Senyum
Bidadariku (1)
Bidadariku, Engkau jadikanku belahan jiwamu
Kita berjanji akan menjalani hidup ini dengan penuh cinta
Selayaknya Adam dan Hawa yang hidup penuh dengan Cinta
Bidadariku, menjadi pendamping hidupmu adalah impian terbesarku.
Semesta tersenyum bahagia, melihat dua anak manusia sedang
bahagia merayakan cinta. Dua anak manusia yang sedang dilanda cinta, dan
menyatukan cinta mereka di atas pelaminan.
Evan menatap wajah wanita yang ada di sampingnya. Wajah itu
memesonannya, ingin rasanya ia mencubit pipi wanitanya yang sekarang sudah sah
menjadi pendamping hidupnya. Keduanya berjanji akan menjalani hidup bersama,
berbagi suka maupun duka. Sebuah janji yang diucapkan setelah ijab kabul
disahkan oleh Pak Penghulu dan saksi dari pihak kedua mempelai.
Winda, ia adalah bidadari yang sedang mengenakan kebaya berwarna
putih, bergaris-garis hitam dan duduk di samping laki-laki yang kini sudah
menjadi suaminya. Senyum tak henti-hentinya merekah dari bibirnya yang berwarna
merah merekah. Degup jantungnya berpacu dengan rasa bahagia yang bergemuruh di
dalam dadanya. Kini impiannya untuk menjadi seorang istri sudah terwujud.
Sekarang bagaimana dia menjalani kehidupan selanjutnya bersama laki-laki yang
dia cintai.
Para tamu memenuhi deretan kursi yang ada di depan pelaminan.
Mereka sedang bercengkerama satu sama lain. Ikut bahagia melihat dua insan yang
sedang tersenyum malu-malu di kursi pengantin. Pernikahan Evan dan Winda
tergolong sangat sederhana. Sebuah panggung berukuran kecil menjadi pelaminan
mereka berdua. Pernikahan mereka bukanlah di hotel berbintang, melainkan di
kantor kelurahan yang biasa disewa dan dijadikan tempat melaksanakan berbagai
macam kegiatan. Tamu undangan adalah keluarga besar dari kedua pengantin. kedua
orangtua Evan duduk disampingnya di atas pelaminan. Sedangkan kedua orangtua Winda duduk di samping putri mereka yang segera akan meninggalkan mereka berdua.
Kini putrinya sudah menjadi seorang istri, yang akan membina rumah tangganya bersama laki-laki
yang sekarang duduk di sampingnya.
Satu persatu tamu undangan menjabat tangan kedua mempelai
dan mengucapkan selamat atas pernikahan
mereka. Untaian doa-doa mengalir deras dari mereka, mendoakan kebahagiaan bagi
pasangan yang baru akan membangun bahtera rumah tangga. Evan dan Winda mengamini
doa-doa itu, dan berharap Tuhan akan mengabulkannya.
Masih terukir jelas di dalam ingatan Evan saat pertama bertemu
dengan bidadarinya. Saat dia masih memakai seragam abu-abu dan berjalan menuju
rumahnya. Winda yang waktu itu menjadi pembantu rumah tangga di sebelah
rumahnya, berhasil memikat hatinya. Pertemuan rutin antara dia dan Winda di
pagi hari menumbuhkan benih-benih cinta. Layaknya pembantu rumah tangga
lainnya, membeli sayur mayur di pagi hari adalah bagian dari rutinitas.
Sedangkan Evan, pagi hari adalah waktunya untuk menggerakkan anggota badannya
dengan berlari-lari kecil mengelilingi komplek perumahan. Komplek perumahan
yang menjadi tempat tinggalnya bukanlah perumahan mewah, namun hanya
rumah-rumah yang berukuran minimalis. Selepas lari pagi, saat membuka pintu
gerbang rumahnya, dia tanpa sengaja melihat Winda yang sedang memilah sayur
mayur yang ada di gerobak Bang Ucup, penjual sayur keliling langganan penghuni
komplek.
Awalnya, mereka belum saling menyapa. Hanya sebatas saling
tersenyum satu sama lain sebagai wujud sopan santun saat bertemu dengan orang
lain. Namun, senyum itu berubah menjadi cerita-cerita lucu yang mereka
lontarkan bersama dengan berjalannya waktu. Kadang, Evan ikut memilih sayur
mayur yang akan dibeli Winda. Bang Ucup hanya tersenyum melihat pemandangan
yang ada di depannya.
Pernah suatu ketika, Bang Ucup tertawa tanpa sadar bahwa tawanya
terdengar hampir ke semua rumah yang ada di komplek.
“Setelah selesai SMA nanti Mas Evan mau ngelanjutin kuliah?”
“Rencananya sih gitu Bang”
“Apa impian terbesar Mas Evan?”
“Ingin menjadi seorang ayah”
Entah apa yang ada di dalam benak Bang Ucup, seketika dia
langsung tertawa terbahak-bahak mendengar penuturan Evan. Sementara Evan dan
Winda hanya diam dan saling pandang satu sama lain, seolah-olah menanyakan,
“Adakah yang lucu dari jawaban tadi?”
