“Nak, kamu
mau kan menemui ayahmu?”
Aku
tidak ingin menjawab pertanyaan Ibu, aku masih enggan untuk memberikan maaf
pada laki-laki yang dulu pernah kupanggil “Ayah”. Aku sudah pernah berjanji
pada diriku bahwa aku tidak akan pernah mau menerima kehadirannya kembali dalam
hidupku setelah apa yang dia lakukan pada Ibu. Aku tidak pernah berharap dia
kembali dalam kehidupanku. Aku bahkan tidak pernah ingin menyambut kedua
tangannya yang sudah dipenuhi garis-garis kehidupan. Dia sudah tua renta dan aku
berharap dia segera pergi meninggalkan dunia ini, agar aku tidak lagi bertemu
dengannya.
“Tara….”
Aku
tersentak dari lamunan kebencianku, kemudian melihat Ibu yang tersenyum menahan
sakit yang ia derita.
“Apa
yang sedang kamu pikirkan, Nak?”
Aku
hanya menggelengkan kepalaku tanpa menjawab pertanyaan Ibu. Aku tidak ingin
jika Ibu tahu tentang apa yang sedang ada dalam benakku. Karena aku tahu Ibu
tidak akan pernah suka jika kebencian ini terus bersarang dalam hatiku. Ibu
sudah beberapa kali mengajakku mengunjungi Ayah yang sekarang ada di panti
jompo di bilangan Jakarta Barat. Ibu pernah mengutarakan keinginannya untuk
membawa Ayah ke rumah dan merawatnya, akan tetapi keinginan Ibu tidak
kusetujui. Entah apa yang ada di dalam pikiran Ibu tentang Ayah yang sudah
menyakiti hatinya, yang sudah menyebabkan luka yang begitu besar, namun Ibu
tetap berbaik hati pada Ayah.
“Tara….jawab
pertanya..an Ibu.” Ibu mengulangi pertanyaannya entah untuk yang keberapa
kalinya sambil memegang kedua tanganku.
“Berjanjilah
pada Ibu, kamu akan mengunjungi ayahmu dan menerimanya kembali. Kamu mau kan
janji sama Ibu?”
Ah…
pertanyaan itu sama sekali tidak ingin kudengar.
“Tara,
kamu mau kan janji ama Ibu?”
Air
mataku terus berlinang, berat rasanya menjawab pertanyaan Ibu dan mengabulkan
permintaannya. Karena luka ini terlalu dalam untuk kuobati, luka ini sudah
terlalu parah menggerogoti rasaku yang sudah tidak lagi ada untuk seorang Ayah
yang kenangan tentangnya sudah lama kukubur dalam perjalanan rasaku. Namun,
jika Ibu sudah begini, hatiku pun luluh dan tidak sanggup untuk mengatakan
“tidak” padanya.
Aku pun
mengangguk,
“Iya,
Bu, Tara janji akan merawat Ayah sebagaimana Ibu merawat Ayah.” Kalimat itu
mengalir perlahan dari mulutku tanpa disertai dengan hati. Hanya mulutku yang
menyetujui, namun hatiku memberontak.
***
“Mas,
jangan ceraikan aku. Aku tidak ingin jika Tara….”
Belum
selesai ucapan Ibu pada Ayah, Ayah sudah pergi meninggalkan Ibu yang menangis
sesenggukkan di ruang tamu. Umurku yang masih belia belum bisa mengerti akan apa
yang sebenarnya terjadi pada Ayah dan Ibu. Aku hanya bisa berlari menghampiri
Ibu, memeluknya dan mengusap air mata pilu yang membasahi pipinya.
“Ibu,
jangan nangis.” Begitulah ucapku pada Ibu.
Aku
tumbuh menjadi anak yang sangat berbakti pada Ibu. Dia lah yang selama ini
menjadi alasan mengapa aku masih ada di dunia ini. Aku pernah mencoba melukai
diriku sendiri, berharap ajal akan segera menghampiriku. Namun, semakin aku
mencoba untuk mengakhiri hidup, kehadiran Tuhan semakin terasa dalam hidupku
dengan cara yang kadang tidak kumengerti. Tuhan hadir dalam hatiku.
