Hidayah
adalah bentuk kasih Tuhan pada hambaNya
Ia bisa
memberikan hidayah itu kepada siapa saja yang Ia kehendaki
Dan aku
bersyukur kepadaNya atas hidayah yang ia berikan padaku
Sudah
lama aku tidak melihat kotak itu, sebuah kotak kayu yang sengaja kubuat untuk
menyimpan barang-barang yang mempunyai sejarah masing-masing. Dan hari ini,
kotak itu berada di hadapanku, sudah berdebu karena sudah lama tidak pernah
kusentuh. Selama ini, kotak itu sempat terlupakan dan tersimpan di gudang, di
kamar bagian belakang. Kubersihkan debu-debu yang menghiasi permukaannya,
kemudian kulihat ukiran namaku di bagian atasnya “ Najah Amali”. Nama yang
diberikan oleh almarhum Ayahanda tercinta yang sudah terlebih dahulu kembali ke
sisiNya.
Kubuka,
kemudian kusentuh satu persatu benda-benda yang ada di dalamnya, ada foto-foto
waktu aku masih sekolah dasar, ada mainan yang terbuat dari kain bekas yang
diberikan Ibu sebagai hadiah saat aku berhasil juara kelas, kemudian tanganku
menyentuh lembutnya sehelai kain yang berwarna putih memudar dan usang. Sehelai
kain itu dulunya berwarna putih bersih, dan kini sudah berubah warna. Air
mataku menitik saat kubentangkan kain yang sudah terjahit menjadi sebuah jilbab
berukuran kecil itu, kemudian ingatan akan semua kenangan tentang kain itu
kembali hadir dalam benakku.
Masih
kuingat dengan baik saat pertama kali aku memakainya, kemudian berlari-lari
kecil menuju rumah Ustadzah Fahimah yang mengajariku mengaji setiap habis
shalat maghrib hingga menjelang shalat isya. Ah… ingatan akan masa lalu yang
membuatku merindukan kehadiran Ibu. Dan kini Ibu sudah pergi mendahuluiku,
mungkin saja Ibu sudah bertemu dengan Ayah di sisiNya.
***
Dia
berlari-lari kecil dengan jilbab warna putih yang menghiasi kepalanya. Seragam
merah putih panjang yang ia kenakan sudah usang. Tas berwarna putih, dihiasi gambar-gambar
bunga dengan warna-warna terang yang dibawanya pun sudah bulukan, sudah tidak
lagi indah untuk dipandang. Namun anak kecil itu tetap semangat melangkahkan
kakinya menuju tempat ia menuntut ilmu. Langkahnya terlihat pasti, melangkah
dan terus melangkah.
Saat
memasuki gerbang sekolah, semua mata tertuju padanya. Ini hari kedua dia masuk
sekolah sebagai murid putri sekolah dasar yang berada tidak jauh dari rumahnya.
Sekian banyak mata yang memandanginya, namun ia tidak memedulikan semua itu. Ia
tetap berjalan dengan langkah yang mantap menuju kelasnya yang berada di
ruangan paling ujung, dekat dengan kantor para guru.
“Aneh,”
ucap salah satu murid putri yang lewat di hadapannya.
Namun Najah
tidak tersinggung dengan perlakuan teman-temannya tentang sehelai kain berwarna
putih yang menutupi kepalanya dan menutupi dadanya. Dia memang masih kecil,
namun keinginannya untuk memakai jilbab sudah begitu yakin. Itulah hidayah
Allah, tidak mengenal usia. Ia memberikan hidayahNya kepada seorang anak kecil
yang belum terlalu banyak tahu tentang apa itu sebuah “kewajiban”, ia juga
belum tahu tentang arti sehelai kain yang menutupi kepalanya, dan baju panjang
yang ia kenakan.
“Ibu, Najah
ingin memakai pakaian seperti Ustadzah Fahimah.”
Begitulah
yang diucapkannya pada Sang Ibu saat pertama kali ingin memasuki sekolah dasar.
Ustadzah Fahimah adalah yang mengajarinya membaca Al Qur’an di langgar yang ada
di desa tempat ia tinggal. Najah menemukan keteduhan tiap kali memandang wajah
Ustadzah Fahimah dengan hijab yang menutupi tubuhnya yang jangkung, ia
menemukan sebuah sinar yang selalu membuatnya tenang saat diajar oleh Ustadzah
Fahimah. Dan ia ingin seperti itu. Ia ingin merasakan keteduhan dibalut jilbab
yang menutupi kepalanya.
