Juni
2007
Hari
ini suasana pesantren berbeda dari biasanya. Banyak tamu undangan yang datang
ke pesantren; wali santri, pejabat pemerintahan, tetua desa, dan masyarakat
yang ada di sekitar pesantren. Sebuah panggung berukuran sedang berada di dalam
gedung pesantren. Sebagian santri sedang berjalan menuju ke depan panggung,
sebagian sudah duduk rapi di kursi yang sudah disediakan.
Wisuda
kelulusan, hari ini adalah hari kelulusanku. Aku dan teman-teman satu angkatan
sudah memakai seragam batik berwarna kuning dan sarung berwarna hijau. Ibu
sengaja datang ke pesantren untuk menghadiri wisuda kelulusanku. Tidak terasa,
enam tahun sudah aku menuntut ilmu di pesantren ini.
Aku
menyebutnya “Taman Surga”. Di sinilah aku menuntut ilmu. Masih kuingat pertama
kali aku datang ke pesantren ini, aku menangis karena tidak bisa jauh dari ayah
dan ibu. Selimut berwarna putih, bergaris-garis warna hitam itu menjadi saksi
perjuanganku menahan rindu. Selimut putih itu yang kugunakan untuk mengeringkan
air mata yang terus membasahi pipiku. Air mata rindu dengan orang-orang yang
kucintai. Tidak hanya itu, aku sempat pergi dari pesantren dan pulang ke rumah.
Setelah satu minggu di rumah, aku merindukan suasana pesantren. Aku rindu
dengan kawan-kawan yang ada di asrama, aku rindu dengan kegiatan belajar di
pesantren. Aku meminta ayah untuk mengantarkanku kembali ke pesantren.
“Ari
mau ke pesantren lagi” ucapku pada ayah.
Ayah
hanya tersenyum, kemudian mengizinkanku kembali ke pesantren. Seiring
berjalannya waktu, aku mulai betah tinggal di pesantren. Menjadi seorang
santri. Setiap subuh menjelang, kami dibangunkan oleh ustadz untuk shalat
tahajud, kemudian shalat subuh berjama’ah di masjid. Sambil menahan kantuk, aku
dan kawan-kawanku pergi ke sumur untuk mengambil air wudhu’.
Aku
mempunyai seorang kawan, dia mempunyai kebiasaan lucu. Setiap kali mendengar
suara ustadz membangunkan anak-anak untuk shalat tahajud dan subuh berjama’ah,
dia pura-pura sedang shalat. Dia bangun dari tidur, menggunakan baju koko,
peci, dan sarung, kemudian duduk di atas sajadah sambil memegang sebuah tasbih.
Mulutnya komat-kamit seolah-olah sedang berdzikir menyebut asma-Nya. Banyak
ustadz yang tertipu. Mereka mengira dia sedang dzikir, padahal setelah ustadz
pergi ke kamar sebelah, dia kembali tidur di balik selimutnya. Aku pun pernah
melakukan hal yang sama. Tapi, sepertinya aku tidak pandai berpura-pura. Ustadz
langsung tahu bahwa aku sedang berpura-pura. Jika sudah ketahuan, aku disuruh
membersihkan parit yang ada di depan asrama.
*
Para
tamu undangan sudah memenuhi bangku yang ada di depan panggung. Ustadzah Miti
Yarmunida menjadi pembawa acara. Wisuda kelulusan dimulai dengan
pembukaan, pembacaan kalam Ilahi,
sambutan-sambutan, kemudian dilanjutkan dengan penyerahan ijazah kelulusan ke
para santri yang sudah dinyatakan lulus.
Aku
duduk di kursi paling depan, kulihat ibu duduk di kursi khusus wali santri. Ibu
memakai baju kebaya berwarna kuning. Ibu hari ini lebih cantik dari hari
biasanya. Meski ayah tidak bisa datang ke pesantren karena sedang sakit, namun
ibu terlihat bahagia. Seminggu sebelum wisuda, ayah dan ibu berencana hadir.
Tapi, manusia hanya bisa berencana, Tuhan lah yang menentukan semuanya.
Menjelang kelulusanku, kaki ayah tertimpa kayu sewaktu di kebun. Ayah tidak
bisa hadir di hari kelululsanku. Aku berdoa semoga ayah cepat diberi
kesembuhan.
*
Gelap
menyelimuti malam, aku duduk di bangku yang ada di kelas. Memandangi satu
persatu benda-benda yang ada di kelas. Papan tulis, meja ustadz dan ustadzah
yang telah mengajarkanku banyak hal dengan penuh kesabaran. Dua buah bangku
yang berada di bagian depan, dekat dengan meja ustadz menjadi tempat duduk
favoritku. Malam ini adalah malam terakhir aku berada di pesantren. Besok aku
sudah harus kembali ke rumah bersama ibu. Sedih.
