Kadang aku berpikir, Tuhan tidak adil. Ia tidak pernah mendengar
untaian do’a yang sering kupanjatkan kepada-Nya. Kerap kali aku menangis di
atas sajadah panjang menghadap dan mengharap rahmat dari-Nya. Akan tetapi,
untaian doa yang sering kuucapkan, air mata yang kukorbankan tidak kunjung
membuat Ia tahu betapa aku menahan sakit yang begitu kuat. Doa-doa yang
kurangkai dengan indah, tidak pernah Dia dengar. Kadang aku meyakini semua itu.
Dalam firman-Nya:
“Allah tidak memberati seseorang melainkan apa yang terdaya
olehnya..”
(QS. Al Baqarah : 286)
Aku mulai meragukan keagungan-Nya. Aku mulai tidak percaya dengan
janji-janji yang ada di dalam kitab-Nya. Aku mulai beralih arah. Aku tidak lagi
berjalan menapaki jalan yang Ia tentukan. Kadang aku berbelok, bersembunyi, dan
berhenti dari menuju-Nya.
“Tuhan, aku lelah..”
*
Andi sedang tidur lelap. Menjelang pagi, dia baru bisa memejamkan
kedua matanya, masuk ke dalam dunia mimpi. Aku berharap dia bermimpi tentang
indahnya dunia, indahnya kehidupan, dan besarnya kasih sayang yang diberikan
oleh orang-orang yang ada di sekitarnya. Suara isak tangisnya sudah tidak
terdengar lagi. Tangisan karena menahan sakit yang aku sendiri tidak mengerti
betapa sakit itu menyiksanya.
Namanya Andi, dia adikku satu-satunya. Dia menjadi alasan mengapa
aku masih bertahan hidup di dunia yang keras ini. Dia juga yang menjadi
penyemangatku berjuang melawan keegoisan Ibu Kota. Rasanya, aku memilih untuk
mengakhiri hidup dari pada menahan hidup yang tak kunjung damai. Kedua
orangtuaku tidak pernah peduli dengan kehidupan kami berdua. Keduanya sibuk
menumpuk harta duniawi dan lupa menyiapkan bekal amal yang akan dibawa saat maut
datang.
Memasuki usia empat tahun, Andi sudah diberikan cobaan yang begitu
berat oleh Tuhan. Dia mengidap sakit yang mengharuskan dia melakukan cuci darah
setiap minggunya. Tubuhnya tidak lagi seperti dulu. Dia kurus. Aku sendiri
tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya semua proses pengobatan yang telah
dia lalui. Kadang aku menangis di balik senyumku di hadapannya. Aku berusaha
terlihat tegar kala dia memandangku. Aku berusaha menahan air mata yang mencoba
untuk menembus benteng pertahananku.
“Kak, nanti kalo Andi sudah pergi, kakak jangan lupa doain Andi ya.”
Air mataku tidak mampu lagi untuk kubendung tiap kali dia
mengucapkan kalimat itu. Entah sudah berapa kali dia mengucapkan kalimat itu. Tiap
kali dia mengucapkannya, aku berlari keluar kamarnya, dan membiarkannya
sendirian. Aku tidak ingin dia melihat air mata di kedua bola mataku.
Pernah suatu ketika, aku tertidur di sampingnya, tanganku memegang
tangan kanannya. Dia terbangun dari tidur, tangan kirinya mengusap rambutku,
kemudian dia membisikkan,
“Maafin Andi ya kak. Andi sudah bikin Kak Kamal susah.”
Aku pura-pua tidak mengetahui semua itu. Mataku tetap terpejam.
Namun hatiku menangis.
Tuhan, mengapa harus Andi yang merasakan ini semua?
Mengapa bukan aku saja?
Aku rela merasakan sakit yang ia rasa.
Kebencianku kepada Tuhan semakin menjadi saat tahu Dia memanggil
orang yang kucintai. Andi kembali ke sisi-Nya setelah dua tahun berjuang
melawan penyakit yang menggerogoti tubuh mungilnya.
