Malam masih gelap, sang fajar baru
menampakkan diri pertanda waktu subuh sudah tiba. Suara adzan mendayu-dayu,
menyeru umat muslim untuk segera bangun dari lelap tidur, mengajak mereka untuk
membasuh anggota badan mereka dengan aliran air wudhu, kemudian shalat subuh.
Melaksanakan shalat subuh tepat waktu sungguh begitu berat bagi mereka yang
masih belum terbiasa untuk bangun. Banyak di antara umat muslim enggan untuk
melaksanakan seruan Tuhan, dan terus lelap dalam tidur.
Bapak itu sudah bangun sejak tadi, dia
sudah bersimpuh di hadapan Tuhannya, memuji Tuhan, mengucapkan syukur atas
segala karunia yang telah Tuhan berikan padanya. Air matanya menitik di atas
sajadah, dia menangis. Dia menangis karena begitu banyak dosa yang telah ia
perbuat. Begitu banyak dosa yang telah ia lakukan selama hidupnya. Dan di umurnya
yang sudah senja ini, barulah dia menyadari begitu banyak karunia yang telah
Tuhan berikan padanya. Bapak itu menangis. Menyesali segala perbuatannya di
masa lalu yang membuatnya jauh dari Tuhan.
Selama ini, dia hanya sibuk dengan
duniawi, menumpuk harta, dan melupakan Tuhan. Dan sungguh Tuhan Maha Penyayang
pada hamba-Nya. Tuhan memberikan hidayah padanya dan memberinya kesempatan
untuk lebih mengenal Tuhan.
Mendengar suara adzan, dia bangkit dari
sajadahnya dan beranjak pergi meninggalkan rumahnya yang megah bak istana.
Dengan bantuan sebuah tongkat yang terbuat dari besi, dia berjalan menyapu
gelapnya malam menuju masjid yang ada di kompleks rumahnya untuk bisa mengikuti
shalat berjama’ah. Dia terus berjalan, menyusuri jalan setapak menuju rumah
Tuhan. Hening.
Dia duduk di pojok masjid sebelah
kanan, dan mendirikan shalat “tahiyyatul masjid”, kemudian menunggu iqamat
dikumandangkan. Di sampingnya ada seorang anak muda yang sedang membaca
al-Qur’an dengan suara yang sangat pelan. Bapak itu menoleh, melihat al-Qur’an
yang ada di tangan pemuda itu, al-Qur’an itu adalah al-Qur’an yang memakai
huruf “braille”.
Bapak itu mendengarkan lantunan
ayat-ayat Tuhan yang terdengar begitu indah di telinganya. Ayat-ayat itu mampu
menyentuh kalbunya, seketika kesejukan memenuhi rongga dadanya, ada ketenangan.
Ingin rasanya ia mengambil al-Qur’an, kemudian membacanya. Namun, dia kembali
menyadari bahwa dia masih belum bisa membaca al-Qur’an. Dia hanya mendengarkan
dengan seksama pemuda yang sedang membaca di sampingnya.
Setelah shalat subuh, bapak itu
menghampiri pemuda yang tadi membaca al-Qur’an di sampingnya, ingin mengutarakan
keinginannya untuk belajar membaca al-Qur’an, ingin mengungkapkan betapa besar
keinginannya untuk berinteraksi dengan Tuhan melalui kalam-Nya.
“Assalamu’alaikum, Mas”
Pemuda itu menjawab salamnya, kemudian
menoleh ke arah suara yang mengucapkan salam padanya. Pemuda itu seolah-olah
sedang mencari asal salam itu, kedua bola matanya berwarna putih, tidak ada
warna hitam. Putih bersih.
Laki-laki paruh baya itu akhirnya
memegang tangan pemuda yang ada di depannya.
“Saya disini, Mas”
Pemuda itu kemudian tersenyum,
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?”
ucapnya santun dan tenang.
“Nama saya Ruli, saya ingin belajar
membaca al-Qur’an dengan Mas…, dengan Mas siapa?”
“Saya Faraj, Pak” jawab pemuda itu
dengan senyuman yang membuat sang bapak tenang saat berada di hadapannya.
Senyum itu begitu teduh, menenangkan.
“Tadi saya mendengarkan bacaan Mas
Faraj, saya betul-betul ingin belajar membaca al-Qur’an, tapi…..” Sang bapak
menghentikan ucapannya.
“Tapi kenapa, Pak?
“Saya sama sekali belum bisa membaca
al-Qur’an. Saya sama sekali belum mengenal huruf-huruf yang ada di dalam
al-Qur’an.” Ujarnya pelan.
Faraj kembali tersenyum, kemudian
memegang erat tangan sang bapak yang sedari tadi masih memegang tangannya.
“Meski saya buta, tapi saya bisa
merasakan kesungguhan Bapak untuk belajar, Bapak boleh datang menemui saya di
masjid ini setiap hari selepas subuh dan saya akan membantu semampu saya untuk
mengajarkan Bapak membaca al-Qur’an.”
Pak Ruli memeluk Faraj, kemudian
menangis.
“Mas Faraj adalah bukti keagungan
Tuhan, Ia memberi Mas kesempatan yang dulu tidak pernah saya pergunakan dengan
baik. Saya menyia-nyiakan waktu saya untuk urusan dunia, dan lupa untuk mempelajari
kalam Tuhan. Saya sibuk menumpuk harta dan melupakan kenyataan bahwa harta itu
tidak akan saya bawa mati. Hanya amal yang nantinya akan menjadi penolong saya
di kehidupan selanjutnya. Saya sibuk dengan diri sendiri, hingga akhirnya
seluruh keluarga saya menjauhi saya, dan kini tinggallah saya sendiri.” Air
mata Pak Ruli terus membentuk bola-bola kristal berukuran kecil, kemudian jatuh
membasahi pipinya yang sudah dipenuhi garis-garis kehidupan.
“Saya hanya ingin menjadi orang yang
dicintai oleh Tuhan” jawabnya, kemudian dia membacakan sebuah hadis,
“Sebaik-baik orang di antara kalian adalah
orang yang belajar Al-Qur'an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari)
“Saya ingin menjadi hamba yang dicintai
Tuhan, dengan segala keterbatasan saya, namun saya yakin Tuhan memberikan saya
kesempatan yang sama untuk mengenal akan Tuhan.”
Comments
Post a Comment
Jangan Lupa Tinggalkan Komentarnya Gan