Bengkulu,
2006
Riuh rendah suara memenuhi penjuru ruangan MAN Model Bengkulu. Sebuah sekolah
yang kualitasnya menjadi contoh untuk sekolah negeri berbasis Islam di Bengkulu. Hari ini aku duduk di barisan depan, mewakili pesantren
sebagai ketua OSIS untuk studi banding dengan OSIS MAN Model. Telingaku
menangkap dengan baik satu per satu pemaparan kegiatan OSIS dari perwakilan
OSIS MAN Model. Sambil sesekali mataku menatap ke luar jendela, langit tengah
dirundung mendung. Awan hitam terlihat jelas menggantung di atas
sana.
“Perkenalkan, nama saya Fitria
Meilinda,” terdengar suara
seorang perempuan yang sedang
memperkenalkan dirinya di depan mimbar, tapi
aku tidak menoleh. Mataku
takjub menatapi langit yang mulai meneteskan butir-butir air hujan ke bumi. Angin sepoi-sepoi masuk
melalui jendela kayu berwarna kuning keemasan, berembus menyejukkan. Seperti suara perempuan itu, entah mengapa menyejukkan
hatiku.
“Mbak, no telponnya
berapa?” tanya salah
satu dari peserta studi banding, yang ternyata
salah satu santri. Aku kembali melihat ke luar jendela. Hatiku berdenyar tiba-tiba, tapi entah mengapa tak
sanggup membuatku menoleh untuk melihat parasnya. Aku
kembali menggoreskan penaku ke buku harian yang selalu kubawa jika sedang
berpergian. Namun jari jemariku
serasa dituntun otomatis untuk menuliskan angka demi angka yang disebutkan oleh
suara perempuan itu. Kubuat lingkaran besar, kemudian kutulis sebuah
nama di pinggirnya “Fitria Meilinda”.
Nama yang akan ada di masa depanku, begitu firasat berkelebat di bawa angin
selepas hujan. Saat kututup buku harianku, perempuan yang namanya kutulis di
buku ini sudah tak nampak lagi. Tapi suaranya entah mengapa masih membekas, dan
rangkaian angka-angka ajaib yang ia sebutkan seakan sandi menuju masa depanku.
Jodoh, yakin hatiku.
^
Aku
sudah kembali ke pesantren, kembali sibuk dengan kegiatan yang ada di
pesantren. Ditambah lagi dengan kesibukanku sebagai ketua OSIS, membuat
kesibukan bertambah. Mesin tik berwarna hitam menjadi temanku, belum ada komputer
untuk OSIS, hanya ada mesin tik tua yang menjadi teman setiaku dalam
menjalankan tugas sebagai ketua OSIS.
Hari terus berganti menjadi minggu,
kemudian berganti bulan. Bulan pun berganti. Aku membacai catatan harianku,
mengenang kembali apa yang sudah kulakukan selama ini. Menulis catatan harian,
membuatku selalu ingat dengan apa yang selama ini telah kulalui, suka, duka
selama di pesantren, semua menjadi kisah indah tersendiri.
Jemariku berhenti membalik lembar
catatanku, mataku tertuju pada nomor yang ada di dalamnya, ada sebuah nama yang
tertulis di bagian pinggir nomor yang ada di dalam lingkaran itu. “Fitria
Meilinda”, itulah nama yang tertulis di buku harianku. Suara itu seakan terdengar kembali di telingaku, terasa
begitu akrab di hatiku. Ah, ini deretan nomor telepon perempuan pemilik suara
indah itu. Kemudian otak nakalku kembali berulah, mencipta takdir di antara kami.
“Fik, aku pinjam handphone-mu, dong, “ Ucapku pada Taufik yang sedang mencuci pakaian
di sumur.
“Ambil di dalam lemari,” tanpa
menanyakan lebih lanjut, aku langsung meninggalkan Taufik dengan dahinya yang
berkerut melihat tampangku seperti orang yang baru dapat arisan. Sumringah.
Taufik adalah adik kelasku di
pesantren, meski sebenarnya tidak diperbolehkan membawa handphone ke pesantren,
tapi tetap saja ada santri yang berani membawa, meski harus super hati-hati.
Karena jika ketahuan ustadz/ustadzah, alamat akan dibanting. Dan jika sudah
demikian, handphone hanya akan menjadi barang rongsokan.
Aku menghubungi nomor yang ada di diary-ku, beberapa detik kemudian,
seseorang menjawab panggilanku.
