Impian Menjadi Seorang Ibu (5)
Bunda, aku merindukan kehadiranmu
Aku merindukan belaian kasih
sayang tulus darimu
Terimakasih sudah
memberikanku limpahan kasih sayang
“Meski kamu bukan anak
kandung kami, namun bapak dan ibu memberikanmu cinta yang sama. Tidak pernah
kami membedakan anak kandung dan bukan. Engkau adalah anak bapak dan ibu.” Bu
Zaitun mengucapkan semua itu sambil menahan sakit yang dideritanya. Ada air mata
di kedua bola matanya, ada kejujuran yang terpancar dari wajahnya, ada
ketulusan yang mengalir dari ucapannya.
Winda tidak bisa menahan air
matanya saat mengetahui semua itu. Setelah hampir dua puluh tahun lamanya dia
mendapat kasih sayang dari kedua orangtuanya, kini kenyataan harus dia terima.
Dia bukanlah anak kandung orangtua yang sudah merawatnya sejak kecil.
Kenyataannya dia hanyalah anak angkat bapak dan ibunya. Tapi, mengapa harus
sekarang dia mengetahui semua itu? Mengapa tidak sedari dulu semua ini dia
ketahui? Mengapa dia harus mengetahui ini semua menjelang pernikahannya? Aku
membenci-Mu Tuhan. Aku membenci-Mu karena Engkau telah membiarkanku hidup tanpa
mengenal orangtua kandungku. Aku membenci-Mu. Tuhan, dimana aku bisa menemukan
orangtua kandungku? Pertanyaan itu menanti sebuah jawaban.
“Ibumu sengaja memberitahumu
sekarang, karena dia tidak yakin bahwa esok hari dia masih bisa menyapa mentari
pagi. Coba kamu lihat ibumu, semakin hari dia semakin ringkih saja, tubuhnya
mengurus, kesehatannya semakin menurun. Tidak ada yang tahu kapan dia akan
dipanggil oleh Tuhan. Sudah saatnya kamu mengetahui semua ini sebelum semuanya
terlambat, nduk. Bapak dan ibu tetaplah orangtuamu, meski kamu tidak lahir dari
rahim ibumu. Tapi kami memberimu kasih sayang yang tulus.”
Pak Ahmad mencoba untuk
menenangkan putri mereka yang masih belum siap untuk mengetahui semua ini. Bu
Zaitun dan Pak Ahmad mengerti bahwa tidak mudah menerima semua kenyataan ini.
Mereka membiarkan putrinya menenangkan diri. Pak Ahmad mengusap air mata di
pipi putrinya, kemudian memeluknya sebagai bukti bahwa dia sangat mencintainya.
Tuhan selalu mempunyai
rencana yang tidak pernah bisa disangka hamba-Nya. Kadang sesuatu yang baik
menurut hamba-Nya, belum tentu baik menurut-Nya. Mungkin menurut Tuhan,
sekarang adalah saat yang tepat bagi Winda untuk mengetahui kenyataan yang
sebenarnya, meski semua terasa pahit. Akan tetapi, bukankah Tuhan sudah
menunjukkan keadilannya? Tuhan sudah memberikannya orangtua yang bersedia
merawatnya dengan penuh cinta. Tidak pernah mereka menyia-nyiakan hidupnya.
Winda masih berburuk sangka
pada Tuhan. Dia mengurung diri di dalam kamarnya. Sudah dua hari ini dia tidak
keluar kamar. Dengan suara parau yang disertai batuk, Bu Zaitun terus membujuk
putrinya agar keluar kamar. Tapi, semua itu tidak bisa meluluhkan hati Winda. Dia
tetap menyendiri di dalam kamar. Sebenarnya, bukan Pak Ahmad yang dia benci,
bukan juga Ibu Zaitun. Namun, dia membenci jalan hidup yang sudah Tuhan
gariskan untuknya. Mengapa aku harus mengetahui kenyataan ini Tuhan? Pertanyaan
itu terus menyesakkan dadanya.