Sang Ibu
bukanlah orang yang kaya, tidak mampu membelikan kain baru untuk menuruti
keinginan Najah memakai jilbab. Sang Ibu mengambil kain mukena yang sudah tidak
lagi dipakai, kemudian memotongnya dan menjahitnya hingga menjadi jilbab yang
bisa dipakai Najah ke sekolah. Jilbab itu, meski sudah usang, namun Najah
begitu bahagia saat melihat wajahnya tertutup kain di depan cermin. Wajah itu,
tak henti-hentinya ia memandangi wajah mungilnya yang dibalut kain yang
meneguhkan identitasnya sebagai seorang muslimah.
“Benarkah
itu wajahku?” Tanyanya pada bayangan yang ada di cermin, kemudian dia tersenyum
dan berlari memeluk Sang Ibu.
Sang Ibu
menjahitkan dua baju muslimah sebagai bentuk dukungan atas keinginan putrinya
memakai jilbab. Dua lembar baju muslim yang dia buat berasal dari kain-kain
yang sudah lama tersimpan dan tidak terpakai. Namun yang namanya cinta pada
Tuhan, Najah tidak pernah risih memakai pakaian itu. Meski ejekan dari
teman-temannya sering terdengar di telinganya, dan kadang ia menangis dan
mengadukannya pada Sang Ibu.
“Nggak,
apa-apa, meski teman-teman sering mengejek baju muslim usang yang engkau
gunakan, namun Allah tersenyum melihat keteguhan hati Najah dalam menjalankan
perintah Tuhan. Allah sayang sama Najah. Najah mau di sayang Allah, kan?”
Dan tiap
kali mendengar pertanyaan sang Ibu, najah langsung berhenti menangis dan
menjawab dengan menundukkan kepalanya meski sambil terisak.
“Najah
mau disayang Allah.” Kemudian ia memeluk tubuh ibunya.
Kalimat
itu yang selalu diulang-ulang oleh Sang Ibu tiap kali Najah menangis karena
ejekan teman-temannya, atau karena ia dikucilkan di sekolah hanya karena dia
satu-satunya anak putri yang memakai jilbab. Bahkan guru olahraganya sering
memaksanya untuk melepaskan jilbab yang ia kenakan. Atau bahkan guru agamanya
yang juga risih melihat jilbab yang bertengger di kepalanya.
“Nanti
saja kalau kamu sudah dewasa, baru memakai jilbab,” ucap sang Guru.
Namun
Najah tetap dengan pendiriannya, tidak ingin melepaskan jilbabnya. Semakin
banyak yang berkomentar miring tentang hijabnya, semakin kuat ia mempertahankan
semua itu, meski dia masih bersekolah di sekolah dasar.
***
Begitu
banyak kenangan yang melekat pada kain yang masih kusimpan hingga kini, kain
itu adalah jilbab pertamaku. Jilbab yang dulu mengajarkanku arti sebuah
“kewajiban”, dimana seorang muslimah diwajibkan untuk mengenakannya. Karena
yang memerintahkannya adalah Allah, Yang Menciptakan seluruh jagad raya dan segala
isinya. Lantas adakah alasan yang patuh kita ajukan untuk tidak mematuhi
perintahNya?
Kututup
kembali kotak kayu yang sedari tadi membuatku melamun, mengenang masa kecilku.
Kudengar suara Afifah memanggilku, dia adalah buah hatiku yang baru masuk
sekolah dasar dan sudah mengenakan jilbab.
“Assalamu’alaikum,
Ummi.”
Aku
membawa kotak kayu bersamaku, kemudian menyambut kedatangan malaikat kecilku
dengan penuh rasa bangga. Dia sama teguh sepertiku dulu saat pertama kali
memakai jilbab, dan suatu saat aku akan menceritakan tentang jilbab yang kini
berada dalam kotak kayu yang ada di tanganku.
Hijabku
adalah salah satu bentuk ketaatanku pada Allah
Hijabku
adalah penegasan identitasku sebagai Muslimah
Hijabku
adalah pakaian kebanggaanku
Dan aku
bangga memakainya.
Cukup MengInspirasi...
ReplyDeleteterimakasih, Kawan. semoga cerpen ini bermanfaat :)
Delete