“Assalamu’alaikum,”
Aku hanya diam mematung, membiarkan
suara di ujung sana kembali mengulang ucapan salamnya. Ah, suara itu sungguh terasa dekat di hatiku. Sepersekian
detik kemudian, aku menutup telpon, kembali mematung, tersenyum sendirian,
tanpa tahu harus bicara apa dengannya. Aku
bahkan tidak tahu seperti apa wajahnya.
“Adam mulai gila,” komentar Hari,
sahabatku, sambil membawa handuk menuju kamar mandi.
Aku hanya tersenyum kepada Hari. Dan ada detak berpacu dalam hatiku. Senyumku entah
mengapa makin melebar, berbunga-bunga tanpa sebab.
“Tuh, kan, Adam sudah mulai nggak
waras, senyum-senyum sendiri nggak jelas.” Hari terkekeh, meninggalkanku yang
masih mematung sambil tersenyum tak jelas di
dekat jendela.
^
Untuk
sekian lama, aku melupakan tentang Fitria, aku sedang fokus dengan ujian
nasional. Aku tidak ingin gagal dalam mengikuti ujian ini. Aku sudah berjanji
pada diriku, bahwa aku harus lulus dan melanjutkan kuliah, meski aku tahu,
kondisi keluargaku tidak memungkinkanku untuk bisa kuliah.
“Adam mau kuliah ke Jakarta, Bu.”
Ucapku pada ibu beberapa bulan lalu. Ibu hanya tersenyum mendengar ucapanku.
Dengan penuh semangat, aku meyakinkan ibu, bahwa aku bisa kuliah. Aku percaya,
Tuhan memiliki rencana yang indah untukku.
Aku dan Hari duduk di pinggir sawah,
memerhatikan ikan-ikan yang sedang berebut makanan.
“Setelah dari pesantren, kamu mau
lanjut kemana?” Hari menanyaiku, sambil sesekali matanya menoleh ke arahku.
“Aku mau kuliah ke Jakarta.” Jawabku
mantap.
“Kamu enak, aku yakin kamu yang akan
dipilih pesantren untuk mendapatkan beasiswa ke Jakarta itu.” Lanjut Hari dengan pandangan mata yang ia lempar ke hamparan sawah.
“Amin,” jawabku pelan. Aku memang
selalu berdoa pada Allah swt, semoga aku menjadi salah satu dari dua orang yang
akan mendapatkan beasiswa itu. Pihak pesantren akan memilih dua orang lulusan
terbaik, untuk dikuliahkan di Jakarta.
“Bagaimana kabar Fitria?” tiba-tiba Hari menyebut nama itu.
“Hah? dari mana kamu tahu tentang
Fitria?” aku sempat kaget dengan pertanyaan itu.
“Dulu kamu pernah cerita tentang
nomor yang ada di buku harianmu.” Jawabnya
sambil menahan senyum.
“Nggak, aku nggak pernah cerita.” Kilahku.
Hari kemudian tergelak.
“Aku baca di buku harianmu ehehe.” Secepat kilat, Hari berlari dengan
langkah seribu, sambil tertawa penuh kemenangan. Aku hanya mendengus kesal,
saat tahu ada yang membacai catatan harianku. Itulah Hari, sahabatku yang
kadang-kadang usil. Awas saja nanti, aku akan membalasnya.
^
Aku
berhasil lulus dengan nilai yang baik, aku juga mendapatkan beasiswa S1 di
Jakarta. Puji syukur kehadirat Tuhan, atas karunia yang telah Ia berikan
padaku. Ibu meneteskan air mata, saat melihatku berdiri di atas panggung,
menerima ijazah kelulusanku dari pesantren. Ibu juga menangis bahagia, saat
namaku juga disebut sebagai penerima beasiswa kuliah ke Jakarta.
Malam belum beranjak pergi, udara
dingin menusuk kulitku. Aku duduk di depan masjid, sambil membacai kembali
catatan harianku selama enam tahun di pesantren. Ada banyak kisah lucu, suka,
duka, yang selama ini mewarnai hariku. Aku bahagia. Dan tiba-tiba, ingatanku
akan nomor yang ada di diary-ku
kembali hadir.
“Fik, aku pinjam handphone lagi,
ya.” Taufik mengangguk, sambil memberikan telpon genggam miliknya padaku. Kali
ini, aku harus bicara dengan Fitria.
Setelah menunggu, panggilanku
akhirnya dijawab. Aku yakin, suara itu adalah suara yang kudengar beberapa
bulan yang lalu, dan suara yang juga kudengar pada saat studi banding di MAN
Model Bengkulu. Pemilik suara itu pasti Fitria.