Menjelang kepergiannya, dia selalu tersenyum dan berusaha terlihat
baik-baik saja. Tidak ada air mata, hanya senyuman yang terukir indah di
wajahnya. Kata-kata terakhir yang dia ucapkan kepadaku,
“Kak, terimakasih selama ini sudah merawat Andi. Andi sayang
kakak.”
Setelah itu, mata itu menutup untuk selamanya.
*
Dua tahun sudah Andi kembali ke sisi-Nya. Aku masih menjalani
hari-hariku meski tanpa kehadirannya. Tidak kudengar lagi suara tangisnya di
tengah malam yang gelap. Tidak kulihat lagi senyum bahagia meski sakit sedang
menyiksanya. Aku mulai terbiasa hidup tanpanya, kembali menjalani kegiatan
rutin seperti biasa. Sibuk dengan segudang kerjaan di kantor.
Sejak kepergiannya, aku tidak lagi percaya dengan Tuhan. Aku tidak
lagi berbicara dengan-Nya. Aku sudah melupakan bagaimana indahnya melantunkan
Ayat-ayat-Nya. Shalat sudah mulai kutinggalkan satu persatu. Puasa senin kamis
sudah tidak pernah kujalankan. Bahkan, aku mulai lupa bacaan shalat. Lidahku
mulai kelu saat mencoba membaca kembali kalam-Nya. Aku tidak lagi
mencintai-Nya. Aku membenci-Nya.
*
Jalanan Ibu Kota mulai lengang, jarum jam di tanganku sudah
menunjukkan pukul tiga pagi. Aku berjalan tak tentu arah. Mobil kutinggalkan di
kantor, aku memilih jalan kaki sendirian hingga pagi menjelang. Sepi.
Aku melewati tempat pembuangan sampah warga Ibu Kota. Sampah-sampah
itu menggunung. Bau busuk menyengat dan membuatku ingin muntah. Dari kejauhan,
aku mendengar suara anak kecil sedang membaca Al-Qur’an. Suara itu berasal dari
sebuah gubuk kecil. Gubuk itu berada tidak jauh dari gunung sampah. Semakin
dekat, suara itu semakin jelas terdengar di telingaku. Redup cahaya lampu
menerangi gubuk itu. Cahaya itu bisa kulihat dari celah-celah dinding gubuk.
Aku berjalan mendekati gubuk itu, kulihat seorang anak kecil sedang memegang
Kalam suci di tangan kanannya. Mukena putih yang sudah lusuh menutupi tubuhnya.
Seorang ibu yang sudah tua renta sedang berbaring di samping anak kecil itu.
Anak kecil itu mengusap kening ibu itu sambil melantunkan Ayat-ayat suci.
Aku tetap memandangi anak kecil itu, mendengarkan lantunan Ayat-ayat
yang ia baca. Aku menangis, mengingat sekian lama aku melupakan Tuhan. Sekian
lama aku tidak menyentuh sajadah panjang yang dulu menjadi tempatku bermunajat
kepada Ilahi Rabbi. Tubuhku bergetar, mulutku mengucapkan pujian-pujian
kehadirat-Nya.
Ya Rahman,
Dulu, aku terbiasa bangun di sepertiga malam-Mu
Merangkai kata menjadi doa
Merangkai hati untuk mencintai-Mu.
Setelah sekian lama aku pergi, masihkah ada jalan untukku kembali
kepada-Mu?
Kutata hati, kurangkai kata dalam doa, aku ingin kembali menapaki
jalan yang telah Ia tentukan. Jalan yang Ia ridhoi, yang akan membawaku ke
surga-Nya. Tuhan, Aku kembali.
sumber gambar disini
menggetarkan...
ReplyDeleterumah abadi memang hanya rumahNYA.... di mana DIA bertahta di ARSY-NYA...
:D
semoga kita menjadi hamba yang tetap percaya akan Tuhan :)
Delete