Bang ucup memegang perutnya yang mulai terasa sakit karena
tertawa yang berlebihan.
“Emang aneh ya Bang dengan jawaban Evan?” Tanya Evan.
Bang Ucup tidak menjawab tanyanya, dia hanya berlalu meninggalkan
dua insan yang masih bingung melihat tingkahnya. Dia mendorong gerobak sayurnya
menuju pintu gerbang komplek.
Menjadi seorang ayah, itulah impian terbesar yang ia lontarkan
tiap kali ada yang bertanya akan impiannya. Dengan yakin jawaban itu mengalir
begitu saja. Mungkin berbeda dengan orang lain, ingin menjadi polisi, dokter,
atau apa pun itu. Akan tetapi, bukankah takdir seorang laki-laki adalah menjadi
seorang ayah? Sedangkan takdir seorang wanita adalah menjadi seorang ibu? Itu
yang ada di dalam benaknya kala itu. Terlepas menjadi apa dia nanti, namun kala
itu cita-cita terbesarnya adalah menjadi seorang ayah. Dan dia ingin mewujudkan
cita-cita itu bersama dengan Winda pujaan hatinya.
Perjalanan cinta mereka tidak selalu lurus, ada liku-liku yang
mereka hadapi. Cinta mereka kembali diuji saat Evan ingin melanjutkan
sekolahnya ke luar kota. Dia ingin kuliah di Universitas Gajah Mada yang berada
di Jogja. Demi cita-citanya, dia harus berpisah dengan bidadarinya, harus rela
tidak melihat senyum bidadari yang selama ini menemani hari-harinya.
“Besok mas berangkat ke Jogja” ucap Evan pada Winda pagi itu.
“Iya, Mas Evan hati-hati
di jalan. Semoga bisa menggapai apa yang Mas impikan sejak dulu.” jawab Winda
sambil memegang seikat kangkung di tangan kirinya.
Perpisahan mereka bukan di tempat yang romantis, hanya di depan
gerobak sayur Bang Ucup. Kisah cinta mereka juga tidak dihiasi oleh bunga
mawar, rayuan-rayuan, jalan berdua, atau nonton berdua seperti pasangan
muda-mudi seumuran mereka. Cinta mereka bersemi dan tumbuh di depan rumah
majikan Winda. Bang Ucup adalah saksi cinta mereka berdua. Sesekali Bang Ucup
memperhatikan tingkah dua anak muda yang ada di depannya, kadang dia tertawa
geli melihat mereka berdua.
“Mas janji akan sering kasih kabar ke Winda,” Evan mengucapkan
janji itu kepada bidadarinya, kemudian dibalas dengan senyum oleh Winda.
Pertemuan pagi itu bak perpisahan panjang yang akan mereka
jalani. Padahal, jarak antara Jogja dan Purwokerto bisa ditempuh hanya dalam
hitungan jam saja. Dengan kereta api, perjalanan kurang lebih empat atau lima
jam dari stasiun Purwokerto menuju Jogja, mereka sudah bisa bertemu kembali.
Perpisahan di depan gerobak sayur itu penuh kenangan. Evan dan Winda saling
memberi selembar kertas yang bertuliskan perasaan masing-masing.
Hatiku telah memilihmu untuk menjadi bagian dalam hidupku
Aku ingin hati ini tetap utuh menjaga rasaku padamu
-Winda-
Sedangkan Evan bukanlah laki-laki yang pandai merangkai kata
menjadi kalimat-kalimat indah yang menusuk ke dalam kalbu siapa pun yang
membacanya. Untuk menuliskan tulisan yang ada di selembar kertas yang ada di
tangannya sekarang ini, dia membutuhkan waktu lama. Entah sudah berapa lembar
kertas yang dia robek dan pindah ke tempat sampah. Dia hanya menuliskan,
Kadang aku lemah
Menata kembali hati yang mulai gundah
Gundah karena berpisah denganmu
Seseorang yang selalu hadir dalam mimpi-mimpiku
Bidadariku, tunggu daku kembali
-Evan-
Segurat senyum dari Winda kembali menghiasi pagi, menemani
mentari yang malu-malu bersinar menerangi semesta. Hangat sinar mentari,
sehangat perasaan yang berkecamuk di dalam dada mereka berdua. Senyum itu terus
terlukis, hingga keduanya berpisah dan masuk ke dalam bangunan yang menjadi
tempat tinggal mereka berdua.
-Bersambung-
takjub kalau baca kata-kata begini, bisa konsisten sampai akhir ceritanya, kalau saya bikin cerpen pasti endingnya ndak bener :|
ReplyDeletejalan-jalan pagi :D
ini cerbung, lagi pengen nulis cerbung. silahkan nantikan kelanjutan kisahnya :D :))
DeleteSiapakah Nur Pak Guru? [Sedangkan kedua orangtua Nur duduk di samping putri mereka yang segera akan meninggalkan mereka berdua]
ReplyDeletekayaknya bakal seru :) ditunggu kelanjutannya :D
aduh, terimakasih sudah diingatkan. hehe. saya ingatnya si Nur ya hihi. tunggu kelanjutan ceritanya :)
Delete