*
Menjadi seorang ibu adalah
impian yang didamba oleh wanita. Panggilan “Ibu” adalah sebuah kehormatan yang
diberikan Tuhan pada Kaum Hawa. Dan tidak ada seorang laki-laki mana pun yang
bisa mendapatkan panggilan kehormatan itu. Layaknya wanita yang lain, menjadi
seorang ibu adalah keinginan terbesar Bu Zaitun. Setelah sekian lama menikah
dengan Pak Ahmad, mereka belum juga dikarunia buah hati oleh Tuhan. Doa-doa
mereka panjatkan, mengharap Tuhan akan segera memberi mereka keturunan. Namun,
sepertinya Dia masih belum mempercayai keduanya mampu menjaga anugerah besar
itu.
Penantian dan harapan untuk
menjadi seorang “Ibu” tetap memanggil jiwa Bu Zaitun. Dia sering melihat
anak-anak kecil yang bermain di halaman rumahnya, tertawa, dan bergelayut manja
di punggung ibu mereka. Bu Zaitun tetap percaya bahwa suatu saat nanti Tuhan
akan menganugerahkan itu kepadanya. Sudah hampir lima tahun lamanya, dia dan
suami menanti kehadiran sang buah hati. Tapi, Tuhan masih belum menganugerahkan
apa yang mereka inginkan. Meski lama menanti dan impian itu tak kunjung
terwujud, namun harapan untuk menjadi “Ibu” tetap ada. Harapan itu kian
subur bersama waktu.
“Pak, ibu sudah lama
menunggu anugerah Tuhan. Tapi, anugerah itu belum Ia berikan sampai hari ini.
Sampai hari ini ibu tetap mempercayai kuasa-Nya. Jika bapak mengizinkan, ibu ingin
pergi ke panti asuhan yang ada di kota. Mungkin kita bisa menjadikan satu dari
anak-anak yang ada disana sebagai anak kita. Kita besarkan dan didik dia
menjadi anak yang berbakti.” Ibu Zaitun memberitahu keinginannya pada suaminya.
Ada embun di kedua matanya.
Pak Ahmad tidak memberikan
jawaban apa pun. Dia memeluk istrinya dan mengusap air mata itu. Dia tidak
ingin melihat ada air mata di wajah wanita yang sudah menemaninya hampir enam
tahun lamanya. Dia mengerti perasaan istrinya. Dia pun merasakan hal yang sama,
ingin menjadi seorang “Ayah”. Panggilan itu sudah lama dia nantikan. Sudah lama
dia mendambakan ada seseorang yang memanggilnya “Ayah” dan bergelayut manja di
pundaknya.
“Ibu yang sabar ya. Insya
Allah Dia sudah menyiapkan rencana yang indah untuk keluarga kecil kita. Kita
jalani saja apa yang sudah digariskan oleh-Nya. Ayah percaya bahwa Tuhan sedang
mencoba kesabaran kita. Dengan kesabaran ini, Tuhan akan memberikan kita jalan
agar bisa mempunyai keturunan.” Pak Ahmad menguatkan istrinya yang mulai rapuh.
Impian menjadi “Ibu” terus
membayangi Bu Zaitun. Hari demi hari dia lalui dengan kesabaran. Kadang ada
tetangga yang menyindirnya,
“Sudah lama menikah, tapi
belum mendapatkan keturunan”
Ah…sindiran itu sudah sangat
sering dia dengar dari ibu-ibu yang ada di sekitar rumahnya. Namun, dia tetap
percaya dengan kebesaran-Nya. Hari demi hari, bulan berganti tahun, dan tidak
terasa sudah delapan tahun lamanya mereka menanti kehadiran si buah hati.
Penantian panjang itu masih belum membuahkan hasil. Tuhan masih belum
mengizinkan semuanya terjadi.
Setelah sekian lama
berusaha, berdoa, kemudian menyerahkan semuanya kepada Tuhan, akhirnya Bu
Zaitun dan Pak Ahmad memutuskan untuk menjadikan salah satu anak yang ada di
panti asuhan menjadi anak mereka. Mereka mengunjungi panti asuhan yang ada di
kota, kemudian menyampaikan maksud kedatangan keduanya ke panti asuhan.
Alhamdulillah, keinginan mereka di sambut baik oleh pihak panti asuhan.