“Yan,
kamu ngapain malam-malam di kelas?” Hari berdiri di depan pintu, kemudian duduk
di bangku yang ada di depanku.
“Saat-saat
seperti ini terasa berat meninggalkan pesantren. Padahal, sebelumnya ingin
segera lulus dari sini kemudian melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.”
“Setelah
ini kamu mau lanjut kemana?”
Aku
terdiam. Aku masih belum mempunyai rencana apa pun. Melihat ekonomi keluargaku,
sepertinya kecil kemungkinan aku bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan
tinggi. Bukan hanya aku yang ingin sekolah, tapi ketiga adikku juga ingin
bersekolah. Aku tidak ingin memberatkan ayah dan ibu.
“Entahlah”
jawabku sekenanya.
Kami
berdua hanyut dalam lamunan masing-masing. Aku meninggalkan Hari sendirian di
kelas. Aku berjalan menuju masjid yang ada di tengah-tengah pesantren. Beberapa
santri sedang membaca Al-Qur’an. Ada juga yang sedang tidur di teras masjid.
Jam di tanganku sudah menunjukkan pukul 23.07, malam sudah larut. Dari masjid,
aku berjalan ke kolam yang ada di depan masjid. Kami menyebutnya “danau”, meski
ukurannya tidak terlalu besar. Jika waktu libur tiba, kami diperbolehkan mandi
di danau. Sebuah rakit yang terbuat dari potongan-potongan kayu sering kami
gunakan untuk menyeberangi danau. Selesai ujian pesantren, biasanya kami
melakukan lomba renang di danau. Aku akan merindukan semua ini.
Malam
semakin larut, aku kembali ke asrama. Sebagian besar teman-temanku sudah tidur
lelap. Hanya ada beberapa santri yang masih duduk di depan asrama. Aku segera
melepas penat setelah seharian sibuk dengan acara kelulusan. Kami adalah
lulusan pertama. Acara kelulusan tadi siang cukup meriah. Banyak tamu undangan
yang hadir. Bapak Agusrin selaku Gubernur Bengkulu bersedia datang ke pesantren
dan mengucapkan selamat kepada para santri yang sedang diwisuda.
*
Bunyi
alarm membangunkanku dari tidur. Kulihat jam yang ada di dinding, jarum jam
menunjukkan pukul 03.30 pagi. Masih sepi. Setelah selesai mengambil air wudhu,
aku pergi ke masjid untuk melakukan shalat malam. Beberapa santri sudah shalat
terlebih dahulu. Aku masuk ke dalam barisan dan ikut shalat tahajud bersama
dengan mereka.
Semua
santri sudah berkumpul di masjid, menunggu adzan subuh berkumandang.
Pujian-pujian di senandungkan dengan merdu oleh para santri.
Ba’da
subuh, aku dan Habibi sahabatku dipanggil oleh pimpinan pesantren. Aku sendiri
tidak tahu mengapa pimpinan memanggil kami berdua. Aku sempat gemetar. Namun,
setelah sampai di rumah pimpinan, aku meneteskan air mata bahagia. Tuhan
menjawab doa-doaku selama ini. Selama ini aku selalu berdoa agar Tuhan
memberikanku kesempatan untuk belajar ke jenjang yang lebih tinggi. Dan Tuhan
menjawab semua itu. Pihak pesantren bersedia memberikan kami berdua beasiswa
penuh selama menempuh pendidikan sarjana. Kami akan dimasukkan ke salah satu
perguruan tinggi swasta di Jakarta. Kami akan belajar di Institut Perguruan
Tinggi Ilmu Al-Qur’an Jakarta. Tidak pernah terbayang dalam benakku sebelumnya
bahwa aku akan pergi menuntut ilmu ke ibu kota. Terimakasih Tuhan.
*
Sebelum
sarapan pagi bersama dengan teman-temanku, aku pergi ke pondok satu, tempat
dimana para wali santri tinggal selama wisuda kelulusan. Ibu sedang duduk di
depan pondok sambil bercengkerama dengan wali santri yang lain. Aku meminta ibu
untuk ke dalam, kemudian aku memberitahu ibu tentang rencanaku melanjutkan
sekolah ke perguruan tinggi.
“Bu,
ari mau melanjutkan sekolah ke Jakarta” ucapku.
Ibu
memandangku, kemudian memelukku. Ibu sama sekali belum mengetahui bahwa pihak
pesantren akan memberikan beasiswa penuh selama kuliah di Jakarta. Mungkin ibu
masih bingung.
“Nanti
kita bicarakan dulu dengan ayah. Sekarang yang terpenting Ari pulang ke rumah.
Ibu belum bisa menjawab keinginanmu.”
Kutatap
kedua mata ibu. Kedua bola mata itu berusaha tegar, tidak meneteskan air mata.
