“Sudah
berapa kali khatam Al-Qur’an?” tanya Pak Ihsan pada Rahman, putranya yang baru
pulang dari pesantren.
“Hampir
setiap bulan Rahman mengkhatamkan Al-Qur’an” jawabnya.
“Alhamdulillah,
berarti Rahman harus mengajarkan ilmu yang sudah didapat di pondok ke bapak.
Bacaan Al-Qur’an bapak masih jauh dari kata sempurna.”
“Insya
Allah, Pak”
“Selama
di pesantren, kami diajarkan bagaimana cara membaca Al-Qur’an dengan baik oleh
ustadz. Setiap ba’da maghrib, kami membentuk lingkaran-lingkaran kecil yang
terdiri dari sepuluh orang santri. Di setiap lingkaran tadi, ada seorang ustadz
atau santri senior yang membimbing kami membaca Al-Qur’an. Para ustadz dan kakak
tingkat membimbing kami dengan penuh kesabaran. Rahman bahagia bisa masuk pesantren.”
Pak
Ihsan tersenyum bahagia mendengar cerita putranya. Tidak sia-sia dia
menyekolahkannya ke pondok pesantren. Baru satu tahun Rahman menjadi santri, sudah
banyak kemajuan yang dia dapatkan. Disela-sela waktu belajarnya, dia
menyempatkan diri untuk menghapal Al-Qur’an. Sekarang dia sudah hapal juz 1
sampai 5, dan juz 30. Suaranya juga semakin indah saat melantunkan Ayat-ayat
suci. Kebahagian apa lagi yang ia minta? Melihat putranya menjadi seperti
sekarang ini rasanya sudah cukup membuatnya bahagia.
*
Rahman
sedang menikmati masa liburannya di rumah. Setelah satu tahun tidak pulang ke
kampung halaman, kini dia bisa kumpul bersama keluarga. Dia anak yang baik,
sedikit pendiam, namun jika dia berbicara, kata-katanya menyejukkan siapa saja
yang mendengarnya. Dia begitu dicintai oleh kedua orangtuanya, masyarakat yang
ada di kampungnya, dan juga kawan-kawan sebayanya.
Adzan
shalat dzuhur berkumandang dari masjid yang ada di depan rumahnya, Rahman
langsung menghentikan segala aktifitasnya, menunaikan seruan muadzin untuk
shalat berjama’ah. Ia bergegas membersihkan anggota badannya dengan air wudhu.
Pak Ihsan dan putranya pergi bersama-sama ke masjid.
Selepas
shalat, Rahman menyambut tangan Ustadz Qodim selaku imam shalat berjama’ah.
Uztadz Qodim merupakan guru mengajinya sewaktu masih di sekolah dasar. Ustadz
Qodim dan Rahman berbicara banyak hal. Pak Ihsan meninggalkan keduanya di
masjid dan kembali melanjutkan kerjaannya di rumah.
Tiga
puluh menit berlalu, setelah berbincang banyak, keduanya kembali ke rumah
masing-masing. Rahman kembali ke rumah dan membantu ayahnya memperbaiki atap
rumah yang sudah mulai bocor. Ibunya sudah menyiapkan masakan kesukaannya
sebagai menu makan siang. Sudah lama dia tidak menikmati masakan ibunya, nasi
cah kangkung dan telur penyet kesukaannya dimakan dengan lahap olehnya. Ibunya
tersenyum melihat putranya.
“Dihabisin
ya, ibu sudah masakin khusus untuk anak ibu yang sekarang sudah semakin sholeh.
Semoga masakan ibu menjadikan anak ibu lebih semangat dalam menuntut ilmu”
“Amin,
ibu sudah makan?”
“Tadi
ibu dan ayah sudah makan duluan, kamu kan masih di masjid”
*
Panas
terik, bus yang akan membawa Rahman kembali ke pesantren perlahan meninggalkan
kampung halamannya. Ia berangkat sendirian. Ayah dan ibunya tidak bisa ikut
bersama dengannya. Dia tertidur lelap selama di perjalanan. Orangtuanya selalu
menyempatkan diri berkunjung ke pesantren. Biasanya setiap habis ujian
pesantren, orangtuanya datang menjenguknya.
