“Fathers
are the ones that pick you up and give you the courage to do stuff you never
could.( The Game Plan)”
Hujan terus membasahi semesta, jatuh
bersama keping-keping rindu yang memenuhi rongga dada Aisyah. Ia duduk di dekat
jendela, menatap ke luar sana, melihat gemerlap malam yang semakin larut. Suara
jangkrik menemani malamnya yang sunyi. Angin yang berembus, masuk ke dalam
kamarnya. Dingin. Cukup lama Aisyah menatap langit, kemudian bersenandung, dan
sesekali menghitung bintang yang ada di atas sana. Ada rembulan yang sedang
menerangi sang malam.
Aisyah
beranjak dari jendela kamarnya, kemudian mengambil catatan harian yang ada di
atas mejanya. Aisyah membacai kembali catatan hariannya lima tahun yang lalu,
saat ia masih di sekolah menengah atas. Ada banyak kisah yang tertulis di dalam
catatan hariannya. Ada banyak suka, duka, yang mewarnai perjalanan hidupnya.
Aisyah berhenti membalik lembar demi lembar catatan hariannya saat ia melihat
sebuh foto dengan seukir senyum khas tertempel di buku hariannya. Foto itu ia
tempelkan di bagian atas, kemudian dibuat sebuah lingkaran memanjang. Ada
sebuah tulisan, “Pa, Maafkan Aisyah,”
Kedua
mata Aisyah basah, saat melihat selembar foto itu, foto kenangan saat sang papa
masih berada di sisinya. Ah papa, Aisyah merindukanmu, ucapnya dalam hati.
Kadang ia tak habis pikir, betapa banyak teman-temannya di kampus yang membenci
bapak maupun ibu mereka. Selalu ada alasan untuk membenci keduanya.
“Mendingan nggak punya orangtua, semuanya
sibuk. Nggak pernah di rumah.” Oca, salah satu teman di kelas Aisyah
berkomentar.
“Payah, apa-apa nggak boleh, aku kan sudah
gede, masa dilarang mulu. Nggak asyik.” Rangga juga ikut berkomentar
tentang orangtuanya.
Wanda
tidak mau ketinggalan ikut nimbrung.
“Mamaku itu nggak gaul, masa keluar malam aja
nggak boleh. Padahal aku kan mau pergi bareng teman-teman, bukan mau ngerampok.”
Dan
Aisyah, ia hanya terdiam, mendengarkan ocehan teman-teman di kelasnya tentang
dua orang yang seharusnya dihormati, karena keduanya sudah berjuang membesarkan
kita hingga sekarang. Ayah/Ibu adalah pahlawan dalam hidup. Ayah dengan tetesan
keringatnya, berjuang mencari nafkah untuk kita, agar kita bisa mendapatkan
pendidikan yang baik. Ibu, dengan kasihnya yang lembut, sentuhan jemarinya yang
menghangatkan, yang telah mempertaruhkan nyawanya saat melahirkan. Lantas,
mengapa mereka begitu membenci keduanya?
“Mereka
belum merasakan betapa sakitnya kehilangan ayah/ibu.” Gumam Aisyah dalam hati.
Ingatan
tentang sang ayah kembali hadir dalam benak Aisyah. Tuhan, mengapa begitu cepat
Engkau mengambil papa? Aisyah pernah menanyakan itu pada Sang Pencipta di sujud
panjangnya di pertengahan malam. Ia sering mengadukan kerinduannya pada sang
papa. Hingga akhirnya ia merelakan kepergian laki-laki yang telah menjadi
pahlawan hidupnya itu.
Aisyah
memang pernah bersikap sama, seperti yang dilakukan teman-temannya. Tidak
hormat pada ayah/ibu. Tapi itu dulu. Kini, cinta itu sudah memenuhi hatinya,
meski setelah merasakan betapa sakit kehilangan orang yang selama ini selalu
ada untuknya.
5
Tahun Yang Lalu
“Aisyah, ayo cepat, Nak. Nanti kita
kesiangan.” Pak Ahmad mengajak putri semata wayangnya untuk bersepeda keliling
kota. Hari ini adalah hari minggu, Pak Ahmad selalu mengajak putrinya untuk
menikmati pagi bersamanya. Keduanya bersepeda ke alun-alun Kota Purwokerto,
kemudian menuju RS Margono. Sampai di Margono, keduanya biasa berhenti di dekat
taman yang ada di depan Margono. Mereka biasa menikmati bubur ayam atau opor
ayam sebagai menu sarapan pagi. Tidak mudah memang, mengajak Aisyah untuk pergi
bersamanya.
Jujur,
Aisyah tidak terlalu suka pergi bersepeda dengan sang papa. Kadang ia mencari
segudang alasan, agar bisa lolos dari kebiasaan papanya berkeliling kota di
akhir pekan.
“Pa,
Aisyah kurang enak badan,” ucap Aisyah pada suatu kesempatan.
“Pa,
minggu depan aja, ya, kali ini Aisyah mau ngerjain tugas.” Ucapnya di waktu
yang lain. Entah sudah berapa banyak alasan-alasan yang dibuatnya, agar bisa berdiam
diri di rumah, dari pada pergi bersama sang papa.