Wajah ibu sudah semakin menua. Garis-garis halus menghiasi wajahnya. Ibu
semakin ringkih.
“Bu,
ari dapat beasiswa dari pesantren. Ari akan kuliah di Jakarta. Seperti
cita-citaku sewaktu masih kecil, aku ingin menjadi seorang “hafidz”. Aku ingin
menghapal Ayat-ayat Tuhan. Aku ingin menjadi salah satu dari sekian banyak
orang yang diberi kemuliaan oleh Tuhan untuk menghapal Al-Qur’an. Hafizh Qur’an adalah keluarga Allah yang
berada di atas bumi.”
“Sesungguhnya Allah mempunyai keluarga di
antara manusia, para sahabat bertanya, “Siapakah mereka ya Rasulullah?” Rasul
menjawab, “Para ahli Al-Qur’an. Merekalah keluarga Allah dan
pilihan-pilihan-Nya.” (HR. Ahmad)
Ibu
menangis, dan mengucapkan syukur. Ia kembali memelukku dan mendoakanku.
“Semoga
apa yang kamu cita-cita kan menjadi kenyataan. Semoga Allah selalu memberimu
kekuatan untk menghapal Ayat-ayatnya” ujar ibu.
Air
mata kebahagiaan itu akhirnya tumpah. Aku mengusap air mata ibu,
“Ibu
jangan menangis. Ari pasti akan merindukan ibu.”
*
Sebelum
berangkat ke Jakarta, aku ikut ibu pulang ke kampung halaman. Aku menyiapkan
semua persyaratan yang diperlukan untuk bisa masuk ke Institut Perguruan Tinggi
Ilmu Al-Qur’an Jakarta. Ada kesedihan jika harus berpisah dengan kedua orang
tuaku, kakak dan adik-adikku.
“Nanti,
amen lah sampai di Jakarta ndang lupe nelpon awu dek. Belaja’ lehelau di’enah
u’ang tu. Ndang keciwekan u’ang tuhe awak. Jadilah wo yang dekuliah. Yang
penting adik-adik wo pacak kuliah[1]”
kakak menasehatiku.
Selama
di rumah, aku menghabiskan waktu bersama orang-orang yang aku cintai. Bermain
bersama dengan ketiga adikku; Winda, Tenti, dan juga Meko. Aku pasti akan
merindukan mereka.
Setelah
menikmati kebersamaan dengan keluarga, aku harus kembali ke pesantren. Masih
banyak yang harus aku persiapkan sebelum berangkat ke Jakarta. Aku dan Habibi
akan berangkat ke Jakarta dari pesantren.
*
1
Agustus 2007
Hari
ini aku akan beragkat ke Jakarta dari Bengkulu. Selepas shalat subuh berjama’ah
dengan para santri, pimpinan pesantren meminta aku dan habibi mengucapkan salam
perpisahan dengan para santri, dan guru-guru.
Pukul
sepuluh pagi, kami berangkat menuju Jakarta. Sebelum berangkat, aku menjabat
tangan teman-teman santri, dan juga para guru. Aku meminta doa dari mereka
semua. Selama perjalanan menuju Jakarta, bayangan ayah, ibu, kakak, dan juga
adik-adikku kembali hadir. Setelah enam tahun berpisah dengan mereka, kini aku
harus kembali berpisah dengan mereka. Semoga Allah memberikanku kemudahan dalam
mempelajari Ayat-ayat-Nya.
Ya
Allah, hari ini aku berangkat ke pulau seberang untuk menuntut ilmu. Aku ingin
menggapai cita-cita yang pernah kuimpikan sedari dulu. Aku ingin menjadi orang
yang hapal akan Ayat-ayat-Mu, mengerti akan firman-Mu, dan bisa mengamalkannya
dalam kehidupanku sehari-hari.
Al-Qur’an adalah kemuliaan yang paling tinggi.
Al-Quran adalah kalam Allah Swt. Al-Qur’an adalah kitab yang diturunkan dengan
penuh berkah, Al-Qur’an memberikan petunjuk manusia kepada jalan yang lurus.
Tidak ada keburukan di dalamnya, oleh karena itu sebaik-baik manusia adalah
mereka yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya. Rasulullah SAW bersabda,
”Sebaik-baik
orang diantara kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan
mengajarkannya.” (HR. Bukhari)
[1] Nanti kalo sudah sampai di Jakarta, jangan lupa
telpon. Belajar baik-baik disana. Jangan kecewakan kedua orang tua kita. cukup
kakak yang tidak melanjutkan kuliah. Yang penting kalian bisa kuliah.
Insya Allah semua jalan yang menuju kebaikan akan selalu dimudahkan oleh-Nya... Amin....
ReplyDeleteAmin :)
Delete