“Kak, aku mau berhenti kuliah”
Dahiku berkerut saat membaca pesan
singkat yang dikirimkan oleh adikku. Apa yang sebenarnya terjadi? Sehingga tiba-tiba
dia mengirimkan pesan singkat itu. Kopi yang tinggal setengah lagi kuletakkan
di atas mejaku. Aku tidak ingin menunggu terlalu lama lagi untuk mengetahui apa
yang sebenarnya terjadi.
Setelah mengucapkan salam, aku
mendengar suara isak tangis di ujung sana. Aku semakin tidak mengerti apa yang
sebenarnya terjadi.
“Dek, kenapa kok tiba-tiba mau berhenti
kuliah?” tanyaku pelan, aku tidak ingin membuat dia semakin menangis mendengar
pertanyaanku. Karena aku tahu betapa besar keinginannya untuk kuliah.
Masih belum ada jawaban. Khansa hanya
diam, membiarkan aku mematung di ujung telpon.
“Dek, coba cerita, siapa tahu kakak
bisa bantu.”
Khansa masih dengan diamnya.
“Ya, sudah kalo emang belum mau cerita.
Ibu mana? Kakak mau ngomong ama Ibu.”
Beberapa detik kemudian, aku mendengar
suara Ibu yang sedang batuk.
“Ibu, ini Giffary”
“Siapa? Ibu tidak bisa mendengar
suaramu. Ini siapa?” Ibu mengulangi pertanyaan itu.
“Ini Giffary, Bu. Putra Ibu.”
Hening. Mungkin saja Ibu sedang mencoba
untuk mengingat tentangku. Sudah lama Ibu sering seperti ini, Ibu Pikun. Dia
sering lupa. Terkadang aku harus mengulang kembali penjelasan yang sama hingga
akhirnya Ibu mengenali suaraku.
“Ibu sehat kan?”
“Sebentar, Ibu masih belum bisa
mengingat nama Giffary.”
“Sa, Giffay itu siapa?” Ibu bertanya
pada Khansa.
Aku membiarkan Ibu berpikir sejenak,
memutar kembali memorinya tentangku. Aku menangis. Ingin rasanya aku mendekap Ibu.
Tapi, lagi-lagi jarak menjadi alasanku tidak bisa menatap wajah Ibu setiap
waktu. Jarak juga yang membuatku harus rela bertemu dengan Ibu satu tahun
sekali. Aku hanya bisa bertemu dengan Ibu saat Idul Fitri tiba. Namun aku
selalu berusaha untuk sesering mungkin menghubungi Ibu dan Khansa adikku yang
selama ini menjaga Ibu.
Dari ujung telpon, aku mendengar Ibu
menangis.
“Giffary….kamu kapan pulang, Nak? Ibu
rindu.”
Aku mengusap mataku yang basah.
“Insya Allah lebaran ini pulang, Bu.”
“Jangan lupa pesan Ibu. Baik-baik di
rantau ya, Nak.”
“Iya, Bu. Ibu juga jaga kesehatan.”
Setelah berbincang sejenak, Ibu mengakhiri
pembicaraan kemudian memberikan telpon pada Khansa.
“Sa, kenapa? Coba jujur ama kakak.”
“Kak, maafin Khansa, ya. Mungkin
gara-gara Khansa kakak jadi sibuk mencari uang demi biaya kuliahku. Demi biaya
berobat Ibu. Khansa ingin membantu kakak mencari nafkah, Khansa tidak ingin
terus-terusan melihat Ibu terbaring sakit-sakitan di rumah. Mungkin dengan
Khansa berkerja akan membantu biaya pengobatan Ibu.
Aku marah mendengar apa yang baru saja
diucapkan adikku. Namun aku mencoba untuk tenang. Aku tahu maksud Khansa baik.
Mungkin saja dia tidak tega melihatku yang harus berkerja serabutan di Ibu
Kota, demi membiayai kuliahnya, dan membiayai pengobatan Ibu.
