita-cita menjadi "Scientist yang bacaan Al
Qurannya baik" dan Ustadz Arian merupakan Ustadz yang membimbing saya
dengan jam terbang yang paling banyak. Mungkin, kalo tidak ada Ustadz, bacaan
saya tetap seperti dulu, masih buruk. Entah apa jadinya keluarga saya nanti
kalau saya tidak ada pemantasan dan perubahan.
Sungguh, dengan segenap hati saya,
saya bersyukur dan berterima kasih karena bertemu Ustadz dan saya belum bisa
memberikan apa-apa, malahan merepotkan. Ustadz sudah menjadi
"pengaruh"
"Pengaruh itu bukan karena banyaknya orang yang berpengaruh, tetapi
orang yang mampu mempengaruhi banyak orang"
25 Juni 2014
(Calon Scientist)
**
Setelah membaca tulisan di atas, saya mengelus dada, kemudian mengusap air mata di ujung sana yang berhasil tumpah. dan tadi pagi, saat saya mengakhiri kajian rutin bersama mereka karena mereka akan sangat sibuk menjadi pelayan umat di Bulan Ramadhan ini, ada tangis yang memecah pagi. Saya berusaha kuat menahan agar tidak sampai menangis, meski di samping saya sudah ada yang menangis terisak seolah akan terjadi perpisahan. dan saya bangga pada mereka dan perubahan mereka yang semakin baik.
Setelah membaca tulisan di atas, saya mengelus dada, kemudian mengusap air mata di ujung sana yang berhasil tumpah. dan tadi pagi, saat saya mengakhiri kajian rutin bersama mereka karena mereka akan sangat sibuk menjadi pelayan umat di Bulan Ramadhan ini, ada tangis yang memecah pagi. Saya berusaha kuat menahan agar tidak sampai menangis, meski di samping saya sudah ada yang menangis terisak seolah akan terjadi perpisahan. dan saya bangga pada mereka dan perubahan mereka yang semakin baik.
Saya bilang ke mereka semua bahwa
"Kita adalah keluarga. Sebagai sebuah keluarga, maka sudah seharusnya kita
saling percaya dan saling support satu sama lain. Dimana pun kalian berada
nanti, jadilah generasi muslim yang memberi manfaat kepada orang-orang yang ada
di sekeliling kalian." Kami memegang erat tangan satu sama lain kemudian
berjanji akan terus berusaha menjadi lebih baik lagi.
Ya rabb,
Lindungilah kami
Berilah kami kekuatan untuk selalu
menjadi lebih baik
Ingatkan kami jika kami jauh dari
jalan-Mu
Semoga cinta kami tetap utuh padamu,
Tuhan. Amin
Comments
Post a Comment
Jangan Lupa Tinggalkan Komentarnya Gan