Pada saat
pembelajaran Al-Qur’an sudah selesai, saya mengajukan sebuah pertanyaan pada
Faraj.
“Tadi malam hafalannya disiapin, nggak?” Tanya
saya pada Faraj yang sedang mencoba untuk menghafal surat Al-Insan.
“Nggak, Ustadz. Waktuku padat
banget. Aku bingung kapan mau nyiapin hafalan untuk hari ini. Kemarin les ama
Ustadz, setelah itu les di LIA sampai sore, malamnya juga ada les, terus hari
ini ada UTS. Padat banget, Ustadz.”
“Terus gue harus bilang wow, gitu?”
Tanya saya iseng, biar dia tidak terlalu tegang.
“Nggak usah, Ustadz.” Jawabnya sambil menundukkan kepala.
Saya tersenyum, kemudian saya mempersilahkan dia untuk
kembali ke kelas untuk mengikuti pelajaran selanjutnya, tidak lupa saya
ingatkan agar ia menyiapkan hafalannya untuk pertemuan selanjutnya. Faraj
menjabat tangan saya, kemudian berlalu pergi meninggalkan saya di masjid.
∞∞
Baik,
sekarang coba perhatikan alasan Faraj tidak menyiapkan hafalannya. Alasannya
adalah dia tidak memiliki waktu untuk menyiapkan semua itu. Lebih tepatnya dia
masih kesulitan untuk membagi waktunya sebaik mungkin.
Setelah perbincangan pendek saya dengan Faraj, saya menatap
kosong ke langit-langit masjid, mencoba mencari jawaban atas apa yang ada di
dalam benak saya. Saya sedang berpikir, berusaha untuk menjawab pertanyaan yang
tiba-tiba muncul begitu saja dalam benak saya.
“Les tambahan itu perlu, nggak sih?”
Pertanyaan itu menari-nari indah, menunggu sebuah jawaban
yang akan datang menghampirinya. Ia mengaduk-ngaduk isi kepala saya, meminta
jawaban sesegera mungkin. Namun saya acuh.
Saya berhenti mencari jawaban atas pertanyaan itu, saya
memilih untuk menikmati segelas susu kedelai yang ada di meja. Beberapa saat
kemudian, pertanyaan yang serupa kembali muncul,
“Les tambahan, perlukah?”
“Menurut saya, les
tambahan itu perlu, namun harus bisa menyesuaikan dengan kondisi anak. Pertanyaan
yang muncul kemudian, dari semua les yang anak-anak ikuti, manakah yang
bertahan dan betul-betul ia pahami? Otak mereka tak henti mencoba untuk
memahami semua materi yang ada.” Komentar seorang guru.
Saya masih memandang dengan pandangan kosong.
Sebenarnya sudah beberapa kali Faraj mengutarakan alasan yang
sama,
“Semalam ketiduran, Ustadz.”
Ia sering ketiduran karena lelah. Lelah dengan segudang
aktifitas yang ia lakoni sehari-hari. Dia bahkan jauh lebih sibuk dari saya
(mungkin hehe).
Saya mencoba untuk mengingat kembali saat-saat dimana saya
seumuran dengannya. Perbedaan antara saya dengan Faraj jauh panggang dari pada
api.
Dulu, saya tidak pernah mengambil les tambahan, karena memang
saya berusaha untuk paham dengan materi saat di sekolah. Bukan berarti saya
beranggapan bahwa Faraj tidak serius ketika proses belajar sedang berlangsung,
bukan itu yang saya maksud.
Dulu, Saya tidak akan keluar kelas, sebelum saya bisa
memahami apa yang dijelaskan oleh guru. Saya tidak akan mau beranjak dari
bangku, hingga saya benar-benar memahami materi yang dipelajari hari itu.
Sepulang sekolah, saya bermain dengan anak-anak yang sebaya. Saya menikmati
masa kanak-kanak dengan penuh keceriaan.
Kadang saya berpikir, anak-anak yang sehari-harinya sibuk
dengan les ini itu,“Kapan mereka punya waktu untuk menikmati kegembiraan masa
kanak-kanak? Kapan waktu istirahat mereka?”
Jika hampir setiap hari, pulang sekolah dilanjutkan dengan
les tambahan, saya yakin mereka tidak mempunyai waktu yang cukup untuk
berekspresi dengan dunia mereka, dunia anak-anak. Dimana canda tawa selalu
hadir dalam keseharian mereka. Bukan malah menghadirkan kerutan-kerutan di
wajah karena terlalu banyak mikir.