Ternyata ada seorang bayi yang baru beberapa hari mereka rawat. Bayi itu ditemukan di pintu gerbang panti asuhan saat
subuh menjelang. Bayi itu menangis, tangisannya membangunkan Ibu Elda selaku penjaga
panti. Dia membuka gerbang, kemudian menemukan seorang bayi yang lucu di dalam sebuah
box bayi yang berwarna coklat. Tangisan itu, wajah lucu itu, membuatnya menangis
haru. Naluri keibuan mengetuk hatinya untuk menjaga bayi itu. Ibu mana yang
tega meletakkan bayi ini di sini? Ini adalah anugerah Tuhan, Mengapa diabaikan
begitu saja? Semoga Tuhan memberikan hidayah kepada siapa pun yang telah
melakukan ini. Ibu Elda selaku penjaga panti menceritakan semuanya kepada Bu
Zaitun dan Pak Ahmad.
Mendengar cerita Bu Elda,
Pak Ahmad dan Bu Zaitun meyakini bahwa anak itu adalah bagian dari rencana
Tuhan. Mereka yakin ingin menjadikan anak itu sebagai anak mereka dan berjanji
akan menjaganya sepenuh hati. Setelah memenuhi segala persyaratan yang diajukan
oleh pihak panti, Pak Ahmad dan Bu Zaitun kembali ke rumah dengan membawa
anugerah Tuhan yang tidak ternilai harganya. Bu Zaitun menangis haru, melihat
bayi yang sekarang ada di pangkuannya. Syukur mereka panjatkan atas karunia
ini, memohon petunjuk Tuhan agar anak ini bisa tumbuh menjadi anak yang berbakti
kepada kedua orangtuanya, dan taat pada perintah Allah Tuhannya.
Winda Amali Zaitun, nama itu
mereka pilih sebagai nama putri mereka. Mereka mendidiknya dengan penuh kasih
sayang. Meskipun mereka hidup sering kekurangan, namun Winda mendapatkan kasih
sayang yang berlimpah hingga dia tumbuh menjadi anak yang periang, dan baik
hati. Setelah winda berumur sebelas tahun, Bu Zaitun dikarunia seorang putri. Namun,
putri yang lahir dari rahimnya meninggal waktu masih berumur dua tahun. Inilah
rencana Tuhan. Tuhan sengaja mengirim Winda sebagai anugerah bagi keluarga
kecil Pak Ahmad dan istrinya.
*
Winda membuka pintu kamarnya,
menghampiri Bu Zaitun yang terbaring lemah di bangku panjang yang terbuat dari
kayu. Dia sedang tertidur, menahan sakit yang dideritanya. Sedangkan Pak Ahmad
sedang memberi makan ayam peliharaannya. Winda duduk di samping ibunya, mencium
keningnya dan membisikkan doa,
Tuhan, jagalah ibu
sebagaimana dia telah menjagaku
Berikan dia kesabaran dan kekuatan
menjalani ujian dari-Mu
Aku ingin ibu bisa kembali
tersenyum
Dan bahagia bisa melihatku
bersanding di pelaminan
Ibu sudah memberikanku
kasih sayang yang tulus
Aku ingin melihat ibu bahagia
hingga ia kembali ke sisi-Mu
Winda tidur di samping
ibunya, memeluknya dengan pelukan rindu, dan penuh kasih sayang. Bu Zaitun membuka
matanya, melihat putrinya sedang tidur di sampingnya, sedang memeluknya begitu
erat seolah tidak ingin pisah darinya.
Anakku, semoga engkau bisa
menjadi ibu yang baik bagi anak-anakmu. Mendidik mereka dengan penuh cinta,
hingga mereka tumbuh menjadi anak-anak yang berbudi.
Anakku, semoga engkau bisa
menjadi istri yang baik, seorang istri yang menjaga kehormatan rumah tangganya
atas nama cinta. Cintailah pasanganmu dengan tulus karena-Nya. Doa ibu
menyertaimu.
(Bersambung)
Paaaak,,, hiks hiks...... baguuus sukaaa...
ReplyDeleteIbu.... jadi kangen sama Ibu... :( :(
ah...semoga ini bukan hanya sekedar untuk menyenangkan hati saya saja hehe. asli saya betul2 menikmati proses nulis cerbung ini. nantikan kelanjutannya di part-6 haha
Delete