“Aku ingin menikah, Bu,” ucapku
sambil menatap wajah ibu yang ada di hadapanku. Teknologi membuatku bisa
menghabiskan beberapa jam waktu luangku untuk berbincang dengan ibu dengan
aplikasi skype.
“Dengan siapa? Apa dia orang
Indonesia juga?” selidiknya ingin tahu. Aku mengangguk.
“Tapi dia keturunan Arab, Bu. Kami sama-sama
sedang menempuh pendidikan Doktoral disini. Aku sama sekali tidak pernah
berbincang dengannya, aku hanya pernah bertemu di kajian minggu dua atau tiga
kali. Seorang sahabatku yang mencoba untuk mengenalinya lebih jauh, keluarga,
latar belakang pendidikan agamanya dan juga budi pekertinya. Aku yakin akan
segera menemuinya, dan menyatakan keinginanku untuk menikah dengannya.”
“Jadi, dia belum tahu apa yang kamu
rasakan?”
Aku menggeleng, sambil tersenyum.
“Kamu itu sama saja dengan bapakmu. Dulu,
waktu bapakmu melamar ibu, karena pernah melihat ibu mengisi kegiatan remaja di
salah satu sekolah. Hanya satu kali melihat dan entah dari mana ia tahu banyak
tentang ibu, kemudian datang dan melamar ibu.” Ibu bercerita tentang masa lalu,
mengenang kembali tentang ia, laki-laki berusia senja yang baru dua tahun pergi
meninggalkan kami untuk selamanya. Aku tidak bisa kembali ke tanah air kala
itu, karena sedang menempuh study di Melbourne, Australia.
Aku tersenyum, kemudian melemparkan
pandangan ke luar jendela, melihat bulir-bulir salju yang mulai menggunung. Salju
semakin mendinginkan hatiku yang sedang hangat terbakar cinta yang aku sendiri
tak tahu bagaimana caranya membuat rasa itu teduh, selain bertemu dengan-Nya
dalam sujud demi sujudku di malam yang sunyi.
“Fatih….” Suara ibu mengagetkanku
yang sempat melamun seorang diri. Kulihat ibu tersenyum di hadapanku.
“Jika memang kamu sudah siap, ibu
hanya bisa berdoa, semoga Tuhan memberikan yang terbaik bagimu, Nak.”
“Amin.”
“Jangan lupa istirahat. Kamu butuh
istirahat yang cukup, jangan terus-terusan dipaksa untuk menyelesaikan
disertasimu kalo sudah capek. Kamu semakin kurus, Nak.”
“Ibu jangan khawatir, aku baik-baik
saja disini, Australia tidak bersikap kejam padaku.”
Kami sama-sama tersenyum, dan wajah
ibu pun menghilang dari layar laptopku. Aku kembali melemparkan pandangan ke
luar apartemenku, melihat ke ujung jalan yang berjarak dua blok dari
apartemenku. Kulihat beberapa orang sedang duduk di pinggir jalan, sambil
melempar sesuatu ke tumpukan salju yang menggunung. Mereka mengingatkanku akan kenangan
saat pertama kali menyentuh salju
Ada banyak yang kurindukan dari
negeriku, aku merindukan suara adzan yang membangunkanku kala terlelap dalam
tidur, aku merindukan suara riuh anak-anak didikku yang sudah tiga tahun lebih
tidak pernah bertemu denganku. Pihak sekolah beberapa kali menghubungiku
melalui skype, dan mengizinkanku
berbicara di hadapan anak-anak yang ada di kelas. Mereka berteriak kegirangan
saat melihatku di layar, bahkan ada yang berdiri dan ingin menjabat tanganku,
seolah aku berada disana. Aku kerap kali terpingkal melihat tingkah mereka yang
lucu.
“Mengapa kamu tidak menjadi dosen
saja, Fatih?” Tanya seorang temanku beberapa waktu lalu.
“Aku terlalu jatuh hati pada
anak-anak,” jawabku singkat.