Aku
pernah membenciNya, aku pernah mengucapkan sumpah serapah padaNya karena telah
membuat Ibu menderita. Namun Tuhan memang tidak pernah tidur, ia membimbingku
dengan perlahan menuju pintu keridhoanNya. Aku pun merasakan kehadiranNya yang
begitu dekat dalam tiap hembusan nafasku. Aku mulai mencintaiNya, meski
kecintaanku padaNya kadang masih terhalang oleh kaki-kaki nafsu yang masih
berdiri tegak dalam diriku.
Ibu
berjuang membesarkanku sendiri, bahkan Ibu berjanji pada dirinya sendiri bahwa
ia tidak akan pernah menikah lagi. Terlalu sakit hati Ibu jika harus menikah
lagi. Ibu tidak siap jika harus mengalami hal yang serupa dengan apa yang ia
alami selama hidup bersama dengan Ayah. Ibu sering dicaci maki, Ibu sering
dipukul hingga meninggalkan bekas memar di sekujur tubuhnya. Meski demikian,
Ibu tetap mencoba untuk mempertahankan bahtera rumah tangganya walau harus
menahan sakit. Ibu melakukan semua itu karena tidak ingin melihatku tumbuh
tanpa ada kehadiran seorang Ayah di sampingku.
Tapi,
Tuhan ternyata menghendaki perpisahan terjadi. Ibu memang tidak pernah
mengajukan gugatan cerai, namun Ayah lah yang menghendaki perceraian itu
terjadi. Dan jadilah Ibu seorang janda.
Sekian lama
tidak pernah kudengar kabar tentang Ayah, aku tumbuh menjadi dewasa. Ibu
menyekolahkanku hingga perguruan tinggi. Dan hari itu, kudengar Ibu
bercakap-cakap dengan seseorang di handphonenya. Aku bisa mendengar Ibu
menyebut nama Ayah, kemudian dia menangis dan bergegas masuk ke dalam kamarnya,
memasukkan beberapa barang ke dalam tasnya dan pergi meninggalkan rumah. Ibu
tidak memberitahuku kemana dia pergi, Ibu juga tidak pernah memberitahuku
tentang apa yang terjadi dengan Ayah sehingga Ibu menangis.
Selama
hampir tiga tahun lamanya, ternyata Ibu sering mengunjungi panti jompo yang ada
di Jakarta Barat. Mang Ujang yang selalu mengantar Ibu pergi kesana. Ibu mengunjungi
Ayah yang sudah renta dan mengurus keperluan Ayah. Dan saat mengetahui itu
semua, aku sempat marah besar pada Ibu.
“Mengapa
harus Ibu yang mengurus Ayah? Kemana perempuan yang telah merebut Ayah dari
Ibu? Mengapa dia tidak mengurus laki-laki itu?” Segudang pertanyaan kuajukan
pada Ibu. Ibu hanya menangis mendengar kemarahanku yang memuncak. Ibu hanya
menjawab dengan kalimat yang membuatku terdiam,
“Sudah
cukup kebencian Ibu pada ayahmu. Sepantasnya engkau pun memberikan maaf
padanya. Melakukan hal yang serupa dengan apa yang Ibu lakukan buat ayahmu. Walau bagaimana pun dia ayahmu, Tara.
Bukan kah Tuhan Maha Pengampun pada hambaNya yang bertaubat?”
Kalimat
itu masuk ke sanubariku, kemudian membenarkan ucapan Ibu di tengah kebencian
yang memenuhi rongga dadaku. Aku pun diam.
“Jika
Ibu saja bisa memberi maaf pada Ayah, lantas mengapa aku tidak bisa?” Tanyaku
dalam hati.
***
Kini Ibu
sudah tiada, sudah dua bulan Ibu pergi meninggalkanku. Dan aku masih belum
terketuk untuk mengunjungi Ayah. Mang Ujang terus memaksaku untuk mengunjungi
Ayah walau hanya sejenak. Namun hatiku masih belum bisa mengatakan “iya”.
Hatiku masih berontak tiap kali kakiku mencoba untuk melangkah mengikuti
permintaan Mang Ujang. Hingga akhirnya Mang Ujang memberikan selembar surat
yang membuatku tak henti-hentinya menangis, menyesali apa yang sudah kulakukan.