Setelah
menempuh perjalanan jauh, sekarang Rahman sudah berdiri di depan gerbang
pesantren. Dia berhenti sejenak, menghirup sejuknya udara, menikmati semilir
hembusan angin dan menunggu temannya
datang ke pintu gerbang. Dia tidak mampu membawa barang bawaan sendirian.
Ibunya memberi bekal cukup banyak. Beras, kue kering, buah-buahan, dan buah
tangan untuk teman-temannya.
Ahmad
dan Nizham, sahabat karib Rahman sekaligus teman satu kamar di asrama
membantunya membawa barang-barangnya ke asrama.
“Gimana
liburan di rumah?” tanya Nizham.
“Alhamdulillah
sesuai rencana. Ana menghabiskan waktu liburan dengan membantu bapak dan ibu di
ladang.”
“Kalian
bagaimana? Jadi ikut kajian khusus selama liburan?”
“Alhamdulillah,
selama liburan kami belajar Nahwu dan Shorof” jawab Ahmad.
Ketiganya
memasuki asrama, mereka bertiga tinggal di kamar “Al-Munawwarah”. Setiap kamar
yang ada di asrama mempunyai nama tersendiri. Di sebelahnya ada kamar “Muzdalifah
dan Uhud”. Masing-masing kamar dihuni oleh sepuluh anak. Setiap kamar mempunyai
ketua yang mengontrol kegiatan para santri. Ketua kamar merupakan kakak tingkat.
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalam,
ahlan wasahlan ya akhi” ucap kawan-kawannya berbarengan.
Suasana
hangat terjalin di antara mereka. Kebersamaan mereka layaknya sebuah keluarga.
Kebersamaan Rahman dengan teman-temannya menjadi salah satu dari sekian banyak alasan yang membuat dia
betah belajar di pesantren ini. Berbeda suku, bahasa daerah, adat istiadat,
menambah indah kebersamaan mereka.
Esok
hari, kegiatan belajar mengajar di pesantren akan kembali dimulai. Para santri
sudah kembali berada di pesantren setelah menghabiskan masa liburan di rumah
masing-masing.
*
Sudah
hampir tiga bulan Rahman kembali ke pesantren. Ahmad, Nizham dan Rahman,
ketiganya sering belajar bersama. Selama di pesantren, ada hari khusus bagi
santri untuk berbicara Bahasa Arab dan Inggris. Setiap Senin dan Kamis, santri
diwajibkan untuk berbicara menggunakan Bahasa Arab. Selasa dan Sabtu berbahasa
Inggris, sedangkan di hari lainnya adalah hari bebas, santri diperbolehkan
berbahasa Indonesia, Arab, maupun Inggris.
Hari
jum’at, tidak ada kegiatan belajar mengajar. Hari Jum’at adalah hari libur bagi
para santri. Ahmad, Nizham dan Rahman pergi ke kali yang berada di dekat
pesantren untuk mencuci pakaian. Setelah selesai mencuci pakaian, ketiganya
kembali ke asrama.
Tidak
ada yang aneh di hari ini, langit terlihat cerah, matahari masih tetap setia
menyinari dunia, suara seorang qori sedang membaca Al-Qur’an di masjid
pesantren begitu menenangkan. Para santri bersiap-siap untuk shalat Jum’at di
masjid. Teman-teman sekamar Rahman sudah siap untuk menunaikan shalat jum’at.
Nizham membangunkan Rahman yang masih tidur. Beberapa kali tubuhnya digerakkan,
namun Rahman tak kunjung bangun dari lelap tidurnya. Ahmad juga mencoba untuk
membangunkannya, namun Rahman masih tidak memberi respon. Matanya masih
terpejam seolah-olah tidak merasakan apa-apa. Ahmad, Nizham dan yang lainnya
saling berpandangan. Ada apa dengan Rahman?