Bukan saya melarang mereka untuk ikut les tambahan, akan
tetapi jangan terlalu diforsir. Jangan terlalu padat waktunya. Beri mereka
waktu yang cukup untuk berkreasi dengan dunia mereka, jangan sampai kemampuan
mereka menjadi terhenti karena terlalu sibuk. Tadinya kita berharap dengan
adanya les tambahan, mereka akan menjadi lebih mengerti, malah menjadi
sebaliknya, mereka semakin pusing dan membuat semuanya menjadi percuma.
Anak-anak sekarang jauh berbeda dengan anak-anak zaman saya
masih kecil. Itu wajar, karena memang waktunya pun jauh berbeda. 10 tahun yang
lalu, sepulang sekolah saya biasa bermain kelereng, main petak umpet dengan
teman-teman, mencari belalang di sawah dan lain sebagainya.
Setelah selesai bermain, kami akan pulang ke rumah
masing-masing, menyiapkan diri untuk pergi mengaji Al-Qur’an di langgar-langgar
yang ada di desa. Malam hari adalah waktu saya untuk belajar. Pada saat itu,
saya tidak sesibuk murid-murid saya sekarang.
Saya mencoba untuk mencari tahu lebih banyak tentang alasan
anak-anak mengikuti les tambahan, baik itu di BimBel, di sekolah, maupun di
tempat-tempat yang lain. Simaklah jawaban mereka di bawah ini,
“Saya ikut les Bahasa Inggris karena disuruh
oleh Orang tua. Jujur, saya bosan dengan kegiatan les. Saya hanya suka dengan
les drum, karena memang itu adalah keinginan saya sendiri, bukan paksaan.”
“Saya mengikuti les karena pelajaran di sekolah
kadang susah untuk dimengerti. Di tempat les saya bisa lebih paham dari pada
penjelasan guru-guru di sekolah.”
“Ingin pintar, jadi sengaja ikut les, meski
waktu istirahat jadinya sedikit, waktu bermain dengan teman-teman juga
terbatas.”
“Teman-teman banyak yang ikut les, saya jadinya
juga ingin ikutan les.”
“Jika Orang tua mempunyai waktu untuk menemani
saya belajar di rumah, mungkin saya tidak akan ikut les tambahan. Tapi
masalahnya Orang tua saya sibuk, tidak pernah mempunyai waktu untuk menemani
saya belajar. Oleh karena itu, saya ikut lest tambahan.”
Dan masih banyak lagi jawaban dari anak-anak.
Les itu penting, tapi harus juga selektif dan tepat memilih.
Dan sesuai dengan kebutuhan, bukan keinginan belaka. Pilihlah les yang
benar-benar dibutuhkan buat menjadikan diri kita lebih memiliki manfaat di
masyarakat kelak. Les nggak mesti harus di BimBel. Apalagi kalo tujuannya hanya
buat eksistensi, nyari komunitas, ngegaya dan sok beken aja!
Kadang saya masih belum bisa mencerna dengan akal sehat saya,
sejak TK sudah ada anak-anak yang ikut les. Lah zaman saya seumuran gitu masih
seneng-senengnya main. Anak-anak zaman sekarang itu super keren. Aihh sungguh.
Jangan lupa juga dengan kewajiban kita menuntut ilmu Islam.
Kalau ngaku beriman, harus mau meluangkan waktu untuk mempelajari ilmu agama.
Coba perhatikan sekolah sekarang (di luar pesantren, MTs/MA, atau sekolah IT),
jam pelajaran agama hanya sedikit. Apa yang bisa diperoleh dari jam yang hanya
sedikit itu? Sementara seluruh aspek kehidupan melibatkan hukum syari’at.
Perlu diingat, bahwa Pendidikan
ideal adalah, tatkala mampu menghasilkan rasa takut kepada ALLAH bagi sang
pembelajar dan pengajarnya. Perhatikanlah! Allaahu a’lam.
Survei sudah membuktikan, bahwa memforsir otak anak bisa mrusak otak mereka.
ReplyDeleteSebenarnya, maksud les sendiri adalah sebagai suplemen di sekolah, tapi kalau seperti kasus murid ibuk saya rasa~ juga tidak selamanya baik.
Artikel yang menarik, bunda :)
terimakasih sudah mampir, sebelumnya mohon maaf, saya guru laki-laki :) yang ada di gambar itu bukan saya, akan tetapi rekan guru yang kebetulan sedang mengajar saat saya mengambil gambarnya. :)
Delete