Matahari masih setia dengan teriknya,
memancarkan sinar yang menusuk kulit. Panas. Namun sang kakek tetap dengan
kotak kayu yang berukuran sedang miliknya, duduk di bawah terik matahari yang
ganas. Keringat bercucuran, membasahi kaos lusuh berwarna abu-abu yang ia
pakai. Sang kakek melihat kesana-kemari, namun tidak ada satu pun orang yang
menghampirinya. Matanya tetap mencari, berharap ada salah satu dari orang-orang
yang berada di alun-alun kota menghampirinya, kemudian memberikan kesempatan
baginya untuk berkerja, dan membawa pulang hasil jerih payahnya.
Jam sudah menunjukkan pukul 14.57, ia
bergegas menutup kotak kayu yang ada di sampingnya, kemudian ia beranjak
perlahan menuju masjid yang ada di dekat alun-alun kota. Langkahnya sudah tidak
lagi kuat, tubuhnya sudah tidak lagi mampu berjalan tegap dan tegas, ia sedikit
bungkuk. Rambutnya yang ditutupi oleh topi bercorak batik Banyumasan sudah
memutih. Garis-garis kehidupan terukir indah di wajahnya. Dia sudah ringkih.
Suara adzan berkumandang merdu,
sebagian warga yang sedang berada di alun-alun tetap sibuk dengan kegiatannya
masing-masing. Namun tidak dengan sang kakek yang sudah berusia senja itu, dia
berhenti dan menyiapkan diri untuk menghadap Tuhan, Sang Pencipta jagad raya.
Aku menatapnya lama, kemudian berjalan
beriringan dengannya menuju masjid. Kuambil kotak kayu yang berisi peralatan
sol sepatu, dan kubawa menuju masjid. Langkahku melambat, selambat detak waktu
yang sedang kurasakan.
Aku mengambil air wudhu, setelah
meletakkan kotak kayu milik sang kakek di teras masjid. Laki-laki yang belum
kukenal namanya itu menatap dengan pandangan kosong, kemudian berdiri mengambil
air wudhu untuk shalat ashar. Selepas shalat, sayup-sayup kudengar suara sang
kakek sedang merangkai kata menjadi doa-doa indah. Untaian doa untuk kesehatan
keluarganya, pujian syukur atas segala karunia yang telah ia dapatkan selama
hidupnya, dan sebuah mimpi yang ia panjatkan pada Allah swt.
“Kuatkan hati hamba, Ya Rabby, amin.”
Begitulah akhir dari doa yang ia
panjatkan. Aku sudah selesai melaksanakan serangkaian shalat, namun sang kakek
masih menyendiri di pojok masjid, membuka sebuah mushaf yang sudah tua,
kemudian membacanya. Ia sedang bercengkrama dengan kalam-Nya. Dan aku hanya
terdiam, menunggu sang kakek selesai beribadah.
“Saya Rahman, Pak,” ucapku sambil
mengulurkan tangan.
“Pak Dadang,” jawabnya sambil
tersenyum. Tangannya kasar karena kerasnya hidup yang harus ia lalui. Dan mata
itu, mata itu tetap berbinar, wajah yang sudah tidak lagi kencang itu tetap
bercahaya. Aku melihat kebahagiaan di raut wajahnya. Bukankah dia hanyalah
seorang tukang sol sepatu? Mengapa ada senyum kebahagiaan yang begitu
menyejukkan terukir di wajahnya? Ahhhh aku lupa. Bukankah kebahagiaan tidak
datang karena kekayaan yang melimpah? Bukan pula karena jabatan tinggi. Karena
pada hakikatnya semua orang bisa bahagia. Karena bahagia itu datang dari dalam
diri.
“Pak Dadang sudah berapa lama jadi
tukang sepatu?” Pertanyaan itu mengalir begitu saja dari mulutku. Aku berharap
pertanyaan ini tidak menyinggung perasaannya.
“22 tahun,” jawabnya sambil membuka
kembali peralatan sol sepatu yang ada di dalam kotak kayu miliknya.
Aku berpikir keras, bagaimana ia bisa
memenuhi kehidupan keluarganya hanya dengan menjadi tukang sol sepatu? Sedari
tadi aku melihatnya, belum satu orang pun yang datang menghampirinya untuk
menggunakan jasanya. Dan Pak Dadang sudah menjadi tukang sol sepatu sejak 22
tahun yang lalu. Sungguh perjuangan yang luar biasa.
“Hari ini sudah ada yang menggunakan
jasa sol sepatu, Bapak?” aku masih ingin banyak tahu tentangnya.
“Alhamdulillah, masih belum,” jawabnya
sambil tersenyum. Dan lagi-lagi senyum itu menunjukkan sebuah kebahagiaan.
Tidak sedikit pun kegundahan terlihat di wajahnya, tidak terlihat kekhawatiran
darinya. Ia tetap tenang dan tersenyum.
Kami hanyut dalam perbincangan panjang.
Tentang hidup yang kadang tidak selamanya sesuai dengan apa yang kita harapkan,
tentang rasa yang tidak selamanya ada bahagia, tentang air mata yang kadang
harus tumpah karena kerasnya hidup, dan tentang sebuah senyum tulus yang selalu
hadir di wajah rentanya.
