Cinta
memang aneh
Dia
datang tanpa diundang
Dia
datang tanpa permisi
Kadang
pergi begitu saja
Tak
lagi kembali
Inikah
cinta yang sesungguhnya?
Pernah
mendengar kata curdad? Itu edisi terbaru yang lagi keren sekarang, mampu
mengalahkan edisi terdahulunya, yaitu curhat haha. Curdad itu istilah gue untuk
curhat dadakan. Keren, kan? Anggap saja keren, sama kayak gue kerennya (edisi
narsis parah).
Malam yang gelap, hanya bertemankan
sebatang lilin hasil minta ke kamar sebelah (ini kenapa jadi bikin narasi kacau
gini?). Suatu ketika pernah mati lampu lama banget, dari siang sampai malam
pukul sembilan. Setelah shalat isya berjamaah di masjid, gue ngobrol dengan
salah satu ustad senior. Intinya gue tiba-tiba pengen banget cerita ke
seseorang yang bisa gue percaya. Gue pengen banget ada orang yang mendengarkan
curahan hati gue. Gue butuh masukan dari beliau.
Manusia
adalah makhluk sosial, kita perlu bersosialisasi, bertemu dengan orang-orang
yang ada di sekitar kita. Dengan hidup membaur, kita akan merasakan bahwa hidup
itu lebih bermakna. Saling membantu satu sama lain, saling mengingatkan untuk
tetap taat kepada Tuhan de el el.
“Ustad, saya mau cerita, tapi tolong
jangan cerita ke orang lain. (ini curhat kok pake ngancem sih? hehe)”
“Insya Allah, ada apa Ustad?” jawab
beliau.
Tidak mau menunggu terlalu lama
lagi, gue langsung menceritakan apa yang selama ini mengganggu keseharian gue.
Gue katakan mengganggu karena sepertinya gue memang lagi jatuh cinta. Gue suka
dengan seseorang, hanya bertemu satu kali, kemudian ada rasa yang tiba-tiba
muncul begitu saja. Padahal gue nggak pernah ngobrol ama dia, gue nggak pernah
tahu nomor handphonenya, gue nggak pernah bertemu secara sengaja. Gue cuma
pernah melihat dia sekilas. Tapi gue merasa ada yang beda. Setelah curhat
dadakan panjang lebar kali tinggi (seperti rumus matematika saja), beliau
langsung tersenyum, kemudian bertanya beberapa hal.
“Apa
yang antum rasakan saat pertama kali bertemu?
Antum deg-degan, nggak? Antum merasa ada rasa yang tiba-tiba datang
begitu saja nggak pada saat melihat wajahnya? Antum merasa bahagia, nggak?”
Gue
mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan beliau yang beruntun.
“Itulah
cinta,” lanjutnya.
Gue
tertegun, hening dalam gelapnya malam. Nyamuk juga ikut diam, cicak juga ikutan
tertegun, kecoak juga ikutan terharu. Hanya kami berdua di masjid (nyamuk,
cicak, kecoak de el el tidak usah dianggap)
Tiba-tiba
gue teringat teman gue yang sering deg-degan kalo bertemu dengan penagih
hutang, kemudian dia langsung bilang mungkin penagih-penagih hutang itu adalah
jodohnya, meski mereka semua laki-laki haha.
Demi
memecah keheningan, beliau menceritakan pengalamannya saat dulu masih muda
(berarti sekarang sudah berumur (baca: tua) ya?) #dilemparkalender
“Dulu,
saya pernah mencintai seorang perempuan. Kala itu dia baru menyelesaikan
sekolah menengah pertama (wow banget ini, baru tamat SMP, bro). Saya langsung
bertemu dengan kedua orangtuanya dan melamar anaknya. Anaknya setuju, tapi
orang tuanya menolak dengan alasan karena dia masih terlalu muda untuk menjadi
seorang istri. Saya menerima alasan itu, tapi perempuan itu tidak bisa
menerima. Dia ingin segera menikah. Dia adalah perempuan yang menjadi rebutan
pemuda-pemuda di kampungnya (oh di kampung hehe). Karena melihat kesungguhan
sang anak, akhirnya orangtuanya menerima lamaran saya.
Saya
langsung memberitahu orangtua di kampung (oh sama-sama berasal dari kampung
#kalem), tapi mereka tidak ada yang setuju, dengan alasan jauh. Saya asli pulau
seberang, sedangkan dia asli pulau Jawa. Takut berat di ongkos. Tapi saya
menunjukkan keseriusan kepada kedua orangtua saya, hingga akhirnya disetujui.
