Tengah
malam, saat saya baru sampai Bandung, sahabat baik saya Siwi Mars Wijayanti
tiba-tiba memberi pertanyaan yang rada-rada berat,
“Setelah
kamu kerja, skills apa yg kamu pikir penting untuk survive dalam hidup dan juga dunia kerja?”
Kemudian
saya iseng menjawab dengan jawaban ngawur,
“Saya
mau menjadi profesor cinta”
Bukannya
menjawab pertanyaan itu dengan serius, saya malah menjawabnya semena-mena.
Beberapa detik kemudian, Mbak Siwi menulis begini,
“Aku
pernah merasakannya, lulus terus bingung..gak punya "bekal" yg cukup.
Kurikulum kampus cuma kasih akademik aja. It’s not enough. Aku merasa softskills justru yg menentukan. cara
bekerja dalam tim, komunikasi dengan orang, percaya diri di hadapan publik,
inisiatif, mampu mendeliver idea, mengambil keputusan, toleransi, dan
laen-laen. Kebanyakan anak-anak yg ikut organisasilah yg tertempa
kemampuan-kemampuan begini. Sedangkan
aku dulu tipe anak rumahan kuliahan yg taunya cuma belajar dan ujian, lulus
kuliah bingung walau cum laude”
Baiklah,
sepertinya sahabat saya ini memang lagi pengen berbincang serius dengan saya
#halah. Bermula dari pertanyaan yang sedikit kejam untuk ukuran dinihari,
timbullah perbincangan yang sedikit serius, meski saya tetap menjawab
pertanyaan demi pertanyaan itu dengan lelucon hehe.
Intinya
begini, coba perhatikan sistem pendidikan yang ada sekarang, saya merasa bahwa
pendidikan kita tidak ubahnya adalah sekolah bagi para robot yang terus
dijejali dengan pengetahuan-pengetahuan yang tentunya membuat anak-anak jenuh.
Pernah mendapat curahan hati dari anak-anak yang stress karena sekolah? Saya
sering dan saya memiliki rasa kasihan yang begitu dalam kepada mereka.
Coba
perhatikan bagaimana reaksi anak-anak saat libur telah tiba, mereka seakan-akan
terlepas dari belenggu yang telah sekian lama mereka rasakan, dan saat semuanya
berakhir dengan liburan sekolah, mereka bersorak gembira dan merasa lepas tanpa
beban. Karena memang kenyataannya di sekolah tidak ubahnya seperti robot yang
terus diberi materi-materi dengan cara yang begitu-begitu saja. Tidak banyak
guru yang mengubah pola belajar di kelas dan disesuaikan dengan kondisi
anak-anak sekarang yang sudah jauh berbeda dengan zaman kita sekolah dulu.
Saya
pernah bertemu dengan guru zaman sekolah dasar dulu, dari dahulu sampai
sekarang ya mengajar seperti dulu, padahal anak-anaknya sudah jauh berbeda,
dengan ragam dan corak yang jauh berbeda, dengan perkembangan zaman yang sudah
jauh berbeda. (sampai disini saya sudah merasa seperti pengamat pendidikan)
Mbak
Siwi berkomentar,
“Pendidikan
sekarang itu kayak mendidik robot, kurang memanusiakan.”
Setuju.
Coba ingat mengapa dahulu kita begitu bahagia saat masih berada di TK? Karena
kita belajar dengan cara yang mendidik manusia, bukan mendidik robot. Di zaman
TK, kita merasakan bahagia yang luar biasa bukan? Sampai kadang saat liburan
telah tiba, masih saja ada anak yang tetap mau sekolah dan bertemu dengan
guru-gurunya, karena mereka merasakan kebahagiaan dengan cara guru-guru
mengajar. Karena proses transfer informasi dari guru ke anak-anak dilakukan
dengan cara yang menyenangkan.
Nah,
coba bandingkan dengan pendidikan selanjutnya. Di sekolah dasar, kita sudah
kurang merasakan bahagianya belajar di sekolah, lanjut ke sekolah menengah
pertama, kebahagiaan saat berada di sekolah semakin berkurang, lanjut ke
sekolah menengah atas, kebahagiaan itu semakin berkurang dan saat lulus kuliah,
kita hanya menjadi lulusan-lulusan yang memiliki nilai tinggi, tapi bingung
karena tidak memiliki bekal untuk survive
dengan zaman yang jauh berbeda dengan yang ada di sekolahan.
