Akmal
Minggu, 30 September di Alun-Alun Kota Purwokerto.
Seperti
biasa, hari ini saya memacu sepeda dengan penuh semangat. Jalanan masih
lengang, hanya beberapa kendaraan roda dua yang sesekali melintas. Namun saya
sudah terlanjur janji dengan murid saya untuk bertemu pukul 5.30 tidak jauh
dari alun-alun. Hari ini memang lebih pagi dari biasanya. Biasanya saya dan
murid mulai bersepeda pada pukul 6 pagi. Namun pagi ini lebih awal karena kami
tidak ingin seperti minggu lalu. Minggu lalu kami tidak berhasil menikmati
gudeg asli yang ada di Pasar Wage Purwokerto.
Pukul
5.20 saya sudah berada di tempat janji bertemu. Faraj dan Akmal masih belum
datang. Tidak perlu menunggu terlalu lama, Faraj pun menampakkan batang
hidungnya. Namun si Akmal masih belum hadir. Saya dan Faraj memutuskan untuk
menunggu Akmal terlebih dahulu. Dan tepat pukul 5.50, Akmal masih belum ada
tanda-tanda akan hadir. Saya dan Faraj memutuskan untuk pergi tanpa Akmal.
Yupz…berbeda dari biasanya, hari ini hanya saya dan Faraj yang bersepedaan
bareng tanpa ada Akmal.
Faraj
Sudah
pukul 6 lebih, kami segera bergegas menuju tempat gudeg asli yang ada di Pasar Wage.
Konon gudeg yang satu ini super enak dan sudah terkenal. Saya tahu tentang
gudeg ini dari Faraj. Ini kali kedua kami berniat untuk menikmati gudeg ini.
Dan lagi-lagi kami kalah gasik alias terlambat. Saat kami sampai, gudeg yang
terkenal enak itu sudah habisss…. #elus dada. Ini kegagalan untuk yang kedua
kalinya. Saya gagal menaklukkan gudeg (bahasa apa iniii??? :p)
Sambil
nyengir, saya dan Faraj memacu sepeda dan kembali ke alun-alun Kota Purwokerto.
Alun-alun sudah dipenuhi oleh masyarakat yang menikmati minggu pagi bersama keluarga.
Ada juga anak-anak yang sibuk dengan sepatu roda mereka, atau ada juga yang
sibuk bermain dengan bola plastik yang sengaja mereka bawa dari rumah dan
mereka mainkan bersama dengan sahabat-sahabat mereka.
Sepertinya
untuk masalah makanan “Faraj” memang ahlinya. Faraj bilang ada jualan serabi di
jalan Bank. Kami pun langsung meluncur dengan semangat 45 #lebay.
Alhamdulillah, tidak bisa menikmati gudeg tak apa, asal masih bisa menikmati
serabi keju di jalan Bank. Serabinya enak kok #beneran :p
“Ini
kenapa nggak ada kuahnya?” komentar saya saat serabi sudah siap saji.
“Yang
ada kuahnya itu serabi Solo, Ustadz.” Jawab Faraj sok tahu.
Saya
hanya nyengir.
Selang
beberapa lama, saat saya dan si Faraj sedang menikmati serabi. Tiba-tiba mobil
berwarna putih berhenti di dekat tempat kami makan serabi.
“Itu
kayanya Ummi, deh.” Ucap saya sambil menunjuk ke arah mobil.
Dan
Faraj pun langsung mengikuti jari telunjuk saya,
“Iya,
Ustadz, itu Ummi.”
Faraj
langsung menghampiri umminya. Saya hanya berdiri dan menangkupkan kedua tangan
di dada.
“Sudah
sepedaan kemana aja, Ustadz?” Tanya Ummi Faraj.
“Baru
sampai Pasar Wage.” Jawab saya sambil menyesap air putih dalam gelas yang sedang saya pegang.
Faraj
kembali duduk di sebelah saya, membiarkan umminya berdiri sambil menunggu
pesanan serabinya, kemudian menyembunyikan segelas kopi yang tadi dia pesan
haha, dia takut ketahuan umminya. Padahal sejak awal saya sudah bilang ndak
usah minum kopi. Namun dia tetap pengen minum. Katanya sudah luamaaaa banget
nggak minum kopi.
“Persis
kayak bapak-bapak kalo Mas minum kopi.” Komentar saya saat Faraj memesan kopi.
Sepertinya
memang sudah rizki saya pagi ini, ternyata serabi yang kami makan sudah dibayar
oleh Ummi Faraj.
“Ustadz,
serabinya udah dibayar ama Ummi.” Ucap Faraj sambil kembali menyesap kopi yang
masih hangat.
“Kopinya
juga?”
“Kayaknya
belum.” Jawab Faraj.
Walhasil,
saat kami mau membayar kopinya, ternyata kopi juga sudah dibayar ama umminya.
Segelas
kopi itu pun tuntas dimulut Faraj, sambil sesekali ia merasai lidahnya yang
kepanasan. Dan masalah umminya, saya juga ndak tahu apakah dia tahu bahwa
sebenarnya yang memesan kopi itu Faraj. Yang jelas, Faraj sudah janji bahwa ini
adalah kopi terakhir (udah kayak judul lagu aja deh lol).
Setelah
selesai menikmati serabi, saya dan Faraj kembali melanjutkan perjalanan. Saya
memakai sepedanya dan dia memakai sepeda saya (sepeda hasil minjem lebih
tepatnya.). Saat sedang bersepeda, pandangan saya tertuju pada kelompok
anak-anak SMP yang berpakaian super aneh itu, dengan make up yang super
ancurrrr di wajah mereka. Sepertinya mereka LDK.
Orang-orang aneh :p
Saya
memegang perut yang sakit karena tawa. Saya tertawa saat tahu bahwa beberapa
orang yang memakai daster dan jilbab itu adalah laki-laki. Hadeuhhhh hancurrrr.
Saya baru menyadari itu beberapa saat setelah lensa kamera saya mengabadikan mereka
yang sedang berjalan berombongan. Si Faraj sudah lebih dulu menyadari hal itu.
Aneh. J
Itulah
cerita hari ini. Sepedaan tetap berjalan meski Akmal ndak ikut. Minggu depan
saya bertekad akan berangkat lebih pagi lagi, demi menikmati gudeg asli yang
sudah terlanjur membuat saya penasaran. #logout.
pak guruu.. yg ada kuahnya serabi bandung bukannya?? setahu saya, serabi solo ya ndak ada kuahnya gituh..
ReplyDeletehaha besok saya protes ke Faraj deh :D
Delete