Jum’at, 19 Oktober 2012
Kematian
memang misteri, tidak ada yang bisa memastikan kapan seseorang akan kembali ke
sisi Allah SWT, Tuhan yang telah menciptakan semua yang ada. Kematian juga
menghadirkan sungai yang dipenuhi oleh linangan air mata duka, duka karena
kehilangan orang yang dicintai.
“Lantas, jika memang kematian sudah pasti terjadi, siapkah
kita menghadapinya?”
Saya sendiri kerap terdiam jika ada yang mengajukan
pertanyaan tentang itu. Saya masih merasa belum siap jika harus kembali ke
sisi-Nya, sementara noda hitam memenuhi relung hati ini. Tapi, satu doa yang
selalu saya panjatkan, semoga saya kembali ke sisi-Nya dalam keadaan husnul khotimah. Amin.
Kali ini, saya ingin menuliskan tentang salah satu murid
saya, namanya “Nida Hasna Zain”. Saya memang tidak terlalu banyak tahu tentangnya.
Saya juga tidak pernah mengajar di kelasnya. Saya juga tidak pernah berbicara
langsung dengannya.
Nida menderita penyakit thalasemia sejak masih kecil. Jika
melihat senyumnya, kalian tidak akan pernah mengira bahwa dia menderita satu
penyakit yang terus menggerogoti tubuhnya. Senyum yang terlukis indah di
bibirnya menutupi segala rasa sakit yang ada pada dirinya. Itulah Nida, satu
sosok yang tidak pernah berkeluh kesah tentang penyakitnya. Dia hanya berkeluh
kesah pada orangtuanya dan Allah SWT, sebagai satu-satunya tempat untuk
mencurahkan segala rasa yang ada di dada.
Saya tidak banyak tahu tentang thalasemia, saya mencoba untuk
membaca beberapa keterangan mengenai penyakit ini, inilah yang saya dapatkan.
“Thalasemia
memang merupakan salah satu penyakit menahun, yang diturunkan dalam keluarga,
dan menyebabkan timbulnya anemia, mulai dari anemia ringan sampai berat. Anemia
adalah kondisi di mana kadar hemoglobin (Hb) dan sel darah merah dalam darah
menurun. Hemoglobin berfungsi mengikat dan membawa oksigen ke seluruh tubuh.
Menurut
dokter Zubairi Djoerban, spesialis penyakit dalam dan guru besar FKUI, pada
penderita thalasemia terjadi perubahan atau mutasi gen, yaitu pembawa kode
genetik untuk pembuatan hemoglobin. Akibatnya kualitas sel darah merah tidak
baik dan tidak dapat bertahan hidup lama, tidak bisa bertahan sepanjang hidup
sel darah merah normal. Manifestasi yang dirasakan pasien adalah cepat capai,
terlebih bila naik tangga atau harus berjalan cepat, apalagi berlari.
Thalasemia
memang diturunkan dari orangtua ke anaknya, baik laki-laki maupun perempuan.
Bila gen penyebab thalasemia berasal dari kedua orangtua-nya (ayah dan ibu),
maka seseorang dapat menderita thalasemia dengan manifestasi klinis sedang
hingga berat.
Namun
bila gen penyebab thalasemia hanya diturunkan dari salah satu orangtua, maka
umumnya anak tersebut hanya menderita thalasemia dengan manifestasi klinis yang
ringan, bahkan kadang tidak ada gejala klinis yang timbul. Orang dengan gen
pembawa thalasemia namun tanpa gejala ini disebut pembawa sifat atau karier
(carrier) thalasemia. Walaupun tanpa gejala, karier thalasemia tetap akan
menurunkan gen pembawa sifat thalasemia ini pada keturunannya.”
Saya
merinding membaca penjelasan di atas, terbayang di dalam benak saya bagaimana
Nida berjuang untuk tetap bertahan hidup.
Nida tidak hanya dikenal sebagai anak yang tangguh, dia juga
cerdas, dan sangat sabar. Dia bersabar dengan ujian demi ujian yang harus ia
lewati di usianya yang masih muda. Dia bersabar dengan ujian yang Allah SWT
berikan padanya, karena memang ujian demi ujian yang Allah berikan tentu
mempunyai maksud tertentu. Allh SWT menginginkan hamba-Nya untuk lebih
mendekatkan diri pada-Nya, dan Allah akan mengangkat derajat mereka yang
bersabar dengan ujian yang Ia berikan.
Bagi Nida, sakit yang telah Allah berikan padanya tidak
membuatnya lupa akan Tuhan. Karena dalam kondisi apa pun, Allah SWT harus tetap
ada di dalam hati. Allah mempunyai rencana yang indah bagi setiap hamba-Nya.
Maka dari itu, bagi Nida, senyum tetap harus ada, meski jalanan yang ia lalui terjal
dan berliku.
Nida sempat tidak masuk sekolah dua bulan lamanya. Dia
mengalami penurunan kesehatan yang cukup signifikan saat ia di kelas VIII. Saat
itu, dia tidak bisa berjalan karena memiliki kadar zat besi yang berlebihan.