~~
Aku
berjalan mengikuti langkahnya, menuju pemukiman yang begitu kumuh. Sampah yang
berbau busuk begitu menyengat. Aliran air yang sudah berubah warna menjadi
sedikit keruh, tumpukan barang-barang bekas yang menjadi pemandangan selama
menuju rumahnya, hingga kami pun sampai ke sebuah gubuk yang mungkin jauh dari
kata layak untuk dijadikan tempat tinggal. Sebuah gubuk yang hanya
berdindingkan papan-papan bekas, tanpa jendela dan hanya berlantaikan tanah.
Mataku tertuju pada anak kecil yang
sedang terbaring di atas dipan kayu berukuran kecil, berselimutkan kain yang
sudah robek. Dia terus meringis kesakitan, sambil memegang perutnya. Tubuhnya
kurus, mukanya pucat. Aku langsung mengerti, dialah Lintang, anak Pak Dadang yang
menderita gagal ginjal.
“Pak, Lintang belum makan.” Ucap
Lintang sambil menangis.
“Sabar, ya, Nak. Hari ini Lintang tahan
dulu. Bapak masih belum dapat uang untuk membeli beras. Lintang makan ubi yg
sudah direbus ibu, ya.” Pak Dadang mengelus kening putranya, kemudian memeluk
tubuh Lintang yang lemah tak berdaya.
“Ini Lintang, anak saya yang sedang
menderita gagal ginjal, yang tadi saya ceritakan.”
Saya hanya mengangguk dan mencoba untuk
tersenyum beberapa saat. Air mataku langsung menetes tanpa permisi, aku
menangis melihat apa yang ada di hadapanku. Aku menangis karena untuk kesekian
kalinya kata “gagal ginjal” kembali harus kudengar. Aku menangis menyaksikan
kehidupan orang-orang pinggiran yang jauh dari gemerlap kehidupan kota.
“Pak, saya permisi sebentar.”
Tidak perlu menunggu jawaban Pak
Dadang, aku langsung berlari, berlari dengan air mata yang terus merembesi
benteng pertahananku. Menangis karena sebuah rasa yang aku sendiri tidak
mengerti, menangis karena haru melihat Pak Dadang yang berjuang sedemikian rupa
untuk menghidupi anak dan istrinya.
Aku kembali, dengan beberapa bungkus
nasi dan lauk pauk yang kubeli untuk keluarga Pak Dadang. Ada senyum saat
melihat Lintang dengan lahap menyantap makanan yang kubawa. Ada bahagia yang
memenuhi rongga dada saat melihat Pak Dadang menyuapi istrinya yang juga sedang
sakit. Ah Tuhan, semoga mereka baik-baik saja, semoga mereka bisa tabah dengan
jalan hidup yang telah Engkau takdirkan.
Tiba-tiba, bayangan papi kembali hadir
dalam benakku, papi meninggal karena penyakit yang sama dengan Lintang. Pi, aku
merindukanmu. Bayangan beberapa tahun yang lalu, saat papi juga berjuang
melawan penyakit yang menggerogoti tubuhnya dan berakhir dengan kematian. Dan
aku masih percaya, semua itu adalah kehendak Sang Pencipta.
“Ada doa yang kutitipkan untukmu, Pi.”
~~
Satu tahun berlalu, kami duduk bersama
di alun-alun kota, menyaksikan keramaian di pagi hari. Aku menatap Lintang yang
sedang memacu sepedanya, dia sudah lebih baik dari Lintang yang kukenal satu
tahun yang lalu. Tubuhnya sudah lebih berisi, dia sudah bisa bermain dengan
anak-anak seumuran dengannya, dengan mengayuh sepeda yang sengaja kubelikan
untuknya.
Sejak pertemuan satu tahun yang lalu,
Pak Dadang dan Bu Dadang ku ajak kerja di rumah, sedangkan Lintang, dia
menemani hari-hariku. Aku bahagia karena sudah menjadikannya bagian dari
hidupku. Kini Pak Dadang sudah tiada. Ia sudah kembali kepada Tuhan. Hanya ada
aku, Bu Dadang, dan Lintang. Kotak kayu yang dulu pernah menjadi bagian dari
hidup Pak Dadang, kini masih tersimpan rapi di meja kamarku. Pak Dadang sudah
mengajarkanku banyak hal. Dan aku mensyukuri semua itu.
“Pa, Lintang kesana sebentar, ya.”
Aku hanya bisa tersenyum sambil menganggukkan
kepala. Panggilan itu kini melekat padaku, meski aku belum menikah.
“Jangan jauh-jauh, ya, Nak.”
Lintang kini sudah kuangkat menjadi
anak. Aku bahagia meski Lintang harus terus berjuang dengan berbagai macam
proses pengobatan. Tuhan, hanya ini yang bisa kulakukan. Izinkan aku bahagia
dengan segala keputusan yang kubuat.
Lintang, teruslah tumbuh, Nak.
Comments
Post a Comment
Jangan Lupa Tinggalkan Komentarnya Gan