Tidak
hanya itu, kadang Aisyah marah pada papanya, karena terlalu sering diatur. Ia
merasa papa terlalu mengatur hidupnya.
“Pa,
Aisyah bukan anak TK lagi, semuanya harus diatur. Aisyah sudah bisa memutuskan
mana yang baik, dan mana yang buruk bagi diri sendiri. Sudah seharusnya papa
memberi Aisyah kepercayaan, bahwa Aisyah bisa. Tidak terus menerus dihantui
dengan sekian banyak aturan yang papa buat, yang kadang membuat Aisyah tidak
nyaman.”
Jika
sudah demikian, Pak Ahmad hanya bisa mematung, menatap lekat-lekat wajah
putrinya. Hanya dia yang menjadi teman hidupnya. Istrinya sudah lebih dulu
kembali kepada Tuhan. Mungkin Pak Ahmad terlalu takut kehilangan orang yang
dicintainya untuk yang kedua kalinya. Tapi, apa salah jika aku mengharapkan
bisa berbagi bahagia, cerita, canda, tawa, dengan anakku sendiri? Tanya Pak
Ahmad pada malam yang gelap.
Aisyah
tidak pernah tahu tentang penyakit yang selama ini disembunyikan sang papa
darinya. Pak Ahmad selalu berusaha terlihat tegar, menjalani kerasnya hidup. Ia
selalu berusaha memberikan senyum terbaiknya di hadapan malaikat kecilnya,
Aisyah. Tapi, hingga rasa sakit itu semakin menggerogoti tubuhnya yang semakin
ringkih, Aisyah masih tak mau peduli. Aisyah masih belum memiliki cinta yang
utuh untuk sang papa. Aisyah lebih memilih sibuk dengan kegiatannya di luar
rumah, pergi bersama dengan teman-temannya. Hingga akhirnya, duka itu datang menghampiri.
“Aisyah,
papamu di rumah sakit.” Anton, teman satu sekolah yang kebetulan tetangga
rumahnya memberitahunya melalui pesan singkat. Dahi Aisyah berkerut dan masih
tidak percaya.
“Jangan becanda, Ton.” Balasnya, kemudian
melanjutkan perbincangannya dengan teman-teman.
“Aku
serius. Tadi papamu pingsan di depan rumah, kebetulan aku baru pulang dari
sekolah.” Ini tidak main-main, pikir Aisyah. Ia bergegas, pergi meninggalkan
teman-temannya tanpa permisi. Ada setetes embun di ujung matanya, basah bersama
rintik hujan yang menemani langkahnya yang terburu-buru. Ada sumpah serapah
pengguna jalan, karena Aisyah menyeberang tanpa melihat ke kiri dan ke kanan.
Ia nyaris tertabrak.
Pak
Ahmad terbaring lemah tak berdaya, menatap langit-langit kamar ruangannya yang
berwarna putih bersih. Ada banyak infus yang terpasang di sekujur tubuhnya. Ia
semakin tak berdaya. Aisyah datang, kemudian langsung menatap wajah sang papa
yang berusaha untuk tersenyum menyambut kedatangannya.
“Pa,
mengapa papa tidak pernah bilang? Maafkan Aisyah.” Pak Ahmad hanya mengangguk,
kemudian membiarkan putrinya mengelus keningnya yang sudah dipenuhi garis-garis
kehidupan.
Enam
bulan Pak Ahmad bertahan, dan waktu itu pun tiba. Kedua mata itu menutup,
selamanya. Dengan linangan air mata, Aisyah melepas kepergian sang papa. Aisyah
memeluk pusaran tanah berwarna merah yang menjadi pembaringan terakhir papanya.
“Pa,
jangan tinggalkan Aisyah.” Pekiknya nyaring.
Laki-laki
itu pergi, meninggalkan permata hatinya sendiri. Satu doa yang selalu ia
panjatkan pada Tuhan, sebelum ia kembali pada-Nya.
-Tuhan, jaga Aisyah, tabahkan
hatinya menjalani jalan hidup. Bimbing dia ke jalan-Mu.-
Sahabatku,
“Jangan tunggu nanti, untuk berbakti pada kedua orangtuamu, sebelum
semuanya terlambat. Jadilah anak yang selalu berbakti. Tebarlah butir-butir
bakti selagi keduanya masih ada di sampingmu. Selagi mentari itu masih mampu
bersinar di sekelilingmu.”
Tataplah wajah ayah/ibu saat keduanya sedang lelap tidur. Wajah itu
kini mulai dipenuhi garis-garis kehidupan. Tubuh keduanya kini semakin ringkih.
Bagaimana jika keduanya tidur untuk selamanya dan kita belum sempat untuk
berbakti? Jangan tunda, mulailah berbakti pada keduanya.
“Ayah/ibu
selalu berdoa agar kita menjadi orang yang sukses di dunia dan akhirat, walaupun
kita jarang bahkan jarang sekali mendoakan keduanya.”
Comments
Post a Comment
Jangan Lupa Tinggalkan Komentarnya Gan