Bagi
mereka yang tidak tahu tentangku, mereka akan mengatakan bahwa keputusan yang
telah lama kuyakini ini adalah keputusan terburuk yang pernah mereka dengar.
Namun bagi mereka yang tahu persis tentang perjalanan hidupku meniti cinta,
mereka akan mengerti mengapa akhirnya aku memilih untuk “tidak menikah”.
Sahabat-sahabatku
selalu berusaha untuk mencari pasangan hidup yang bisa membimbing mereka
menjadi lebih baik. Laki-laki baik, shaleh, lembut, penuh kasih sayang,
romantis dan sabar menjadi sebagian dari sekian banyak kriteria calon suami
yang mereka inginkan. Bagiku? Aku sudah menghapus sekian banyak kriteria yang
dulu pernah kujadikan tolak ukur bagi laki-laki yang ingin menjadi pendamping
hidupku.
Jangan
engkau tanyakan lagi, laki-laki seperti apa sebenarnya yang kuinginkan. Karena
aku sudah menutup rapat-rapat pintu hatiku. Aku sudah mati rasa dengan yang
namannya laki-laki. Sudah sejak lama aku mengakhiri perjalanan cintaku dan aku
tidak ingin membuka kembali luka yang telah lama mengering di dalam dadaku. Aku
tidak ingin merasakan sakit untuk yang ke sekian kalinya karena makhluk yang
bernama lelaki.
Ibu
sering kali menasehatiku, tidak seharusnya aku bersikap seperti ini. Tidak
semua laki-laki itu bajingan, tidak semua laki-laki itu suka menyakiti hati
perempuan.
“Tuhan
sedang mempersiapkan seseorang yang akan menjadi pendampingmu dunia dan
akhirat, Laila,” ujar ibu sambil mengelus rambutku yang tergerai.
“Ibu,
maafkan Laila. Laila sudah bulat dengan apa yang Laila yakini. Laila sudah
bahagia dengan Laila yang sekarang. Laila bahagia meski hanya hidup berdua
denganmu, Ibu.”
“Tapi
Ibu tidak bisa selamanya selalu ada di sampingmu, Nak. Ada saat dimana Ibu akan
dipanggil oleh Yang Mahakuasa untuk kembali ke sisi-Nya.”
“Ibu,
jangan ucapkan itu lagi. Laila sudah terlalu sering kehilangan orang-orang yang
Laila cintai. Tolong jangan ucapkan itu lagi, Bu.” Aku memeluk Ibu yang sudah
sejak lama menginginkanku untuk menikah. Usiaku sudah hampir memasuki kepala
empat dan aku masih sendiri, bahkan sudah berterus terang pada Ibu, bahwa aku
tidak akan menikah sampai akhir hayatku.
“Laila,
aku punya sahabat baik, kamu mau nggak aku kenalin dengan dia?” Farah,
sahabatku sejak masih kuliah mencoba untuk mengenalkanku dengan teman prianya
untuk yang kesekian kalinya. Sambil tersenyum, aku menolaknya. Farah tahu apa
arti senyumku itu. Senyum penolakan.
Berbagai
macam gelar telah kuterima karena keputusanku untuk tidak menikah. “Perawan
tua” menjadi gelar utama yang sering terucap dari sekian banyak kolega di
kantor. Tapi apa peduliku? Aku tidak hidup dari jerih payah mereka, aku tidak
menumpang hidup di rumah mereka, aku tidak pernah mengusik kehidupan mereka.
Jadi apa peduliku dengan cacian yang keluar dari mulut mereka? Mengapa juga
mereka terlalu repot mengurusi kehidupanku? Mengapa tidak mereka urus saja
kehidupan mereka yang katanya “bahagia” karena telah menikah. Selamat
berbahagia.
13 Tahun Yang Lalu
“Kamu
sudah siap, Nak? Hari pernikahanmu hanya tiga hari lagi. Semua sudah disiapkan.
Kamu tinggal siapkan mental di hari bersejarah dalam hidupmu ini.” Ibu duduk di
sampingku, sambil bercerita banyak tentang bagaimana Ibu bertemu dengan Ayah
sewaktu mereka masih sama-sama muda. Mereka bertemu saat sama-sama aktif di
kegiatan sosial di kampus. Rutinitas pertemuan yang tergolong sering,
menumbuhkan cinta di antara keduanya. Kisah cinta sederhana namun mengesankan.
Ibu sudah menjaga cinta itu sejak awal mereka bertemu hingga ajal memisahkan.
Pagiku
kali ini terasa berbeda. Semua sanak saudara sudah sejak kemarin sibuk menyiapkan
semua ini. Hari ini adalah hari pernikahanku. Gaun pengantin sudah sejak tadi
kupandangi, kubelai halus kainnya, kuciumi baunya yang harum. Aku akan
mengenakannya di akad nikah nanti siang. Hanya menghitung jam saja, keinginan
yang sejak lama telah kunanti akhirnya datang. Aku akan menikah.
