Ramadhan,
haruskah aku berpura-pura merindukan kedatangamu? Kedatanganmu yang disambut
dengan gegap gempita seluruh umat “Muslim” di permukaan bumi. Entahlah, nafsu
masih memenuhi relung hatiku, aku masih belum bisa menyambutmu dengan
ketulusan. Sebuah ketulusan yang bukan hanya sekedar sebuah “Rutinitas” belaka.
Aku terdiam,
saat “Marhaban yaa Ramadhan” di senandungkan dengan merdu dari masjid-masjid
yang ada di desaku,
“Apakah
aku benar-benar mengharapkan kedatanganmu?”
Kusimpan
kembali pertanyaan itu, kemudian melangkahkan kaki ini menuju masjid yang hanya
berjarak 3oo meter dari rumahku. Dan masjid itu, hanya sempat aku datangi saat “Ramadhan”
tiba. Setelah Ramadhan berlalu pergi meninggalkan umat “Muslim”, aku pun
berlalu dari kebiasaan baik saat “Ramadhan” datang menghampiri. Masjid itu pun
kembali sepi dari “Jamaah”.
Ah..
Tuhan, sepertinya aku masih belum bisa memaknai “Ramadhan” yang di dalamnya
Engkau sediakan pahala yang berlipat ganda, di dalamnya Engkau sediakan satu
malam yang mana kebaikannya setara dengan “Seribu Bulan”. Aku hanya menjadi
hambaMu saat Ramadhan datang menjelma, memasuki hati jutaan umat Muslim yang
ada. Kesalehan yang aku tunjukkan padamu hanya sebatas “Kesalehan Musiman” yang
akan hilang bersama dengan berakhirnya bulan Ramadhan.
Ramadhan,
rasanya aku tidak pernah benar-benar menyambut kedatanganMu layaknya yang
dilakukan oleh “Nabi dan Sahabatnya”. Aku tidak pernah berhasil mendapatkan
peringkat “Taqwa” yang Tuhan janjikan sebagai hadiah dari puasa di bulan “Ramadhan”.
Tidak pernah berhasil.
Karena
nyatanya, aku menyambut kedatanganmu dengan “Membuka kembali Al-Qur’an” yang
telah lama tersusun rapi di lemari kamarku, memakai baju “koko” agar aku
terlihat bahagia menyambut kedatanganmu, kemudian menjalankan ibadah “Puasa”
hanya sebagai sebuah “Tradisi” yang dilakukan turun-temurun.
Aku tidak
pernah benar-benar tulus menjalankan “Puasa” selama engkau datang, aku hanya menjalankan
“Puasa” sebagai tradisi keagamaan, tidak lebih.
Lantas,
dimana semua kebaikan yang aku lakukan saat engkau datang menghampiriku? Mengapa
setelah engkau pergi, lantas “Shalat jama’ah ke masjid”, “Membaca Al-Qur’an”, “Menyantuni
Anak-anak Yatim”, “Mengadakan Buka Bersama Anak Jalanan”, pun ikut pergi
meninggalkanku.
Lantas,
jika demikian, pantaskah aku termasuk orang-orang yang mendapatkan peringkat “Taqwa”
hanya dengan melakukan sebuah “Tradisi Keagamaan”?
Mungkin,
jika nanti Engkau datang menghampiriku kembali, “Aku Masih Seperti yang dulu”,
masih dengan segala keegoisan diri, masih menjalankan kewajiban “Puasa” sebagai
sebuah rutinitas belaka, tidak meninggalkan bekas apa pun.
Comments
Post a Comment
Jangan Lupa Tinggalkan Komentarnya Gan