**
Aku sudah duduk di ruang tamu apartemen
Najwa, ditemani oleh dua sahabatku yang sama-sama dari Indonesia. Kulihat Abi
dan Umi Najwa menatapku hangat, tersenyum dan memersilahkanku untuk menyeruput
segelas teh hangat yang telah tersaji sejak kedatanganku beberapa menit yang
lalu. Mereka memang kerap kali mengunjungi putri mereka yang cuma satu-satunya.
Indonesia dan Negeri Kangguru seolah tak berjarak, mereka bisa dengan kapan
saja mengunjungi Najwa disini.
“Sebentar lagi Najwa pulang, tadi dia
ada tugas mendadak, menggantikan supervisornya untuk mengajar di program
sarjana.” Abi Najwa mencoba untuk menghangatkan suasana yang terkesan terlalu
formal.
Suara seseorang mengetuk pintu,
terdengar ucapan salamnya, suara yang sudah beberapa waktu kuhapal dengan baik.
Aku mengenali suaranya yang lembut dan meneduhkan. Mungkin itu salah satu dari
sekian banyak alasan hatiku memilihnya.
Wahai bidadari surgaku
Telah kusebut namamu dalam doa-doaku
Sebuah harap semoga kita bisa bersama
Membangun rumah tangga menuju surga-Nya
Tidak perlu menunggu lama, Najwa
sudah bergabung bersama kami di ruang tamu. Aku langsung pada inti pembicaraan,
menyampaikan rasa yang sudah sekian lama kupendam, aku mencintainya. Aku ingin
menikah dengannya.
Najwa mendengarkan ucapanku dengan
tetap tersenyum, dan aku tidak sanggup berlama-lama menatapnya. Aku beralih,
melihat Abi dan Uminya yang ada di bagian kanan kursi panjang di ruangan ini.
“Najwa, kamu sudah mendengar
keinginan Nak Fatih, Abi dan Umi menyerahkan sepenuhnya padamu,”
Najwa berbisik kepada Abinya beberapa
saat dan membiarkan kami terdiam. Dua orang sahabat yang ada di samping kiri
dan kananku tidak banyak membantuku. Mereka bak patung yang tak mampu angkat
bicara.
“Fatih, Najwa menyampaikan satu
syarat jika Nak Fatih ingin menikah dengannya. Laki-laki yang melamarnya harus
hafal minimal 10 juz Al Quran. Kamu sanggup?”
Ada luka dan bahagia yang bersamaan datang
di hatiku. Aku mencoba untuk tersenyum, meski di satu sisi aku tahu, bahwa
sekarang belum waktunya bagiku untuk mengajak bidadari surgaku menikah
denganku. Tapi aku masih memiliki harapan, harapan untuk bisa hidup bersama
dengannya.
“Aku akan menunggumu, Mas Fatih. Datanglah,
ketika syarat yang kuajukan telah terpenuhi.”
Aku mengangguk. Aku sadar, aku perlu
perjuangan lebih untuk bisa menggapai ini semua. Aku hanya hafal juz 30 saja,
itu artinya ada 9 juz lagi yang harus kuhafal demi menikah dengan Najwa.
**
Suasana di Kudus begitu ramai, banyak
tamu yang berdatangan silih berganti, ziarah ke makam Sunan Kudus. Sudah seminggu
aku berada disini, menjadi santri diusia yang sudah hampir kepala tiga. Setelah
kelulusan program doktoralku di Australia, aku memilih untuk pulang ke tanah
air, menemui Ibu di Bandung, kemudian meminta restunya untuk pergi ke Kudus demi
menghafal Al Quran.
Aku kerap kali menangis, karena
merasa kesulitan untuk menghafal Al Quran. Berbagai macam cara sudah kulakukan
dalam sepekan terakhir, tapi masih saja sulit untuk menghafal.