Meski gugup, aku akhirnya
memberanikan diri untuk memperkenalkan diri. Fitria terdengar ramah, menjawab
pertanyaan-pertanyaanku yang terkesan seperti wawancara. Entahlah, mungkin
karena aku jarang berinteraksi dengan perempuan, jadi aku gugup dan tidak tahu
harus bicara apa.
Tuhan, sepertinya aku jatuh cinta
dengan pemilik suara itu. Inikah yang dinamakan cinta? Cinta yang membuat degup
jantung berdetak kencang, cinta yang bisa membuat orang menjadi gila, cinta yang
kata mereka bisa membuatmu mabuk kepayang? Aku baru kenal dengan yang namanya
cinta. Tapi aku tidak seperti itu Tuhan. Ini hanya sekedar rasa yang tiba-tiba
singgah di hatiku tanpa permisi.
“Nggak boleh pacaran.” Begitu pesan
Ustadz, saat kuceritakan tentang apa yang selama ini kurasakan. Aku tidak ingin
terus menerus dihantui oleh rasa yang aku sendiri tidak mengerti.
Hari itu akhirnya tiba, aku
meninggalkan rasaku di Bengkulu, dan pergi menuju Jakarta.
“Semoga kita memang jodoh,” ucapmu beberapa
hari yang lalu, dan aku hanya mematung di depan gagang telpon umum yang kupakai
untuk mengucapkan perpisahan denganmu.
Kita akhirnya berpisah, meski memang
tidak pernah bertatap muka. Mungkin ini yang namanya cinta. Entahlah, aku tidak
pernah mengerti dengan rasa ini.
^
Jakarta,
2009
“Aku lagi di Jakarta.” Fitria
mengirim pesan singkat padaku.
Aku sedang bersiap-siap untuk pergi
ke Kudus, untuk mengisi masa liburan. Aku tidak mungkin meluangkan waktu untuk
bertemu, karena sore ini aku sudah harus berangkat ke Kudus. Aku sudah
menyiapkan semuanya.
“Jam berapa ke Kudusnya? Aku pengen
ketemu.” Fitria ingin bertemu denganku untuk yang pertama kalinya.
Ah, sungguh kejam rasanya jika aku
menolak untuk bertemu. Akhirnya, aku persilahkan dia datang ke Terminal Lebak
Bulus, dia bisa bertemu denganku sebelum keberangkatanku ke Kudus. Layaknya di
film-film romance yang sering
kulihat, mungkin ini menjadi momen itu. Aku tertawa dalam hati.
Aku mengenakan kaos oblong berwarna
putih, membawa sebuah koper berukuran besar, kemudian duduk di halte yang ada
di Terminal. Fitria sudah sampai di Terminal, aku menunggu kedatangannya
bersama dengan teman-teman yang ingin melepas kepergianku. Arghh aku
deg-deg’an. Ini pertemuan pertama.
“Adam?” seorang wanita muslimah
menyebut namaku. Dia tersenyum, kemudian menangkupkan tangannya ke dada.
“Aku Fitria.” Ucapnya pelan,
tersenyum, membuat barisan giginya terlihat. Senyumnya sunggu indah.
“Adam.” Jawabku sambil menahan
gugup. Aku menundukkan pandanganku, tak mampu beradu pandang dengannya. Aku
malu pada Tuhan.
Tidak banyak yang kami bicarakan,
hanya sekedar bertanya kabar, kemudian berpisah. Itu adalah pertemuan pertama
dan terakhirku dengan Fitria.
“Semoga kita jodoh.” Ucapnya sebelum
bus beranjak pergi meninggalkan Terminal. Sama seperti yang diucapkannya tiga tahun yang
lalu, saat aku ingin pergi ke Jakarta.
Seperti biasa, aku hanya mematung,
kemudian melambaikan tangan ke teman-teman yang ikut menghantarkan kepergianku
ke Kota Kudus. Mungkin ini yang namanya cinta. Aku masih tidak mengerti. Tuhan,
jika ini cinta, jangan Engkau jadikan ini sebagai penyebab berkurangnya cintaku
pada-Mu. Bus terus melaju, meninggalkan Jakarta bersama rasaku.
Tuhan,
jika aku jatuh cinta
Pertemukan
aku dengan wanita yang bisa membuatku lebih dekat pada-Mu
Tuhan,
jika aku jatuh cinta
Jadikan
cintaku sebagai jalan untuk lebih mencintai-Mu
Tuhan,
jika aku jatuh cinta
Izinkan
aku mencintainya karena-Mu
Comments
Post a Comment
Jangan Lupa Tinggalkan Komentarnya Gan