Tara,
Anakku
Ayahmu
memang pernah menelantarkanmu, namun dia sudah menyesali perbuatannya. Dia
sudah berusaha untuk menjadi lebih baik. Dia selalu menanyakan tentangmu di
setiap kunjungan Ibu. Ia sering menangisi apa yang sudah ia lakukan padamu. Dia
begitu ingin bertemu denganmu sebelum ajal memanggilnya. Pergilah, Nak. Temui
ayahmu.
Anakku, ada
satu rahasia yang tidak sanggup untuk Ibu katakana padamu. Biarlah Mang Ujang
yang memberikan selembar surat ini padamu, dan Ibu berharap engkau akan
menerima kenyataan ini dengan lapang dada.
Tara…anakku,
ayahmu lah yang sudah membesarkanmu saat Ibu kandungmu meninggal. Ayahmu juga
lah yang menjagamu selama kurang lebih dua tahun lamanya saat engkau masih
bayi. Ibu kandungmu meninggal saat berjuang melahirkanmu. Sedangkan Ibu baru menikah
dengan Ayahmu dua tahun setelah kepergian Ibumu.
Maafkan
Ibu, Nak. Maafkan Ibu baru sanggup memberitahu tentang hal yang sebenarnya.
Terlepas apa yang sudah dilakukan oleh Ayahmu, maafkanlah dia. Ibu tidak bisa
menjelaskan terlalu banyak padamu, tangan ibu tidak sanggup menuliskan
penjelasan terlalu banyak. Temui ayahmu dan maafkanlah dia. Berbaktilah
padanya, beri dia maafmu yang tulus. Jangan biarkan ia mengakhiri hidup dengan
perasaan bersalah yang terus menggerogoti kesehatannya. Ia tidak sekuat yang
dulu lagi, Nak. Maafkan ayahmu.
Setelah
membaca surat dari Ibu, aku menangis dan memukul Mang Ujang karena dia
terlambat memberikan surat Ibu padaku.
“Ibu
bilang, nanti kalo memang Den Tara tidak mau mengunjungi Bapak, baru surat ini
diberikan pada Aden.” Begitulah penjelasan Mang Ujang.
Aku
memaksa Mang Ujang untuk mengantarkanku langsung ke panti jompo tempat Ayah
bernaung dari panas dan teriknya matahari di usia senjanya. Kulihat jam
tanganku menunjukkan pukul sepuluh malam dan aku tidak ingin menunda lagi
pertemuanku dengan Ayah.
Akan
tetapi, semua sudah terlambat. Pihak panti menjelaskan bahwa Ayah sudah
meninggal sejak dua hari yang lalu dan mereka tidak tahu harus menghubungi
siapa, karena satu-satunya yang pernah mengunjungi Ayah adalah Ibu, dan kini
Ibu sudah meninggal. Aku hanya bisa menangis karena aku terlambat meminta
maafnya.
Pihak
panti menyerahkan kardus kecil yang berisi barang-barang Ayah. Di dalamnya
kutemukan sebuah bingkai foto yang di dalamnya kulihat Ayah sedang menggendong
seorang bayi mungil. Kakiku mematung menatap foto itu, bibirku kelu tak mampu
berucap.
“Mungkinkah itu aku?” Tanyaku pada hati yang
sedang merindu dan menyesali semua yang telah kulakukan pada Ayah.
“Itu foto
Bapak dan Den Tara saat masih bayi,” ucap Mang Ujang tanpa perlu kuminta.
Aku
kembali menangis saat kusentuh pusaran Ayah yang masih berwarna merah dengan
gundukan tanah yang meninggi. Pusaran yang menjadi tempat peristirahatan
terakhir bagi Ayah. Ia pergi meninggalkan dunia ini, meninggalkan aku yang
menyesal karena telah membencinya. Maafkan aku Ayah.
Malam
semakin larut, dan aku masih enggan meninggalkan pusaran Ayah. Aku ingin
menemani Ayah hingga pagi menjelang.
Hembusan
angin menusuk ke tulangku
Suara
jangkrik saling bersahut-sahutan
Menemani
sinar di ujung hatiku yang menyesali diri
Hilang
sudah senjaku
Senja
yang sudah lama tidak kutemui
Senja
yang sudah lama tak kudekap
Dialah
ayahku, senjaku yang hilang
Pergi
meninggalkanku dengan penyesalan diri
Comments
Post a Comment
Jangan Lupa Tinggalkan Komentarnya Gan