“Sa, coba dengerin kakak. Kakak akan
sedih jika harus merelakan kamu berhenti kuliah. Kamu masih ingat nggak pesan
Ayah sebelum meninggal? Ayah selalu bilang “ Khansa harus bisa menyelesaikan
kuliah. Khansa harus percaya bahwa Tuhan selalu mempunyai rencana yang indah
untuk hamba-Nya.” Kamu masih ingat kan? Yang perlu kamu lakukan sekarang
adalah memercayai itu dan melakukan yang terbaik. Biar kakak yang memikirkan
semua biaya kuliahmu dan biaya pengobatan Ibu. Insya Allah kakak masih sanggup.”
Khansa menangis,
“Tapi, kak, semester ini Khansa tidak
bisa ikut semesteran karena belum bayar uang semester. Tunggakan semester lalu
juga masih belum lunas.” Ucapnya sambil terbata-bata.
Ah Tuhan, ini salahku. Aku masih belum
bisa mengemban amanah yang Engkau berikan padaku untuk menjaga adik dan Ibu.
Seharusnya aku berkerja lebih giat lagi agar bisa melunasi semua tunggakan
biaya kuliah Khansa.
“Sekarang kakak cuma minta Khansa fokus
ke semesteran aja, kakak akan usahakan untuk segera mengirim uang.” Aku mencoba
untuk meyakinkan Khansa, agar dia kembali percaya selalu ada jalan untuk
menyelesaikan semua ini. Dia memang masih belum bisa bijak dalam menyelesaikan
permasalahan. Kadang dia terbawa emosi. Khansa memang sedikit tertekan saat
kematian Ayah satu tahun yang lalu. Dia kadang berubah menjadi kekanak-kanakan.
Mungkin dia merindukan kehadiran sosok Ayah.
“Nggak usah, kak. Khansa mau berhenti
aja. Ada teman yang nawarin kerja di salon.”
“Khansa..” Nada suaraku sedikit meninggi.
Dadaku bergemuruh, aku berusaha untuk lebih tegar lagi dengan jalan hidup yang
sudah Tuhan berikan. Aku masih percaya dengan janji Tuhan. Bukankah Tuhan hanya
meminta hamba-Nya untuk berusaha, berdoa, kemudian menyerahkan semua urusan
pada Tuhan? Dan aku percaya dengan semua itu.
Saat Khansa sudah kembali yakin untuk
terus melanjutkan kuliahnya, aku mengakhiri telpon. Aku kembali ke meja,
menyesap sisa kopi yang sudah mulai dingin. Aku berpikir keras bagaimana
caranya aku bisa mendapatkan uang dalam waktu yang relatif singkat. Sebenarnya beberapa
waktu yang lalu aku sudah mempunyai uang untuk biaya kuliah Khansa. Namun penyakit
Ibu kembali kambuh dan harus dirawat di rumah sakit. Sekarang, biaya pengobatan
sangat mahal. Semua uang kuliah Khansa terpaksa dipakai untuk berobat Ibu.
Khansa kembali mengirim pesan singkat.
“Kak, maafin Khansa, ya. Khansa janji
akan terus kuliah, Khansa juga janji tidak akan mengecewakan kakak dan Ibu.”
Hujan mulai membasahi rumput yang
bergoyang dihembus angin, dedaunan berbisik merdu menyanyikan lagu rindu. Aku
menutup kedua mataku, berpikir sejenak. Kulirik arloji kecil di tanganku, jam
sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan aku masih belum bisa lelap dalam
tidur. Bayangan Ibu, ayah, dan juga Khansa kembali hadir memenuhi benakku.
Tuhan, izinkan aku lelap sejenak dalam
mimpi
Dan bangunkan aku di sepertiga malamMu
Aku ingin kembali bercerita padaMu
Ya Rabby...
Aku hanya ingin Engkau
menjadi tempatku mengadu
Selalu ada jalan yang telah
Engkau janjikan
atas Segala permasalahan
hidup yang telah Engkau gariskan
Aku Percaya
Comments
Post a Comment
Jangan Lupa Tinggalkan Komentarnya Gan