Nizham
memegang urat nadi Rahman, tidak ada denyut nadi. Jarinya ditempelkan ke hidung
Rahman, tidak ada hembusan nafas. Dia juga memeriksa detak jantung Rahman,
namun jantungnya sudah berhenti berdetak. Semua santri yang ada di asrama
terlihat panik.
Ahmad
berlari sambil menangis menuju ke klinik pesantren. Dia memberitahukan keadaan
Rahman ke Dokter Iqbal. Dokter Iqbal datang dan memeriksa keadaan Rahman.
Rahman masih tidak bergerak, matanya masih tertutup, dia terlihat begitu tenang
dalam tidurnya. Rahman dibawa ke rumah sakit. Setelah dilakukan pemeriksaan,
pihak dokter menyatakan bahwa,
“Nak
Rahman sudah tiada”
Seketika
itu juga, suara tangis sahabat-sahabat Rahman memecah kesunyian rumah sakit.
Mereka menangis karena kehilangan sahabat yang berhati mulia. Mereka juga masih
tidak percaya dengan apa yang terjadi. Padahal, pagi tadi Rahman masih bisa bercanda
bersama dengan Ahmad dan Nizham. Dan sekarang dia sudah tiada.
*
Pihak
pesantren memberitahukan kabar duka ke pihak keluarga Rahman di kampung. Ibu
Nur langsung pingsan saat mendengar kabar putranya meninggal dunia. Tidak
pernah terbayang olehnya anaknya akan kembali kepadanya sudah terbungkus kain
kafan. Sedangkan Pak Ihsan sedang berada di ladang. Salah seorang kerabat dekat
menemui Pak Ihsan, memberitahukan berita duka dari pesantren.
“Innalillahi
wainnaa ilaihi roji’uun”
Ia
langsung terduduk tak berdaya, nafasnya tiba-tiba sesak, langit tiba-tiba
kelam, pandangannya mengabur, dan ia pun pingsan.
Tuhan,
apa yang salah dengan Rahman? sehingga engkau ambil dia kembali ke sisi-Mu? Belum
tercapai cita-citanya ingin menghapal firman-Mu, dia baru merintis jalan
menuju-Mu secara perlahan, dan kini dia telah tiada. Mengapa harus dia Tuhan?
Suara
tangis Ibu Nur semakin keras, meratapi kepergian buah hatinya. dipandanginya
satu persatu album kenangan waktu Rahman masih kecil, gambar-gambar itu semakin
membuatnya terluka. Belum ada kerelaan dalam hatinya melepas kepergian
putranya. Sanak saudara yang berkunjung membiarkannya menangis, mereka tidak
ingin menghentikan air mata itu. Biarlah kini dia menangis sesuka hatinya,
nanti secara perlahan dia akan ikhlas akan takdir Tuhan. Nanti dia akan
menyadari bahwa semua adalah titipan dari-Nya. Jika Dia menghendakinya kembali,
maka semua akan kembali kepada-Nya. Dia yang menentukan kapan seseorang akan
mati, dan tidak ada seorang pun yang bisa lepas dari maut. Sehebat apapun seseorang, segesit bagaimanapun ia
berlari, tidak ada yang bisa
lepas dari jaring
kematian. Karena kematian adalah suatu kepastian.
“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu,
kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, dan jika mereka
memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah",
dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: "Ini
(datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)". Katakanlah: "Semuanya
(datang) dari sisi Allah". Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik)
hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?” (QS. An-Nisa : 78)
Jenazah Rahman sudah tiba di rumah pukul dua dini hari. Ayah
dan Ibunya tidur di samping jasadnya. Rahman akan dikebumikan esok pagi di
sebelah makam kakeknya.
Suasana pemakaman
Rahman di kampung halaman dipadati oleh warga kampung, sanak saudara, dan
beberapa temannya dari pesantren. Ayah dan ibunya berusaha tegar menerima semua
cobaan ini. Keduanya berusaha merelakan kepergian si buah hati.
Selamat jalan Rahman
Engkau memang sudah
pergi meninggalkan kami
Namun, kebaikanmu
membuatmu abadi
Comments
Post a Comment
Jangan Lupa Tinggalkan Komentarnya Gan