Satu bulan berlalu, dan aku masih
merasa sangat sulit untuk menghafal. Aku menemui Abah, pimpinan pesantren
tahfidz tempatku mondok. Aku butuh pencerahan dari Abah. Abah menyambut
kedatanganku hangat, ia memintaku untuk mengambil jubah putih miliknya,
kemudian memersilahkanku duduk lesehan di atas karpet usang di ruang tamunya. Hidupnya
sederhana, tapi tak pernah kulihat lelah di wajahnya. Seolah tak pernah habis
waktunya untuk membimbing kami dalam menghafal Al Quran. Aku menjadi santri
tertua dari sekian banyak santri binaannya.
“Langkah pertama yang harus kamu lakukan
adalah meluruskan niatmu, Fatih.” Abah memberiku nasehat setelah mendengar apa
yang menjadi alasanku dalam menghafal Al Quran. Kadang, kita memang perlu
merasakan tamparan terlebih dahulu untuk menyadari sesuatu. aku merasa
seolah-olah baru saja mendapatkan tamparan yang begitu kuat. Aku tertunduk
malu, malu pada diri sendiri, malu pada Tuhan.
Hari-hariku berjalan seperti biasa,
rutinitasku tidak banyak berubah, aku menghabiskan hari untuk menghafal dan
terus menghafal. Masjid menara Kudus menjadi tempat favoritku dalam menghafal. Aku
betah berlama-lama di rumah-Nya, sesuatu yang tidak bisa kurasakan ketika
berada di Australia, karena masjid sangat jauh dari apartemenku. Aku suka
melihat anak-anak kecil yang duduk di pojok masjid, menghafal ayat demi
ayat-Nya. Kadang aku malu pada mereka, meski umur mereka masih di bawah sepuluh
tahun, tapi banyak yang sudah hampir hafal 30 juz. Sedangkan aku? Di bulan ketiga
ini, aku baru hafal 5 juz, setelah perjuangan yang tidak mudah.
Di akhir pekan, aku mengajar Bahasa
Inggris bagi anak-anak di sekitar pesantren. Setidaknya aku masih punya
kesibukan yang berkaitan dengan dunia pendidikan. Inilah baktiku pada negeri
ini.
Sudah hampir dua tahun berlalu, aku
masih ingat dengan pertemuan kala itu, kala ia, yang kusebut sebagai bidadari surgaku
mengajukan syarat untuk menjadi pendampingnya. Aku masih ingat dengan baik. Tapi,
aku tidak ingin setengah-setengah dalam menghafal ayat-ayat-Nya. Aku telah
jatuh cinta pada kalam-Nya dan meyakinkan diri untuk menyelesaikan hafalanku. Aku
ingin menjadi seorang hafidzh, seseorang yang hafal Al Quran. Aku telah
mendamba itu sejak hafalanku 10 juz. Aku sudah menghubungi Najwa dan Abinya. Kudengar
ia tidak bisa menungguku lagi, ia akan segera menikah dengan orang lain. Tak apa,
aku selalu percaya bahwa seseorang sedang bersiap diri untuk menerima
lamaranku, meski belum kutemukan bidadari surgaku.
Teruntukmu yang masih tak nyata
Aku ada disini, menyiapkan diri menjadi pendamping hidupmu
Teruntukmu yang masih tak sanggup untuk kuraih
Aku percaya dengan janji-Nya
Laki-laki yang baik diperuntukkan bagi perempuan yang baik pula
Andai nanti kita berjumpa
Andai nanti telah kutemukan dirimu wahai bidadari surgaku
Semoga kita dipertemukan dalam cinta karena-Nya
Aku akan menikahimu
Bersiaplah bidadariku
Cinta adalah penerimaan yang tak terperi, meski tak selalu berbalas
serupa, karena kita jarang sekali menang dalam urusan cinta, namun sakit
hatinya pun tetap indah. Begitulah bagaimana Tuhan mengajarkan makna mencintai
kepada hamba-Nya.
Comments
Post a Comment
Jangan Lupa Tinggalkan Komentarnya Gan