Pukul
delapan pagi, ada telpon dari Mas Yuda. Ucapan salam dari ujung sana kudengar
merdu. Seperti biasa, suaranya selalu bisa menenangkanku. Tapi, apa yang
diucapkannya setelah salam itu menusuk hatiku, menghancurkan impian yang telah
kubangun sejak lama, menghancurkan semua yag telah kupersiapkan. Surat undangan
yang telah tersebar luas, sanak saudara yang sudah siap akan menghadiri akad
nikahku, dan semuanya. Semua yang kulakukan terasa sia-sia hanya karena ucapan dari
Mas Yuda.
“Laila,
aku tidak bisa menikah denganmu. Maafkan aku.”
Tuhan
tidak adil padaku. Ini bukan kali pertama aku merasakan sakit seperti ini.
Berapa lama lagi harus kutahan semua ini? Bukankah dulu semua ini pernah
kualami? Saat seseorang yang kuanggap baik, bersedia menikah denganku, tapi
tiba-tiba menghilang setelah proses lamaran terjadi? Dan sekarang, Mas Yuda
memutuskan untuk tidak menikah denganku menjelang akad nikah dilaksanakan.
Tuhan sungguh tidak adil. Aku harus menanggung malu teramat sangat.
Malu
mungkin masih bisa kutahan, tapi luka di hatiku sudah teramat dalam. Aku tidak
ingin menambah daftar kisah sedih di dalam hatiku. Aku tidak ingin merasakan
sakit yang sama. Dua kali kurasa cukup sebagai alasan bahwa aku tidak akan
pernah menikah dengan siapa pun.
Di tempat yang lain…
“Aku
tidak tahu bagaimana caranya membatalkan pernikahan ini,” Yuda berbagi cerita
kepada Darma sahabat karibnya.
“Mengapa
tidak dari awal, Yud? Sekarang semuanya sudah terlambat. Semua sudah terlanjur
dipersiapkan. Keluargamu akan malu, lebih-lebih Laila. Kamu tahu Laila sangat
mencintaimu.
“Tapi,
Dar, kamu tahu aku tidak mungkin berterus terang tentang penyakit yang ada di
dalam tubuhku ini. Penyakit yang kudapat dari gelapnya masa laluku.”
Hening.
Yuda hanyut dalam pikirannya sendiri. Darma sama sekali tidak tahu harus
berkata apa lagi untuk meyakinkan sahabatnya. Di satu sisi, dia tidak setuju
jika Yuda harus membatalkan pernikahan yang sudah dipersiapkan ini. Namun di
sisi lain, ia mengerti bahwa Yuda seharusnya dari awal mengatakan yang
sesungguhnya bahwa ia mengidap penyakit AIDS. Yuda mencintai Laila lebih dari
cintanya pada dirinya sendiri. Hingga membuat Yuda lupa bahwa akan ada yang
tersakiti karena penyakit yang ada di tubuhnya.
“Lebih
baik sekarang kubatalkan pernikahan ini, Dar. Aku akan menelpon Laila.”
Tanpa
menunggu persetujuan dari Darma, Yuda langsung menghubungi Laila. Tidak ada
basa-basi,
“Laila,
aku tidak bisa menikah denganmu. Maafkan aku.”
Yuda
langsung mengakhiri, tanpa memberi Laila kesempatan untuk mendengar
penjelasannya. Darma tidak bisa berbuat banyak. Yuda memeluk sahabatnya sambil
menangis atas apa yang baru saja ia lakukan.
“Maafkan
aku, Laila.” Ucapnya lirih.
***
Yuda
dan Laila sama-sama memilih untuk tidak menikah, menjalani kehidupan mereka
masing-masing bersama orang-orang yang mereka cintai. Laila bahagia dengan
kehadiran Ibunya yang selalu ada di sisinya, hingga akhirnya Sang Ibu harus
kembali ke sisi Tuhan Yang Mahaesa. Sendiri, Laila tetap berusaha untuk
bahagia. Jika memang nanti ia ditakdirkan untuk menikah meski usia semakin
senja, ia akan menjalani takdir itu dengan baik. Namun jika ia memang
ditakdirkan untuk sendiri hingga senja itu menjelang, ia pun mencoba untuk
pasrah dengan keputusan Ilahi.
Yuda
hanya mampu bertahan beberapa tahun setelah ia membatalkan pernikahannya. Perjalanan
hidupnya tak lagi panjang. Penyakit AIDS yang ada di tubuhnya terus
menggerogoti pertahanan tubuhnya dan membuatnya meninggal dunia. Itulah rahasia
Ilahi.
Sedih bacanya :(....Mudah2an saya tidak seperti yang diceritakan yaa,,#berharap cepat ada yang menikahi :)
ReplyDelete*Salam kenal ya pak Guru, ini kali pertama saya mampir di sini...
Sedih bacanya :(....Mudah2an saya tidak seperti yang diceritakan yaa,,#berharap cepat ada yang menikahi :)
ReplyDelete*Salam kenal ya pak Guru, ini kali pertama saya mampir di sini...
amin. semoga segera diberikan pendamping hidup yg bisa membangun cinta bersama menuju ridha ilahi. amin. terimakasih sudah mampir
Delete