Saya langsung melamar perempuan yang saya cintai, saya berikan dia sebuah
cincin. Tapi ternyata dia menunda pernikahan, dia hanya mau tunangan saja dulu.
Pernikahan ditunda hingga waktu yang tidak pasti. Saya tidak ingin
menunda-nunda lagi, saya ingin segera menikah.
Saya
bilang ke orangtuanya,
“Jika
memang tidak bisa dipercepat pernikahannya, maka saya akan mundur.”
Ternyata
mereka tidak mau pernikahan segera dilangsungkan, masih mau menunggu beberapa
bulan lagi (puk-puk ustad senior). Saya sudah terlanjur berkata demikian,
kemudian saya mundur. Kedua orangtua saya sangat senang saat saya tidak jadi
menikah dengannya (ini namanya berduka di atas penderitaan orang lain hehe).
Tapi saya tidak bisa membohongi cinta yang ada di hati saya. Saya mencintainya.
Empat
sampai lima tahun kemudian, saya tetap mencintainya. Saya tidak pernah bisa
menerima perempuan lain sebagai istri saya. Orangtua sudah memaksa saya untuk
segera menikah, karena usia yang sudah tidak lagi muda. Tapi saya masih
mencintai dia yang dulu pernah saya lamar. Karena terpaksa dan ingin membuat
orangtua bahagia, akhirnya saya menikah dengan perempuan yang mereka kenalkan
ke saya. Saya menikah bukan karena cinta, melainkan karena terpaksa.
“Saran
saya, menikahlah dengan orang yang memang kamu cintai, bukan karena terpaksa,
apalagi kasihan.” Beliau mengakhiri ceritanya dengan sebuah pesan, kemudian
mencoba menatap langit-langit masjid dalam kegelapan malam.
Eh
bentar, sebenarnya yang mau curhat ini gue atau beliau sih? Kok jadi gue yang
mendengarkan curhat beliau yang panjang lebar?
Tapi
gue mendapat sedikit pencerahan dari cerita beliau.
“Apa
antum benar-benar mencintainya?”
Gue
mengangguk. Kecoak, cicak, nyamuk, semua ikutan mengangguk. Lol
Berbicara
tentang curdad alias curhat dadakan, gue kadang memang suka melakukan itu
kepada seseorang yang dapat gue percaya. Kalian tahu, kadang saat ada orang
berbagi cerita pada kalian, dia tidak membutuhkan komentar dari kalian, kadang
dia hanya butuh untuk didengarkan. Gue belajar untuk menjadi pendengar yang
baik, sekaligus pelaku curhat yang baik.
Ada
satu sahabat yang paling sering mendengarkan curhatan gue. Namanya Siwi Mars Wijayanti,
dia yang paling sering mendengarkan kegalauan gue. Seperti yang gue tulis,
kadang gue hanya butuh untuk didengarkan, gue hanya butuh seseorang yang
bersedia meluangkan waktunya untuk mendengarkan curhatan gue. Kadang ada
candaan darinya,
“Mau
curhat lagi? Siapin kotak sampah yang gede ah.”
Kami
pun terkekeh. Mempunyai sahabat yang bisa mengerti kita itu adalah anugerah.
Menjadi tempat berbagi suka maupun duka. Tapi kalo Mbak Siwi ini seringnya
kebagian dukanya dari pada sukanya.
Gue
paling suka curhat pada Tuhan. Ada ketenangan saat bersujud di hadapan-Nya,
kemudian bercerita tentang apa yang sedang gue alami. Gue suka melakukan itu.
Kadang gue bercerita di hadapan-Nya layaknya sedang berbicara dengan seorang
sahabat karib. Gue bebas berbagi apa saja kepada Dia yang segala Maha. Karena
pada hakikatnya, Tuhanlah tempat kita mengadukan segala keluh kesah yang ada.
Percayalah, Tuhan selalu mendengar, Tuhan selalu mengetahui apa yang terbetik
di hati kita. Jangan sungkan untuk curhat maupun curdad kepada Tuhan.
Gue
siap kok kalo ada yang mau curhat ke gue, tapi harus buat janji dulu, ya.
Takutnya jam terbang gue padat, jadi harus pintar-pintar membagi waktu untuk
mendengarkan curhatan kalian (sok sibuk).
Comments
Post a Comment
Jangan Lupa Tinggalkan Komentarnya Gan