Kadar zat besinya pernah mencapai 19000 dan membuatnya tak berdaya. Tapi bukan
Nida namanya jika menyerah begitu saja, dia tetap tegar.
Sejak kelas IX, Nida tetap pergi ke sekolah, meski hanya dari
pukul 08.00-12.00. Ia pernah memaksakan diri untuk mengikuti pelajaran sampai
pukul 14.30, karena dia tidak ingin terlalu banyak ketinggalan pelajaran. Tapi,
Nida hanya mampu bertahan beberapa hari saja, kemudian kesehatannya semakin
menurun dan membuatnya tidak masuk sekolah selama dua minggu.
Nida adalah murid saya yang begitu tangguh. Saya sering
melihat ia datang meski harus dibantu menuju ke kelas, saya kerap kali melihat
wajahnya yang begitu tegar menjalani hidup yang penuh dengan berbagai macam
cobaan. Ahh.. Nida, engkau begitu tegar, Nak.
Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, Nida sempat berpesan
kepada kedua orangtuanya, untuk menyampaikan permintaan maaf kepada
teman-temannya di sekolah, dan juga rekan-rekan guru yang selama ini sudah
mendidiknya dengan baik.
Nak, saya memang tidak sempat mengucapkan perpisahan, saya
juga tidak sempat menjengukmu, saat engkau terbaring lemah tak berdaya di rumah
sakit. Akan tetapi, doa akan saya panjatkan pada Ilahi Rabbi, semoga engkau
kembali pada-Nya dengan jiwa yang tenang.
Nida, rintik hujan membasahi semesta, saat pertama kali saya
tahu bahwa engkau sudah pergi dan tidak akan kembali. Ada air mata yang menetes
bersama tetesan air hujan yang jatuh membasahi bumi. Secepat itu kah engkau
harus pergi, Nak?
Nida, pergilah, Nak. Jangan lagi engkau menoleh ke belakang,
berjalanlah, melangkahlah dengan penuh keyakinan bahwa Tuhan akan menempatkanmu
di tempat yang layak di sisi-Nya.
“Aku tidak percaya,” teriakku pada malam yang dingin. Saya
masih tidak percaya dengan kepergianmu, Nak. Namun, lagi-lagi hanya teriakan
kosong yang bisa saya ucapkan.
Nida, begitu banyak orang-orang yang merasa kehilangan akan
dirimu, Nak. Itu sebagai bukti bahwa engkau sudah menebar benih-benih kebaikan
yang akan selalu tumbuh di hati mereka yang engkau tinggalkan.
Nak, langkahmu memang sudah berhenti sampai disini, tapi
kenangan tentangmu akan abadi di hati kami.
Nida, jemari ini tetap merangkai kata untukmu, Nak. Kata-kata
yang terangkai menjadi kalimat-kalimat yang bermakna, yang saya tulis untukmu.
Meski saya tahu, engkau tidak akan pernah membaca apa yang saya tulis untukmu,
Nak.
“Rintik hujan masih menitik perlahan, jatuh bersama tetesan
air mata orang-orang yang mencintaimu, Nak. Pergilah, kami rela melepasmu. #Nida
“Pergilah, Nak. Jangan Engkau menoleh ke belakang,
berbaringlah dengan damai di alam sana. Doa kami akan selalu menyertaimu. #Nida
"Aku tidak percaya," teriakku pada malam yang
dingin, belum sempat kuucapkan kata perpisahan padamu, namun takdir memisahkan.
#Nida
"Ini hanya mimpi," ucapku lirih pada angin yang
berhembus. Nak, langkahmu memang berhenti sampai disini, namun kebaikanmu abadi.
#Nida
“Kucoba untuk mengingat kembali raut wajahmu, wajah penuh
semangat, berjuang menahan sakit yang diderita. Engkau sudah berusaha, Nak. #Nida
“Kucoba untuk merapal namamu di tengah malam yang gemerlap,
"Nida", semua tentangmu akan selalu ada di langit hati kami. #Nida
Malam
semakin larut, saya masih dengan duka yang menyelimuti hati. Baru kali ini saya
merasakan kehilangan seorang murid, meski saya tidak terlalu banyak tahu
tentangnya. Hati ini terasa tercabik-cabik, meronta, mencoba untuk menerima
semua takdir yang sudah Allah gariskan. Tuhan, relakan hati ini menerima
keputusan-Mu.
dulu jaman saya masih di bangku kuliah, ada seorang ibuk2 yang rela ngekos bersama seorang anaknya yang penderita thalasemia tad. anaknya cowok. masih sd. ibuk ini ngekos biar dia lebih deket ke rumah sakit buat kontrol tiap bulan di rumah sakit. mesti ga tega melihat anak sekecil itu harus menahan sakit yang perih walau dia tanpa ngaduh.
ReplyDeletesemoga nida tenang di sana tad. :(
Amin. semoga :)
Delete