Stress?
Oh banyak yang stress. Sudah stress dengan pendidikan yang ada di sekolah, tapi
setelah itu bingung mau melakukan apa dan inilah yang banyak di hadapi oleh
anak-anak sekarang.
Mbak
Siwi dengan penuh semangat dan berapi-api (agak lebay deh saya) berkomentar,
“Banyak
guru sekarang itu juga hasil produk pendidikan "kuno", kalau guru tidak
belajar untuk berkembang, maka dia akan mengajarkan dengan pola yg sama, Kalau siklus
ini berulang terus, kapan majunya negeri kita?”
Jujur,
saya sih belum terlalu banyak pengalamana bagaimana mengkondisikan anak-anak
agar merasa nyaman saat proses belajar sedang berlangsung, tapi setidaknya saya
sedang berusaha untuk itu. Pendidikan Agama Islam tidak meski harus
terus-terusan berada di dalam kelas, kemudian dijejali dengan sekian banyak
dalil dan hadits dan membuat anak-anak mabuk dalil tapi tidak mengerti akan
tujuan yang diinginkan. Contoh, kita bisa belajar di luar kelas, melihat ke
sekitar bagaimana Tuhan menciptakan sekian banyak keajaiban, menatap langit,
matahari, kemudian dijelaskan dari sudut ilmu pengetahuan kemudian
diintegrasikan dengan konsep keimanan.
Biar
saya kasih contoh lebih detil, misalkan ketika anak-anak belajar tentang
bagaimana tata surya, seharusnya guru tidak hanya mengajarkan tentang tata
surya saja, melainkan melakukan integrated learning dimana bisa menambahkan
nilai-nilai keimanan anak. Bisa dengan menyebutkan bagaimana Allah menjelaskan
tentang tata surya kita, bagaimana bumi berotasi dan berevolusi, yang mana
semuanya sudah ada di dalam Al Quran. Bukankah dengan demikian akan lebih
menarik? Selain anak-anak mengerti akan tata surya, mereka juga semakin
bertambah keyakinannya akan kuasa Tuhan, karena ternyata sebelum ilmuan
menemukan semua itu, Al Quran sudah jauh terlebih dahulu menyebutkan tentang
semua itu.
Duh,
saya sudah kayak seorang pakar aja nih hehe maafkan atas ceramah singkat saya
ini.
Intinya
begini, sebagai seorang pendidik, harus bisa mengajar dengan pola mengajar
manusia, bukan mengajar robot. Seorang pendidik harus bisa menanamkan
nilai-nilai yang bisa dianut oleh anak dalam setiap proses pembelajaran. Anak
tidak hanya dijejali dengan materi-materi yang mereka sendiri bahkan bingung
kegunaannya dalam keseharian mereka, akan tetapi diajarkan bagaimana anak-anak
bisa bertahan dengan kondisi yang akan mereka hadapi nanti.
Anak-anak
perlu diajarkan skill yang mampu menjadikan mereka anak-anak yang tidak hanya
cerdas secara akademik saja, melainkan cerdas dalam menelurkan ide-ide, paham
bagaimana membuat keputusan dan siap dengan semua konsekuensi yang ada, dan
lain-lain. Sehingga mereka tidak hanya sekedar menjadi sarjana-sarjana yang
punya nilai A pake Plus, tapi bingung dengan dunia luar yang jauh berbeda
dengan dunia kampus.
Seperti
Slogannya Indonesia Mengajar,
Berhenti mengecam
kegelapan. Nyalakan lilin.
Ini
negeri besar dan akan lebih besar. Sekedar mengeluh dan mengecam kegelapan
tidak akan mengubah apapun. Nyalakan lilin, lakukan sesuatu.
Saya
percaya, ada banyak pendidik yang sudah menyalakan lilin, melakukan sesuatu
yang luar biasa hebat untuk masa depan negeri ini, dan saya pun sedang berusaha
untuk melakukan itu sebaik mungkin. Ayo Para Guru, mari kita lakukan yang
terbaik untuk bangsa ini, karena kita adalah lentera bangsa ini.
Comments
Post a Comment
Jangan Lupa Tinggalkan Komentarnya Gan